Sunday, 30 December 2007

Anak Hilang

ADA sepotong kisah dari negeri antah berantah. Di sana, hiduplah sebuah keluarga besar yang terkenal seantero negeri. Keluarga besar ini tinggal di rumah tua yang besar. Halamannya sangat luas. Mereka juga memunyai perkebunan. Dari tanah itu, dihasilkan apel, anggur, pir yang sangat terkenal manisnya dan beragam tanaman bunga seperti tulip, bakung, aster yang sangat terkenal indahnya. Ada sebagian petak tanah digunakan untuk peternakan sapi, babi, ayam, dan domba. Untuk menjaga dari serangan binatang buas seperti serigala hutan maupun ular beludak, dipeliharalah sekawanan anjing penjaga. Anjing-anjing ini ditempatkan di setiap sudut halaman rumah mereka. Mereka tidak pernah tidur sekalipun bola raksasa yang terbang di langit telah melarut dalam gelap. Keluarga itu hidup dengan gembira dan penuh persaudaraan.

Keluarga itu dipimpin oleh seorang lelaki tua yang sering disapa dengan Bapa. Ia disegani sampai negeri seberang. Tugasnya tak lain adalah menjaga kelangsungan hidup rumah tua itu beserta seluruh isinya. Orang asing sering menyebutnya dengan Si Penjaga Tradisi.

Asal tahu saja, rumah tua itu merupakan rumah warisan yang usianya sudah ribuan tahun. Konon katanya, rumah itu didirikan di atas sebongkah batu karang raksasa. Menurut kitab tak pernah tertulis, rumah itu tidak boleh dirombak. Renovasi masih dimungkinkan sejauh tidak mengubah struktur bangunan yang sudah ribuan tahun berdiri. Rumah itu diyakini sebagai rumah Dios, sang penguasa siang malam, sosok tidak kasat mata yang diimani tinggal di langit-langit rumah itu. Dios diyakini hadir saat lonceng-lonceng di menara rumah itu menari-nari digoyang angin dan menimbulkan suara dentang parau yang meningkahi malam dingin tak berkabut.

Di sudut ruang utama, berdiri angkuh sebuah altar tua dari kayu leluhur yang sudah berlumut. Di sanalah, setiap penghujung pekan, berlangsung puja-pujian bagi Dios. Kepulan asap setanggi dan lilin cendana menguar di setiap ruang dan meninggalkan wewangian yang tak pernah tanggal. Dari altar itulah, Bapa senantiasa menyampaikan cerita turun temurun tentang kehebatan dan kepahlawanan Dios, tentang Abraham, tentang orang-orang yang celaka karena tidak mau menerima Dios dan tinggal di rumah tua itu. Cerita itu diulang-ulang, seolah-olah di negeri itu tidak ada cerita lain. Termasuk kepada kedua anak lelakinya yang sekarang sudah beranjak dewasa, Si Sulung dan Si Bungsu.

Sampai akhirnya di sepotong malam, bulan berbentuk selarik buah pisang bertengger anggun di jendela rumah. Si Bungsu mendekati Bapanya yang merebahkan diri di kursi rotan kumal dekat perapian. Paras mudanya tampak gelisah. Seperti ia memendam rasa rindu yang besar yang ingin ia tumpahkan seketika di malam itu.

“Bapa, aku ingin sekali mengembara,” katanya.

“Kamu mau pergi ke mana? Bukankah kamu sudah hidup aman dan tenteram di sini bersama Bapa dan abangmu?” sahut bapanya sedikit syok.

“Tidak Bapa. Aku ingin menemukan hidupku di luar sana.”

“Jangan kamu lakukan anakku. Hidup di luar rumah ini berarti bunuh diri. Di luar tidak ada kehidupan. Itu sangat membahayakan jiwamu. Dios dan leluhurmu bisa marah”

“Aku tidak takut. Bukankah Bapa yang selalu mengajari aku untuk tidak takut. Bukankah Bapa juga yang mengajariku tentang Dios yang selalu menjaga anak-anaknya?”

“Setan dari mana yang membiusmu Adik. Apa kurangnya Bapa dan abangmu ini di mata Adik. Kita sudah nyaman di sini. Di sini, kita dilahirkan. Di sini pula, kita dikuburkan. Janganlah pergi dari rumah ini. Di luar, kamu hanya akan mati. Jangan jadi anak durhaka yang menentang perintah Bapa,” timpal Si Sulung dengan pandangan mata seperti mata ular pohon saat menatap Eva di Taman Firdaus.

Si Sulung mengatakan seperti itu semata-mata untuk mengambil hati bapanya. Padahal hatinya menginginkan adiknya pergi jauh, mati dilumat cacing gurun, dan tidak seorang pun menemukan tulang-belulangnya. Mimpinya cuma satu, menjadi pewaris satu-satunya rumah leluhur itu bila Bapanya nanti mangkat.

“Terimakasih Abang. Abang memang kakak yang baik hati. Tapi, aku tidak bisa mengingkari nuraniku. Aku harus mengembara. Aku ingin menemukan hidupku.”

“Bukankah hidupmu ada di rumah ini, anakku. Rumah ini adalah rumahmu. Rumah ini adalah hidupmu. Sebenarnya Bapa sangat kecewa. Tapi, apa boleh buat. Bapa tidak bisa melarangmu. Bapa hanya berdoa kamu cepat kembali ke rumah ini dengan selamat.”

“Terimakasih Bapa.”

***


Lalu Si Bungsu bergegas ke biliknya. Mengambil sepotong pakaian, sekoci anggur tua, dan memasukkannya ke dalam tas gendong terbuat dari serat jagung. Tidak lupa, ia memasukkan sebuah buku bersampul tebal. Pengarangnya anonim. Tapi, buku itu berangka 1818 sebagai tahun terbit dan diterbitkan di kota Trier, sebuah kota di tepian Barat Jerman. Judulnya “Jendela Jiwa.” Buku inilah yang menggelorakan revolusi di dalam jiwanya.

Pengarang anonim itu telah menjungkirbalikkan kesadarannya yang selama ini hanya digenangi oleh kotbah-kotbah Bapa di rumah tua itu. Buku itu mengajarinya tentang mimpi-mimpi. Mimpi hanya bisa dicapai oleh si pemilik mimpinya. Alam akan membantu merajut mimpi itu menjadi kenyataan. Di bab terakhir buku itu, dikatakan terbanglah bersamaku ke negeri yang baru, di sanalah kamu akan mewujudkan apa yang kamu mau.

Epilog buku itu seperti gong baginya untuk segera hengkang dari rumah tua itu. Gong yang mencabik-cabik paham yang selama ini ditanam kuat-kuat di alam kesadarannya bahwa hidup sudah digariskan oleh tradisi, ditakdirkan oleh Dios, dan dicatat di dinding-dinding rumah tua itu. Buku itu mengajarinya bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas hidupnya sendiri. Ia pun muak dengan kehidupan di rumah leluhur itu yang sarat dengan aturan, ritual kosong, dan kemunafikan. Di rumah itu, tidak ada kebebasan. Di rumah itu, anak-anak dipaksa taat pada aturan leluhur tanpa tahu maksud dan alasan tata tertib itu. Rumah itu telah merenggut hidupnya. Merampas mimpinya dan memasung jiwa bebasnya. Rumah itu juga telah membatasi pengetahuannya. Dan rumah itu telah membuatnya seperti budak-budak tradisi yang tidak pernah memiliki masa kini dan tidak pernah mengukir masa depan.

Buku itu ia terima dari seorang kesatria tanpa nama yang menunggangi kuda putih dengan meterai angka 1540 di pelananya. Ksatria inilah yang menyelendupkan buku-buku ke tangan Si Bungsu. Buku ini diselundupkan karena aturan rumah tua tidak membolehkan buku-buku asing masuk selain buku-buku kitab.

Ditemani seekor cerpelai putih berlurik coklat yang bertengger erat di pundaknya, Si Bungsu segera menghampiri bapanya. Bapanya sudah menyiapkan satu kantung dari kulit unta berisi kepingan uang logam sebagai bekal perjalanan. Tapi, Si Bungsu menolakknya. Mendengar itu, Si Sulung dengan paras tamak segera meraih kantong harta itu dan menyampaikan niat palsunya untuk menyimpan uang itu. Dan pergilah Si Bungsu menuju gerbang.

“Kasihan orang-orang ini. Mereka lahir, hidup, dan dimakamkan di sini. Hidup mereka hanya sebatas rumah tua itu. Padahal, di luar sana, keajaiban-keajaiban akan berloncatan bak cipratan air hujan menghantam bebatuan. Sepanjang hidup, mereka hanya hidup dalam kesenyapan dan dengan jiwa-jiwa kosong,” katanya dalam hati saat kakinya melintasi lahan pekuburan milik rumah tua itu.

Tanpa lama, sosok Si Bungsu ditelan belukar di gundukan bukit. Buku itu telah berubah menjadi sayap dan menerbangkannya ke negeri baru. Mulai saat itu, rumah tua itu lengang dari kabar Si Bungsu. Hanya sepotong papan setengah dimakan ngengat dipasang di pintu biliknya dan bertuliskan: Anak Hilang.

***


Musim berganti musim. Bunga matahari tumbuh dan tumbang silih berganti. Bumi berputar ribuan kali pada porosnya. Duduklah seorang lelaki muda di sebuah sofa hijau di pinggir kolam kecil berisi ikan yang menari-nari berebut remah-remah roti. Di sampingnya, bertumpuk buku-buku hasil karyanya sendiri. Dialah Si Bungsu, seorang penulis terkenal dan terkaya di negeri itu.

Upaya gigih dan kerja keras di tanah rantau, tanpa seorang karib dan kerabat, menghasilkan buah-buah yang tak kalah manis dengan anggur, pir, dan apel di perkebunan Bapanya. Si Bungsu telah menemukan hidupnya. Hidup yang menyuguhkan berbagai kesempatan dan peluang. Tinggal memilih mau menjadi apa, alam akan membantu mewujudkannya.

“Aku sudah menemukan hidupku di sini. Sekarang, aku menjadi seorang penulis kaya. Dikenal banyak orang. Aku memiliki rumah bagus dan seekor cerpelai yang setia. Aku hidup bersama istri dan anak-anak yang baik hati. Aku bersyukur atas segala keajaiban hidup ini. Aku jadi ingat akan bapaku, abangku, dan rumah tua itu. Aku ingin memastikan nasib mereka,” katanya dalam hati sambil tangannya mengelus cerpelainya yang berbaring manja di pangkuan.

Khawatir memikirkan nasib bapa dan abangnya, Si Bungsu pun memutuskan pulang kampung. Setelah mendaratkan kecupan manis di kening istri dan anak-anaknya, Si Bungsu pun pergi. Ia pergi dengan sebuah kereta kuda yang bermuatkan peti-peti berisi koin uang hasil jerih payahnya dan oleh-oleh pelepas rindu.

Sesampai di gundukan bukit, kira-kira seperlemparan batu dari rumah bapanya, Si Bungsu melihat dari kejahuan sosok bapa dan abangnya sedang duduk di depan teras. Ia melecut kudanya agar berlari lebih kencang lagi. Ia ingin segera melepas rindu, memeluk mereka, dan mewartakan kabar kegembiraan dari tanah rantau.

“Bapa, Bapa. Ini aku Bapa. Aku pulang. Aku telah menemukan Sorga. Aku telah menemukan hidupku, Bapa,” teriak Si Bungsu sambil berlari sembari merentangan kedua tangannya siap memeluk bapanya.

Tapi, baik bapa dan abangnya sama sekali tidak bergeming. Tatapan bapa nanar menerawang kosong. Paras abangnya pun ikut menciut tanpa ekspresi. Di rumahnya, pun para karyawan dan kerabat lalu-lalang membawa alat kerja mereka tanpa gairah. Mereka seperti mayat-mayat hidup. Mahkluk tanpa jiwa. Anjing-anjing penjaga pun duduk lesu dengan air liur yang enggan menetes. Rumah tua itu masih bertengger angker. Tidak ada perubahan bentuk kecuali lumut menjalari rumah itu dan membuatnya semakin tua.

“Bapa, lihat. Putra Bapa sehat dan selamat. Di luar sana, aku telah melihat hidup. Aku ingin membawa bapa, abang, pergi ke negeri yang baru. Di sana, aku mampu melipatkan gandakan talenta yang aku punyai.”

Bapa memalingkan pandangannya perlahan ke wajah Si Bungsu. Menatapnya. Bola-bola bening menyembul di kedua sudut matanya. Lalu tergelincir pelan melalui lekukan keriput pipinya.

“Anakku, maafkan Bapa selama ini. Bapa telah bersalah. Bapa telah membunuh jiwa-jiwa anak-anak di sini. Bapa mengaku tidak pernah benar-benar hidup di rumah ini. Rumah ini telah menghisap jiwa-jiwa mereka. Bapa telah melakukan penyembahan yang keliru. Di sini, Bapa sepanjang hayat telah mengubur dalam-dalam talenta Bapa dan anak-anak di sini kedalam tanah. Tapi, Bapa tidak mau pergi. Bapa ingin mati di sini bersama orang-orang di makam itu. Apalagi Bapa sudah tua dan pastilah sudah terlambat.”

“Bapa. Tidak ada kata terlambat Bapa. Hidup hanya dimiliki oleh orang yang tidak pernah bilang terlambat. Negeri baru itu terbuka untuk siapa saja. Di sana, ada banyak peluang dan kesempatan. Asalkan Bapa mau melupakan masa lalu dan berlari mengejar apa yang ada di depannya.”

“Baiklah Anakku.”

Bapa itu memeluk erat Si Bungsu. Mata keduanya becek oleh kristal cair. Lalu Bapa memalingkan muka kepada Si Sulung. Tapi, Si Sulung memunggunginya lantas pergi. Ia memilih tinggal di rumah warisan itu. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Si Sulung untuk menguasai rumah warisan ini.

Keesokan harinya, pergilah Si Bungsu membawa Bapa dan sebagian penghuni rumah tua itu ke negeri baru. Sebagian penghuni memilih tetap tinggal bukan lantaran hidup bahagia, tetapi mereka takut menerima risiko di negeri yang baru. Mereka takut kena hukuman leluhur. Mereka takut dengan perubahan. Tradisi telah mengikat erat akal budi dan nurani mereka. Mereka senang menjalani kebiasaan adat rumah tua meski sebenarnya jiwa-jiwa mereka tertindas.

Di negeri baru, Bapa disambut dengan pesta besar. Kendi-kendi berisi anggur paling enak disuguhkan. Tari-tarian digelar. Seekor anak lembu tambun disembelih. Si Bungsu pun mengenakan jubah terbaik di tubuh Bapanya, cincin emas di jarinya, dan sepatu baru di kakinya.

“Bapa, mulai saat ini, Bapa telah menemukan hidup Bapa. Segala yang kupunya adalah Bapa punya. Seluruh negeri ini patut bersuka cita karena Bapa telah menemukan hidup Bapa. Hidup Bapa yang hilang telah Bapa dapatkan.”

Bola mata lelaki tua itu berkilat-kilat. Seolah bintang-bintang memancar terang dan pelangi melintas di atasnya. Semua orang di rumah itu melarut dalam kegembiraan lantaran karya-karya ajaib di negeri baru itu.

Sementara, di kejauhan sana, tepatnya di rumah tua, Si Sulung memimpin dengan tangan besi. Orang-orang di rumah tua semakin tertindas karena Si Sulung menyalahgunakan kekuasaan demi bisnis-bisnis kampungannya. Sampai akhirnya, semua penghuni rumah tua itu mati dalam kesenyapan. Carut marutnya iklim telah melapukkan tiang-tiang rumah warisan itu. Sampai akhirnya puting beliung mengamuk seperti diva kesurupan di atas pentas dan melumat habis rumah itu dengan tanah. Hanya sepotong papan setengah dimakan ngengat menyembul dari reruntuhan rumah itu dan bertuliskan: Gereja Hilang!

Wednesday, 13 June 2007

Orang-orang Terjajah

Globalisasi bukan sekadar perihal di luar sana, tetapi juga di dalam ceruk intim manusia. Ia bukan sekadar bicara tentang gedung-gedung pencakar langit, internet, komunikasi tanpa batas, penjajahan ekonomi, privatisasi lahan petanian, sekolah mahal, fasilitas canggih, jerat utang lembaga-lembaga donor dunia, demonstrasi para petani di depan gedung WTO, dan sebagainya. Tapi, globalisasi juga merangsek ke jantung hidup manusia, yakni identitas diri (self-identity).

Arus besar tak terbendung sedang mengalir. Globalisasi semakin tampak telanjang sebagai penjajahan bermotif ekonomi oleh korporasi-korporasi raksasa yang bersekutu dengan negara-negara adidaya untuk menancapkan cakarnya ke berbagai sudut bumi dengan satu tujuan, maksimalisasi modal. Maksimalisasi modal yang tak jarang berlumuran darah orang-orang tak berdosa. Mesin haus darah ini tidak hanya menjajah para petani, merebut air dan tanah dari masyarakat, melumpuhkan negara dengan jeratan utang, menggusur pedagang-pedagang kecil, melarang orang miskin sakit dan sekolah, dan sebagainya. Tetapi, mesin ini perlahan-lahan, menggerogoti jiwa dan identitas orang-orang kontemporer ini.

“Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi, dalam seksualitas, hubungan pribadi, identitas diri, perkawinan, dan keluarga,” kata Anthony Giddens dalam Reith Lectures Radio BBC Four pada tahun 1999. Dunia yang belari cepat tanpa kendali telah membuat orang-orang di dalamnya terengah-engah mengejarnya, membuat banyak orang ditinggalkan, melindas sebagian, menciptakan seribu satu risiko dan ketidakpastian, dan menciptakan penyakit orang-orang modern, seperti stress, kecemasan, anorexia nervosa, schizofrenia, gila, bunuh diri, dan sebagainya.

Citra Allah yang Dihancurkan

Salah satu cara penjajahan baru yang sangat efektif adalah menghancurkan identitas diri, kesadaran, dan potensi-potensi yang ada di dalam penghuni planet bumi. Manusia-manusia telah dijadikan objek pasar dan ketergantungan pada pasar. Melalui gaya hidup konsumtif dan hedonis telah merusak dan menghancurkan diri manusia, melumpuhkan potensi-potensi yang ada, dan mengalienasi manusia dari dirinya sendiri.

Novel garapan Jose Saramago berjudul Blindness (1999) atau Sampar karya Albert Camus bisa menjadi alat untuk memahami kondisi masyarakat sekarang. Saramago mengisahkan sebuah negeri tanpa nama yang tiba-tiba dilanda kebutaan massal. Semua orang buta. Masyarakat buta. Pemerintah buta. Dibangunlah karantina agar virus ganjil itu tidak menjalar ke mana-mana. Kebutaan itu telah membuat orang tidak lagi mengenal orang di sekitarnya. Bahkan, dirinya sendiri pun tidak mereka kenal. Di tengah kebutaan massal ini, otoritas tertentu memanfaatkannya. Terjadilah persoalan kemanusiaan tentang masyarakat yang sakit.

Persis narasi di atas, kondisi ‘kebutaan’ sedang menjalar di semua permukaan bumi ini. Orang-orang dibutakan dengan dirinya sendiri, alam, sesama, dan Tuhannya. Orang dibikin patuh oleh kebutuhan para pelaku pasar. Pasar telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru di masyarakat melalui berbagai media iklan, televisi, film, sinetron, dan sebagainya. Pasar telah menciptakan ukuran-ukuran baru di masyarakat tentang arti hidup, relasi sosial, gaya hidup, kesuksesan, kebahagiaan, kecantikan, dan sebagainya. Ukuran-ukuran itu tak lepas dari kebutuhan para pelaku pasar memasarkan produk-produk mereka. Arti hidup, kebahagiaan, kecantikan, selalu dikaitkan dengan akumulasi produk tertentu atau terkait erat dengan kebutuhan mengkonsumsi barang tertentu. Segala sesuatu diukur dari kacamata materi. Di balik kacamata materi ini ada kepentingan pasar, yakni maksimalisasi modal. Uang telah menjadi kekuatan yang maha dahsyat. Lebih dahsyat lagi saat kekuatan uang ini bermain di wilayah religius. Altar pun bisa berubah menjadi meja dagang. Ibadah pun bisa menjadi kendaraan meraup untung. Ziarah pun menjadi bisnis tur yang menjanjikan.

Orang-orang di bumi, khususnya orang muda dan anak-anak, adalah pangsa pasar yang menggiurkan. Bahkan, ujung kaki sampai ujung rambut kita pun menjadi sasaran produk yang mendatangkan riba. Noreena Hertz dalam bukunya The Silent Takeover, Global Capitalism and Death of Democracy (2001) menegaskan globalisasi telah mengubah cara hidup orang banyak, menentukan selera, kesukaan, dan pilihan-pilihan. Termasuk orang-orang pelosok seperti Bhutan sekalipun. Standar hidup telah berubah setelah Coca-Cola, MTV, Holywood datang di depan mata. Barat seperti yang ditawarkan oleh produk-produk dan gaya hidup telah berhasil mengalienasi banyak orang dari lingkungan budayanya sendiri. Orang tidak mengenal identitas dirinya sendiri. Identitasnya telah kabur dengan identitas citra-citra yang ditampilkan dalam dunia entertaint.

Badai konsumtivisme yang begitu kencang telah membuat orang-orang lumpuh dan mandul. Orang lebih membanggakan diri karena bisa membeli produk tertentu ketimbang memproduksinya sendiri. Tak hanya itu, pola pikirnya pun menjadi konsumtif. Konsumsi ini menciptakan mentalitas instan. Dengan uang banyak, kebutuhan apa pun bisa terpenuhi. Pada tahap inilah, daya kritis dan kreativitas orang digerogoti. Di tahap ini juga, letak utama esensi Citra Allah yang dihancurkan oleh kekuatan kapital.

Manusia oleh iman Kristen dipahami sebagai Citra Allah (Imago Dei). Salah satu sifat manusia yang secitra dengan Allah sendiri adalah kreativitasnya. Kreativitas tidak lepas dari kata ‘create’ yang artinya menciptakan. Pada zaman euforia konsumsi inilah, daya ini mengalami proses penumpulan. Orang lebih memilih mengkonsumsi ketimbang memproduksi. Lebih memilih meniru ketimbang membuat sendiri. Lebih memilih menerima mentah-mentah asal nikmat ketimbang berpikir kritis. Lebih memilih menjiplak ketimbang membuat kreativitas baru. Orang dibuat sedemikian emoh dengan proses. Instan dianggap sebagai jalan terbaik. Orang lebih senang menikmati ketimbang bersusah-payah menciptakan sendiri. Orang lebih memilih kedangkalan ketimbang kedalaman. Orang lebih memilih kenikmatan sesaat ketimbang nilai. Budaya tontotan telah membius kesadaran banyak orang. Orang dibuat pasif ketimbang aktif. Kita benar-benar sedang giring ke dalam barisan orang-orang bodoh. Dan kita sedang dibodohi.

Krisis daya cipta ini telah membuat ketergantungan. Ketergantungan adalah ciri khas para kaum terjajah. Hidupnya selalu distir oleh mereka yang menjajah. Mereka menyetir dan menentukan apa yang kita makan, kita minum, kita tonton, kita pakai, tempat kita bekerja, dan sebagainya (bdk. Joel Bakan, The Corporation, 2004). Ini menjelaskan, neoliberalisme tidak hanya menghancurkan secara fisik tempat tinggal, sumber daya alam kita saja, tetapi juga kedirian kita juga dihancurkan. Kekuasaannya tidak hanya menancap di berbagai negara, tetapi merangsek masuk ke jati diri dan kesadaran kita. Inilah abad kejahatan kemanusiaan yang sangat luar biasa. Kemanusiaan dihancurkan dengan jalan-jalan nikmat, lembut, sekaligus menipu. Kemampuan memaknai hidup telah dirampas. Krisis di dalam diri dibarengi dengan krisis di lingkungan sosial. Kedua-duanya sama-sama dirampas. Tak urung, orang berlomba mempertahankan hidupnya sendiri. Solidaritas sosial pun luntur.

Somebody dan Nobody

Penjarahan kedirian (selfhood) orang-orang sekarang oleh kekuatan pasar sering menjadikan orang-orang sebagai bukan person (nobody). Kita dipandang tak lebih dari kumpulan materi tanpa identitas diri yang menjadi target pasar sangat empuk. Kita telah atau sedang digiring menjadi masyarakat tanpa identitas. Kita seperti kumpulan massa anonim. Buruh hanya seperti baut dari seluruh mesin raksasa industri. Karyawan hanya dipandang sebagai kode angka-angka saja ketimbang pribadi yang hidup. Subjektivitas, kebebasan memilih, kesadaran, sebagai unsur pembentuk person (somebody) telah dirampas. Kita dikondisikan tidak lagi menjadi orang-orang merdeka, tetapi sebagai budak-budak kekuatan modal. Lebih parah lagi, dalam kasus tertentu, kita dikondisikan lebih senang memilih menjadi nobody ketimbang somebody. Kita lebih senang dijajah ketimbang menjadi manusia merdeka. Kadang kala, ketergantungan itu membawa kenikmatan dan membuat orang enggan meraih kebebasan. Bahkan, keberhasilan kekuatan pasar terjadi ketika orang-orang lari dari kebebasan dan memilih menggantungkan diri kepadanya (bdk. Paulo Freire, Pedagogy of The Opressed).

Gereja memberi jawaban?

Jawaban tidak bakalan dimunculkan dari Gereja yang terkapitalisasi. Tapi, harapan muncul, ketika Gereja sudah lama menggaungkan tema-tema pemberdayaan. Menarik ketika Gereja mulai berbicara dan menggulirkan analisis sosial seputar neoliberalisme ini (bdk. Nota Pastoral 2006, Ekonomi Berkeadilan). Dalam konteks ini, Gereja diharapkan hadir seperti Yesus sendiri sebagai sosok pembebas. Membebaskan orang-orang dari kebutaan dan kelumpuhannya. Tidak sebaliknya, Gereja menjadi mesin pembunuh baru yang hanya menciptakan umat-umat yang senang menjadi nobody ketimbang somebody.

Gereja selayaknya tidak lagi menjadi kubangan yang membekap orang-orang dalam kekakuan liturgi dan ajaran, doa-doa yang memabukkan, membuat orang cengeng di depan Allah, dan membuat orang-orang lari dari kenyataan. Pemberdayaan yang selama ini digaungkan tidak hanya seputar dukungan moral saja, tetapi juga menyangkut struktural. Pemberdayaan tidak sekadar dukungan omong dan doa, tetapi juga didukung dengan aturan main yang ada. Siapa tahu struktur, sistem, atau aturan main dalam hidup menggereja kita selama ini tidak mendukung pemberdayaan itu. Sama seperti perumpamaan anggur baru dan kantong baru. Bila anggur baru dimasukkan kedalam kantong lama, kantong itu akan koyak dan tumpahlah anggur sia-sia. Sudah lama Gereja bicara tentang HAM, kesetaraan jender, pemberdayaan orang muda, pembentukan komunitas basis, pemberdayaan kaum awam, tapi sampai saat persoalan yang muncul masih itu-itu saja. Ini mengesankan Gereja bisanya cuma refleksi canggih dan omong saja. Tapi, tahap implementasinya memble alias mandul. Sering dalam kasus ini yang disalahkan adalah orang-orangnya (agen) dan lupa mempertanyakan struktur, sistem, dan aturan main dalam Gereja. Bisa jadi, struktur dan aturan main menggereja masih ibarat kantong lama. Contoh paling konkrit, Gereja sangat bersuara mengangkat martabat perempuan, tapi belum secara struktural. Secara struktural dalam Gereja, perempuan masih nomer dua. Bagaimana Gereja mampu memberdayakan komunitas basis yang melek akan bahaya neoliberalisme, sementara sistem menggerejanya masih menomorduakan awam dan tidak mendukung terciptanya komunitas itu.

Oleh karena itu, Gereja pertama-tama harus melakukan pertobatan struktural. Secara struktur pun, Gereja memunyai potensi memberdayakan. Tidak sebaliknya, Gereja malah menjadi mesin pembunuh baru yang membuat orang-orangnya semakin jauh dari kemanusiaannya. Gereja juga harus berani mengubah konsep menggereja yang sempit dipahami sebagai kegiatan liturgi, doa, dan karitatif saja. Gereja harus menampilkan wajah gerakan sosialnya. Jangan biarkan kita dijajah dua kali, satu oleh kekuatan pasar dan satu oleh Gereja sendiri. Kalau Gereja masih sibuk dengan altarnya, Gereja memang sedang mengalami insignifikansi dan irelevansi. Artinya, tidak bermakna dan relevan.

Perlawanan Kaum Terjajah

Gerakan perlawanan terhadap penjajahan baru ini selayaknya dimulai dengan membangun kesadaran diri sebagai orang-orang yang dijajah. Sulit sekali, jika kita tidak merasa diri kita dijajah dan berusaha mengadakan perlawanan. Perlawanan akan mendapatkan energinya jika kita masing-masing merasa bahwa diri kita sendiri sedang dijajah. Tidak hanya tanah kita yang dirampas oleh korporasi rakus, tidak hanya air laut, hutan, sekolah, kampung, bukit, dan negara kita yang dirampas. Tapi, identitas diri kita juga dirampas. Dengan menyadari ini, akan lebih mudah kita bergandengan tangan, menggalang solidaritas, dan melawan penjajahan.

Sementara, sambil menyadari diri kita yang dirampas, kolonialisme gaya baru ini telah merusak alam kita, global warming membuat cuaca berjalan tanpa aturan, badai berhembus dengan daya hancur dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir, air laut meningkat enam meter dalam satu dekade ini (Bdk. Al Gore dalam An Inconvenient Truth, 2006), merebut tanah, merampas air, emas, dan semua kekayaan alam kita.

Tidak ada yang mampu menyelamatkan hidup dan masa depan kita dan anak cucu kita selain kita sendiri sekarang dan di sini!

[artikel ini pernah diterbitkan di buku acara Temu Moderatores Orang Muda 2007]