Friday 19 January 2007

Maria Maria Pemberontak

OKTOBER adalah bulan Maria. Di bulan ini, biasanya orang berbondong-bondong menyerbu tempat-tempat ziarah, gua-gua Maria yang terserak di mana-mana. Bahkan, saking antusiasnya, banyak Gereja yang ramai-ramai membangun gua-gua Maria yang baru, seolah-olah gua-gua itu belum mencukupi untuk melampiaskan hasrat rohaninya. Tur-tur ziarah Maria baik domestik maupun mancanegara berbiak bak jamur di musim hujan, lengkap dengan perlombaan iklan di media massa. Berlomba seakan tempat-tempat yang mereka iklankan menjadi tempat paling mujarab untuk menerima rahmat dari Bunda Kristus itu. Akibatnya, kadang menjadi tidak jelas, antara ziarah sejati, rekreasi, gengsi, dan bisnis.

Setiap kali ditampilkan dalam renungan, Maria senantiasa digambarkan sebagai sosok perempuan yang taat, saleh, religius, beribadah, pengasuh, penolong, sehingga dijuluki sebagai Bunda Gereja, Perempuan Mulia, Bunda Penebus, dan sebutan penghormatan lainnya. Tapi, jarang Maria ditampilkan sebagai sosok pemberontak. Sosok yang menjadi inspirasi bagi segala perjuangan melawan bentuk penindasan, kemapanan, ketidakadilan, sekaligus ketidakadilan gender. Nah, Penulis mencoba menawarkan renungan alternatif atas sosok Maria, sebagai Bunda Pemberontak. Tidak hanya Maria Bunda Yesus saja, melainkan sosok-sosok Maria lain dalam Gereja dan masyarakat yang memunyai spirit yang sama, yakni spirit pemberontakan.

Spirit pemberontakan Maria terlihat kental dalam Kidung Maria, Magnificat Anima Mea Dominum, Jiwaku Memuliakan Tuhan. Magnificat sering dipakai Gereja dalam doa-doa harian. Doa ini menjadi ringkasan iman dan kepercayaan Maria pada Tuhan. Dalam Women’s Bible Commentary, penulis Jane Schaberg mengartakan Magnificat sebagai nyanyian pembebasan, baik pembebasan personal, sosial, moral, maupun ekonomi. Bagi Schaberg, ini merupakan catatan revolusioner dari jiwa seorang bernama Maria.

Dalam Kidung itu, Maria menyebut diri yang berbahagia, yang mengalami Allah sebagai Sang Juru Selamat, yang melihat Allah telah melakukan karya-karya besar, dan melihat rahmat Allah dicurahkan pada setiap orang yang takut padaNya. Selain itu, Maria menyakini Allah sebagai Sang Pembebas dari persoalan sosial yang melilit Bangsanya. “Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa,” kata Maria.

Spirit di atas jelas merupakan spirit pemberontakan. Spirit yang tanggap pada pembebasan dari ketidakadilan, kecongkakan, kekuasaan tidak adil, kelaparan, dan keserakahan. Beberapa episode dalam Injil menceritakan Maria sebagai seorang perempuan yang kuat, tegas, dan berani bersuara, termasuk kepada Puteranya sekalipun (bdk. Pesta di Kana). Ia menjadi perempuan yang setia di Jalan Salib Yesus yang adalah jalan pembebasan. Memang, tidak banyak bab yang menceritakan Maria. Tapi, sangat logis, bahwa karakter Yesus dibentuk oleh didikan Maria, ibu-Nya. Karakter yang tegas, berani, solider dengan yang miskin dan tertindas, penuh jiwa kenabian, punya jiwa pemberontak adalah karakter yang tidak lepas dari didikan Maria sendiri. Sudah lumrah, pendidikan seorang ibu memengaruhi karakter pada anak-anaknya.

Nah, dari Kidung Maria itu, tampak jiwa Maria sebenarnya. Dia bukan sosok yang pasif, suka mengurung diri, lemah, apatis pada situasi sosial, dan tidak berani bersuara. Maria senantiasa menampilkan diri sebagai sosok yang kuat. Dan ini sangat dominan di zaman itu, di mana budaya patriarkis sangat kental. Budaya di mana peran perempuan dipinggirkan di berbagai ranah sosial, baik agama, ekonomi, sosial, maupun politik.

Apakah ada sosok Maria lain yang memunyai spirit yang sama? Spirit pemberontakan juga ditampakkan oleh Maria, saudara Marta. Kisah Maria dan Marta sering direnungkan dalam tema doa dan kerja. Tapi, Penulis melihat kisah ini sebagai kisah revolusioner. Saat menyambut Yesus di rumahnya, Maria menampilkan diri sebagai sosok yang berani menjadi diri sendiri. Ia menjadi si pemberani yang melawan tradisi. Pada zaman itu, perempuan dilarang menyambut rabi di ruang tamu. Ruang tamu adalah ruangnya laki-laki dan dapur adalah ruangnya perempuan. Urusan perempuan sebatas lingkup domestik. Dan perempuan tidak boleh bercakap dan berbicara dengan tamu-tamu di rumahnya. Tapi, Maria yakin di depan Yesus, ia bebas memilih yang terbaik bagi dirinya sendiri, bebas dari ketakutan melawan tradisi. Maria sempat ditegur Marta. Tapi, Maria tetap dalam pendiriannya dan Yesus malah membenarkan sikap Maria sebagai pilihan terbaik. Itulah spirit pemberontakan Maria, saudara Marta.

Adakah sosok-sosok Maria di zaman sekarang? Ada dan banyak. Banyak perempuan-perempuan perkasa dan pejuang keadilan sosial dan kesetaraan gender di antara belantara perempuan yang suka bersolek, arisan, ngrumpi sana-sini, jalan-jalan, dan sebagainya. Tidak semua perempuan memunyai jiwa feminis, bahkan sebaliknya sangat berjiwa patriarkis. Seolah-olah perempuan memang ditakdirkan di bawah laki-laki. Gereja juga memunyai banyak wadah organisasi perempuan. Tapi, apakah wadah ini benar-benar menjadikan perempuan kritis, cerdas, berdaya, sekaligus mau berjuang? Atau, sebaliknya, wadah ini hanya sekadar perpanjangan dapur saja, di mana perempuan hanya sibuk dengan persoalan domestik? Lebih parah menjadi wadah eksklusif istri-istri yang tidak bekerja dari suami-suami mapan dan melupakan perempuan-perempuan yang bekerja keras membanting tulang untuk ikut menanggung beban keluarga? Apakah wadah ini benar-benar menjadi wadah pembebasan dan bukanya menjadi perangkap dan belenggu baru bagi perempuan?

Nah, banyak hal yang bisa kita timba dari spirit pemberontakan Maria ini. Tidak hanya bagi kaum perempuan, tetapi semua orang. Misalnya, semangat untuk tidak berdiam diri dalam kenyamanan dan kemapanan, tidak bersikap masa bodoh terhadap persoalan sosial, berani menjadi diri sendiri, berani membela kebenaran, jujur, berani bersuara kritis, berani tampil beda demi kebaikan, berani bergerak, rendah hati sekaligus menjadi pribadi pendoa yang senantiasa mengandalkan rahmat Allah.

Penulis bermimpi bahwa Kidung Maria ini akan menjadi kidung bersama orang-orang yang memimpikan perubahan. Tak ada perubahan bisa terwujud kalau kita tidak berani meninggalkan segala bentuk kemapanan saat ini. Gereja membutuhkan spirit Maria, spirit pemberontakan! [diterbitkan di Warta Minggu, 10 Oktober 2006]

No comments:

Post a Comment