Wednesday, 17 January 2007

Menjual Tuhan

UANG memang mempunyai kekuatan dahsyat. Uang yang dulunya sebagai bagian dari proses interaksi sosial, proses pemenuhan kebutuhan manusia, sekarang bisa merajai dimensi manusia apa pun. Segalanya bisa direngkuh dengan uang dan segalanya juga bisa diuangkan. Tidak hanya kebutuhan bahan pokok yang bisa diuangkan, tetapi juga pendidikan, relasi, bahkan perang. Jangan salah, Tuhan pun sekarang bisa dijual dan diuangkan. Apa maksudnya?

Dulu, pada zaman Martin Luther hidup, Gereja Katolik sedang bobrok-bobroknya. Salah satunya adalah jual beli surat pengampunan dosa. Luther, yang dianggap sang pembangkang, mengkritik pedas praktek ini. Surat pengampunan dosa dijual untuk membiayai berbagai pembangunan gedung gereja megah, salah satunya adalah Basilika Santo Petrus di Vatikan. Keselamatam dijual. Dengan demikian, logikanya adalah mereka yang berduit banyak akan lebih banyak diampuni dosanya. Surga pun sudah diperjualbelikan. Sebuah praktik pembodohan.

Kalau tidak hati-hati, Gereja bisa mengulang sejarah itu. Dulu, sekolah-sekolah, termasuk sekolah Katolik, benar-benar melakukan apa namanya public sevice (melayani masyarakat), tapi sekarang cenderung menjadi profit service (mengabdi keuntungan). Nah, Gereja bisa juga melenceng arah, dari dari public service ke profit service. Tempat yang sebenarnya dijadikan untuk ruang bersua dengan Tuhan dengan lebih intensif, dijadikan tempat untuk berbisnis. Tak heran, Yesus dengan marahnya mengusir para pedagang di Bait Allah seperti yang dikisahkan Injil pada minggu ini.

Banyak hal yang bisa diuangkan dengan menggunakan nama Tuhan. Lebih-lebih diuangkan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Rumah Tuhan bisa menjadi lahan yang empuk untuk melakukan bisnis. Tinggal bagaimana kita pandai-pandai mengemasnya saja. Ini diperparah bila yang menyangkut kepentingan umum (bonum communae) tidak disertai dengan pertanggungjawaban yang transparan dan akuntabel. Umat tidak perlu kritis, lebih-lebih bila sudah dicekoki dengan sabda-sabda Kitab Suci yang sungguh menggiurkan dan meninabobokan kesadaran. Sejarah membuktikan bahwa Gereja pernah kilaf dalam hal ini.

Dalam Surat Gembala Prapaskah 2006 ini dengan tajuk “Korupsikah Aku?”, Bapa Uskup menyinggung praktik semacam sebagai bahan perbandingan saja. Di sana, dikatakan menjadi soal kalau pelayanan, ibadah, dan sebagainya dibuat demi pengumpulan uang terutama untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Penulis menangkap maksud bahwa segala bentuk pelayanan Gerejawi tidak boleh dijadikan lahan bisnis. Gereja bukan gedung opera di mana siapa saja yang mau berdoa harus membayar tiket masuk. Masa Prapaskah ini menjadi masa yang baik bagi Gereja, kita semua, untuk mawas diri. Gereja tidak luput dari dosa dan kesalahan. Oleh karenanya, Gereja senantiasa menyerukan pertobatan. Jawablah dengan jujur pertanyaan ini, saat saya masuk ke dalam Gereja, saya berperan sebagai seorang murid Tuhan atau sebagai pedagang? [diterbitkan di Warta Minggu, 19 Maret 2006]

No comments:

Post a Comment