Wednesday 13 June 2007

Orang-orang Terjajah

Globalisasi bukan sekadar perihal di luar sana, tetapi juga di dalam ceruk intim manusia. Ia bukan sekadar bicara tentang gedung-gedung pencakar langit, internet, komunikasi tanpa batas, penjajahan ekonomi, privatisasi lahan petanian, sekolah mahal, fasilitas canggih, jerat utang lembaga-lembaga donor dunia, demonstrasi para petani di depan gedung WTO, dan sebagainya. Tapi, globalisasi juga merangsek ke jantung hidup manusia, yakni identitas diri (self-identity).

Arus besar tak terbendung sedang mengalir. Globalisasi semakin tampak telanjang sebagai penjajahan bermotif ekonomi oleh korporasi-korporasi raksasa yang bersekutu dengan negara-negara adidaya untuk menancapkan cakarnya ke berbagai sudut bumi dengan satu tujuan, maksimalisasi modal. Maksimalisasi modal yang tak jarang berlumuran darah orang-orang tak berdosa. Mesin haus darah ini tidak hanya menjajah para petani, merebut air dan tanah dari masyarakat, melumpuhkan negara dengan jeratan utang, menggusur pedagang-pedagang kecil, melarang orang miskin sakit dan sekolah, dan sebagainya. Tetapi, mesin ini perlahan-lahan, menggerogoti jiwa dan identitas orang-orang kontemporer ini.

“Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi, dalam seksualitas, hubungan pribadi, identitas diri, perkawinan, dan keluarga,” kata Anthony Giddens dalam Reith Lectures Radio BBC Four pada tahun 1999. Dunia yang belari cepat tanpa kendali telah membuat orang-orang di dalamnya terengah-engah mengejarnya, membuat banyak orang ditinggalkan, melindas sebagian, menciptakan seribu satu risiko dan ketidakpastian, dan menciptakan penyakit orang-orang modern, seperti stress, kecemasan, anorexia nervosa, schizofrenia, gila, bunuh diri, dan sebagainya.

Citra Allah yang Dihancurkan

Salah satu cara penjajahan baru yang sangat efektif adalah menghancurkan identitas diri, kesadaran, dan potensi-potensi yang ada di dalam penghuni planet bumi. Manusia-manusia telah dijadikan objek pasar dan ketergantungan pada pasar. Melalui gaya hidup konsumtif dan hedonis telah merusak dan menghancurkan diri manusia, melumpuhkan potensi-potensi yang ada, dan mengalienasi manusia dari dirinya sendiri.

Novel garapan Jose Saramago berjudul Blindness (1999) atau Sampar karya Albert Camus bisa menjadi alat untuk memahami kondisi masyarakat sekarang. Saramago mengisahkan sebuah negeri tanpa nama yang tiba-tiba dilanda kebutaan massal. Semua orang buta. Masyarakat buta. Pemerintah buta. Dibangunlah karantina agar virus ganjil itu tidak menjalar ke mana-mana. Kebutaan itu telah membuat orang tidak lagi mengenal orang di sekitarnya. Bahkan, dirinya sendiri pun tidak mereka kenal. Di tengah kebutaan massal ini, otoritas tertentu memanfaatkannya. Terjadilah persoalan kemanusiaan tentang masyarakat yang sakit.

Persis narasi di atas, kondisi ‘kebutaan’ sedang menjalar di semua permukaan bumi ini. Orang-orang dibutakan dengan dirinya sendiri, alam, sesama, dan Tuhannya. Orang dibikin patuh oleh kebutuhan para pelaku pasar. Pasar telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru di masyarakat melalui berbagai media iklan, televisi, film, sinetron, dan sebagainya. Pasar telah menciptakan ukuran-ukuran baru di masyarakat tentang arti hidup, relasi sosial, gaya hidup, kesuksesan, kebahagiaan, kecantikan, dan sebagainya. Ukuran-ukuran itu tak lepas dari kebutuhan para pelaku pasar memasarkan produk-produk mereka. Arti hidup, kebahagiaan, kecantikan, selalu dikaitkan dengan akumulasi produk tertentu atau terkait erat dengan kebutuhan mengkonsumsi barang tertentu. Segala sesuatu diukur dari kacamata materi. Di balik kacamata materi ini ada kepentingan pasar, yakni maksimalisasi modal. Uang telah menjadi kekuatan yang maha dahsyat. Lebih dahsyat lagi saat kekuatan uang ini bermain di wilayah religius. Altar pun bisa berubah menjadi meja dagang. Ibadah pun bisa menjadi kendaraan meraup untung. Ziarah pun menjadi bisnis tur yang menjanjikan.

Orang-orang di bumi, khususnya orang muda dan anak-anak, adalah pangsa pasar yang menggiurkan. Bahkan, ujung kaki sampai ujung rambut kita pun menjadi sasaran produk yang mendatangkan riba. Noreena Hertz dalam bukunya The Silent Takeover, Global Capitalism and Death of Democracy (2001) menegaskan globalisasi telah mengubah cara hidup orang banyak, menentukan selera, kesukaan, dan pilihan-pilihan. Termasuk orang-orang pelosok seperti Bhutan sekalipun. Standar hidup telah berubah setelah Coca-Cola, MTV, Holywood datang di depan mata. Barat seperti yang ditawarkan oleh produk-produk dan gaya hidup telah berhasil mengalienasi banyak orang dari lingkungan budayanya sendiri. Orang tidak mengenal identitas dirinya sendiri. Identitasnya telah kabur dengan identitas citra-citra yang ditampilkan dalam dunia entertaint.

Badai konsumtivisme yang begitu kencang telah membuat orang-orang lumpuh dan mandul. Orang lebih membanggakan diri karena bisa membeli produk tertentu ketimbang memproduksinya sendiri. Tak hanya itu, pola pikirnya pun menjadi konsumtif. Konsumsi ini menciptakan mentalitas instan. Dengan uang banyak, kebutuhan apa pun bisa terpenuhi. Pada tahap inilah, daya kritis dan kreativitas orang digerogoti. Di tahap ini juga, letak utama esensi Citra Allah yang dihancurkan oleh kekuatan kapital.

Manusia oleh iman Kristen dipahami sebagai Citra Allah (Imago Dei). Salah satu sifat manusia yang secitra dengan Allah sendiri adalah kreativitasnya. Kreativitas tidak lepas dari kata ‘create’ yang artinya menciptakan. Pada zaman euforia konsumsi inilah, daya ini mengalami proses penumpulan. Orang lebih memilih mengkonsumsi ketimbang memproduksi. Lebih memilih meniru ketimbang membuat sendiri. Lebih memilih menerima mentah-mentah asal nikmat ketimbang berpikir kritis. Lebih memilih menjiplak ketimbang membuat kreativitas baru. Orang dibuat sedemikian emoh dengan proses. Instan dianggap sebagai jalan terbaik. Orang lebih senang menikmati ketimbang bersusah-payah menciptakan sendiri. Orang lebih memilih kedangkalan ketimbang kedalaman. Orang lebih memilih kenikmatan sesaat ketimbang nilai. Budaya tontotan telah membius kesadaran banyak orang. Orang dibuat pasif ketimbang aktif. Kita benar-benar sedang giring ke dalam barisan orang-orang bodoh. Dan kita sedang dibodohi.

Krisis daya cipta ini telah membuat ketergantungan. Ketergantungan adalah ciri khas para kaum terjajah. Hidupnya selalu distir oleh mereka yang menjajah. Mereka menyetir dan menentukan apa yang kita makan, kita minum, kita tonton, kita pakai, tempat kita bekerja, dan sebagainya (bdk. Joel Bakan, The Corporation, 2004). Ini menjelaskan, neoliberalisme tidak hanya menghancurkan secara fisik tempat tinggal, sumber daya alam kita saja, tetapi juga kedirian kita juga dihancurkan. Kekuasaannya tidak hanya menancap di berbagai negara, tetapi merangsek masuk ke jati diri dan kesadaran kita. Inilah abad kejahatan kemanusiaan yang sangat luar biasa. Kemanusiaan dihancurkan dengan jalan-jalan nikmat, lembut, sekaligus menipu. Kemampuan memaknai hidup telah dirampas. Krisis di dalam diri dibarengi dengan krisis di lingkungan sosial. Kedua-duanya sama-sama dirampas. Tak urung, orang berlomba mempertahankan hidupnya sendiri. Solidaritas sosial pun luntur.

Somebody dan Nobody

Penjarahan kedirian (selfhood) orang-orang sekarang oleh kekuatan pasar sering menjadikan orang-orang sebagai bukan person (nobody). Kita dipandang tak lebih dari kumpulan materi tanpa identitas diri yang menjadi target pasar sangat empuk. Kita telah atau sedang digiring menjadi masyarakat tanpa identitas. Kita seperti kumpulan massa anonim. Buruh hanya seperti baut dari seluruh mesin raksasa industri. Karyawan hanya dipandang sebagai kode angka-angka saja ketimbang pribadi yang hidup. Subjektivitas, kebebasan memilih, kesadaran, sebagai unsur pembentuk person (somebody) telah dirampas. Kita dikondisikan tidak lagi menjadi orang-orang merdeka, tetapi sebagai budak-budak kekuatan modal. Lebih parah lagi, dalam kasus tertentu, kita dikondisikan lebih senang memilih menjadi nobody ketimbang somebody. Kita lebih senang dijajah ketimbang menjadi manusia merdeka. Kadang kala, ketergantungan itu membawa kenikmatan dan membuat orang enggan meraih kebebasan. Bahkan, keberhasilan kekuatan pasar terjadi ketika orang-orang lari dari kebebasan dan memilih menggantungkan diri kepadanya (bdk. Paulo Freire, Pedagogy of The Opressed).

Gereja memberi jawaban?

Jawaban tidak bakalan dimunculkan dari Gereja yang terkapitalisasi. Tapi, harapan muncul, ketika Gereja sudah lama menggaungkan tema-tema pemberdayaan. Menarik ketika Gereja mulai berbicara dan menggulirkan analisis sosial seputar neoliberalisme ini (bdk. Nota Pastoral 2006, Ekonomi Berkeadilan). Dalam konteks ini, Gereja diharapkan hadir seperti Yesus sendiri sebagai sosok pembebas. Membebaskan orang-orang dari kebutaan dan kelumpuhannya. Tidak sebaliknya, Gereja menjadi mesin pembunuh baru yang hanya menciptakan umat-umat yang senang menjadi nobody ketimbang somebody.

Gereja selayaknya tidak lagi menjadi kubangan yang membekap orang-orang dalam kekakuan liturgi dan ajaran, doa-doa yang memabukkan, membuat orang cengeng di depan Allah, dan membuat orang-orang lari dari kenyataan. Pemberdayaan yang selama ini digaungkan tidak hanya seputar dukungan moral saja, tetapi juga menyangkut struktural. Pemberdayaan tidak sekadar dukungan omong dan doa, tetapi juga didukung dengan aturan main yang ada. Siapa tahu struktur, sistem, atau aturan main dalam hidup menggereja kita selama ini tidak mendukung pemberdayaan itu. Sama seperti perumpamaan anggur baru dan kantong baru. Bila anggur baru dimasukkan kedalam kantong lama, kantong itu akan koyak dan tumpahlah anggur sia-sia. Sudah lama Gereja bicara tentang HAM, kesetaraan jender, pemberdayaan orang muda, pembentukan komunitas basis, pemberdayaan kaum awam, tapi sampai saat persoalan yang muncul masih itu-itu saja. Ini mengesankan Gereja bisanya cuma refleksi canggih dan omong saja. Tapi, tahap implementasinya memble alias mandul. Sering dalam kasus ini yang disalahkan adalah orang-orangnya (agen) dan lupa mempertanyakan struktur, sistem, dan aturan main dalam Gereja. Bisa jadi, struktur dan aturan main menggereja masih ibarat kantong lama. Contoh paling konkrit, Gereja sangat bersuara mengangkat martabat perempuan, tapi belum secara struktural. Secara struktural dalam Gereja, perempuan masih nomer dua. Bagaimana Gereja mampu memberdayakan komunitas basis yang melek akan bahaya neoliberalisme, sementara sistem menggerejanya masih menomorduakan awam dan tidak mendukung terciptanya komunitas itu.

Oleh karena itu, Gereja pertama-tama harus melakukan pertobatan struktural. Secara struktur pun, Gereja memunyai potensi memberdayakan. Tidak sebaliknya, Gereja malah menjadi mesin pembunuh baru yang membuat orang-orangnya semakin jauh dari kemanusiaannya. Gereja juga harus berani mengubah konsep menggereja yang sempit dipahami sebagai kegiatan liturgi, doa, dan karitatif saja. Gereja harus menampilkan wajah gerakan sosialnya. Jangan biarkan kita dijajah dua kali, satu oleh kekuatan pasar dan satu oleh Gereja sendiri. Kalau Gereja masih sibuk dengan altarnya, Gereja memang sedang mengalami insignifikansi dan irelevansi. Artinya, tidak bermakna dan relevan.

Perlawanan Kaum Terjajah

Gerakan perlawanan terhadap penjajahan baru ini selayaknya dimulai dengan membangun kesadaran diri sebagai orang-orang yang dijajah. Sulit sekali, jika kita tidak merasa diri kita dijajah dan berusaha mengadakan perlawanan. Perlawanan akan mendapatkan energinya jika kita masing-masing merasa bahwa diri kita sendiri sedang dijajah. Tidak hanya tanah kita yang dirampas oleh korporasi rakus, tidak hanya air laut, hutan, sekolah, kampung, bukit, dan negara kita yang dirampas. Tapi, identitas diri kita juga dirampas. Dengan menyadari ini, akan lebih mudah kita bergandengan tangan, menggalang solidaritas, dan melawan penjajahan.

Sementara, sambil menyadari diri kita yang dirampas, kolonialisme gaya baru ini telah merusak alam kita, global warming membuat cuaca berjalan tanpa aturan, badai berhembus dengan daya hancur dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir, air laut meningkat enam meter dalam satu dekade ini (Bdk. Al Gore dalam An Inconvenient Truth, 2006), merebut tanah, merampas air, emas, dan semua kekayaan alam kita.

Tidak ada yang mampu menyelamatkan hidup dan masa depan kita dan anak cucu kita selain kita sendiri sekarang dan di sini!

[artikel ini pernah diterbitkan di buku acara Temu Moderatores Orang Muda 2007]

1 comment:

Anonymous said...

Dalam hakikat ontologisnya sebagai sakramentum mundi, atau, sakramen keselamatan dunia, Gereja memang mau tidak mau harus turut bergulat dan bergumul di dalam lebirin keseharian manusia konkrit yang diwarnai oleh kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan eksistensial. Dalam konteks Indonesia, di mana kemiskinannya berlimpah ruah dan kerusakan alamnya menggurita hebat, Gereja sebagai sakramen keselamatan universal bisa berbuat apa? Apa yang dapat kita lakukan sebagai anggota Gereja, entah sebagai klerus, biarawan/wati atau awam? Kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan orang-orang di Indonesia jaman sekarang, terutama mereka yang miskin, dibodohkan dan tersingkirkan, adalah kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Viktor Taufan Handaya Putra.