SEBUAH keluarga miskin di Muara Angke, Jakarta Utara, pernah diwawancarai wartawan dari sebuah TV swasta tentang kelangkaan minyak tanah. Bukan tanpa sengaja wawancara itu terjadi. Wartawan itu memilih mewancara kelompok warga miskin dan marjinal di sudut metropolitan sebagai kelompok yang paling menanggung beban berat dari kelangkaan minyak tanah itu. Keluarga itu pun melontarkan keluhan. Ada satu potong curahan hati yang cukup menganggetkan. “Yah, mungkin ini sudah takdir kami sebagai orang miskin selalu diombang-ambingkan situasi. Tapi, kami sudah biasa,” ungkap salah satu anggota keluarga.
Ungkapan jujur di atas sungguh menarik untuk dicermati. Ada banyak tafsiran atas ungkapan itu. Pertama, ungkapan keputusasaan atas kemiskinan yang menimpanya sehari-hari. Kedua, kemiskinan yang seolah tidak bisa ditanggulangi itu sudah menjadi takdir atas hidupnya. Artinya, kemiskinan dianggap sebagai takdir yang tidak boleh digugat. Orang lahir, hidup, dan mati dalam lingkaran kemiskinan. Pertanyaan kritisnya, apa benar kemiskinan adalah takdir?
Mari kita cermati fenomena di Irian Jaya. Irian Jaya dikenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan alam melimpah. Di sana ada hutan sebagai sumber kayu. Ada tambang emas dan tembaga. Nama Irian Jaya juga dikenal di mata internasional. Pertanyaannya, mengapa di wilayah yang begitu kaya dengan kekayaan alam itu, banyak dari masyarakatnya yang mengalami kemiskinan, keterbelakangan, busung lapar, dan kematian? Sebuah ironisme bak tikus yang mati di lumbung padi. Pertanyaan berikutnya, dikemanakan hasil pengolahan semua kekayaan alam tadi? Nah, dari sini, kita bisa melihat ada sebuah tata kelola ekonomi yang timpang dan tidak adil.
Di wilayah itu, ada berbagai perusahaan pengolahan kekayaan alam. Salah satu yang terkenal adalah perusahaan raksasa asing PT. Freeport yang mengolah tambang emas, tembaga, dan batubara. Emas dikenal sebagai penghasil triliunan uang. Namun, uang itu masuk ke kantong siapa saja? Yang jelas, uang itu masuk ke kantong perusahaan dan pemerintah dan bukan untuk sebagian masyarakat sana sebagai pemilik sah wilayah itu. Di tengah gelimangnya uang, banyak masyarakat yang mati kelaparan. Sementara itu, alam sebagai habitat mereka kian lama kian rusak. Hutan ditebangi dengan ilegal. Bumi dikeruk tanpa ampun. Sebuah fenomena keserakahan manusia.
Kita tahu, pengelolaan sumberdaya alam adalah bagian dari ekonomi. Kita sepakat bahwa tujuan dari ekonomi adalah KESEJAHTERAAN BERSAMA. Artinya, kegiatan ekonomi bertujuan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Namun, bila kita kaitkan dengan fenomena di atas, pengelolaan sumberdaya alam tadi justru jauh dari cita-cita kesejahteraan bersama. Pembangunan ekonomi di Irian Jaya hanya ditujukan untuk kesejahteraan kelompok tertentu saja dan bukan untuk mayoritas masyarakat Irian Jaya. Yang terjadi, justru Jakarta, Amerika, dan wilayah-wilayah di luar Irian Jaya yang menikmati hasil kekayaan alam itu.
Nota Pastoral (NP) 2006 dengan tajuk “Habitus Baru: Ekonomi Berkeadilan” melihat adanya ketidakadilan dalam tata kelola ekonomi di Indonesia. Ini sebuah keprihatinan. NP 2006 menangkap sebuah ironi bahwa kesejahteraan bersama masih jauh dariu kenyataan di tengah Republik yang kaya raya ini. NP 2006 mengajak seluruh umat untuk mencermati gejala kesenjangan itu. Tujuannya, mencari jalan bagaimana kegiatan ekonomi dapat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh bangsa Indonesia.
Kasus Irian Jaya adalah salah satu contoh bagaimana pembagian rezeki yang tidak adil. Irian Jaya adalah contoh gamblang bagaimana kesejahteraan bersama diabaikan. Mengapa ini bisa terjadi? Mari kita melakukan analisis sosial secara sederhana. Di Irian Jaya, ada banyak rezeki. Tapi, bagaimana pembagian rezeki itu ditentukan? Pembagian rezeki ditentukan oleh aturan permainan yang ada. Di sana, ada sistem dan struktur pembagian rezeki. Sistem atau aturan main ini dibuat oleh kekuasaan. Rumusan singkatnya: kekuasaan menentukan aturan permainan dan aturan permainan menentukan pembagian rezeki.
Tampak jelas, ada aturan pembagian rezeki yang tidak adil di Irian Jaya. Aturan main itu dibuat oleh kekuasaan, baik pemerintah maupun para pemilik modal (perusahaan). Perselingkuhan antara pemerintah dan perusahaan ini sebenarnya menyiratkan bahwa uanglah yang memegang kekuasaan dan menentukan aturan permainan. Ambisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoklah yang mendorong dibuatnya aturan main itu. Nah, masyarakat Irian Jaya yang pada dasarnya tidak memunyai kekuasaan, harus mengikuti aturan main yang tidak adil itu. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di daerah penuh kekayaan itu terpaksa tidak bisa menikmati kekayaannya sendiri. Bahkan, mati karena ketiadaan kekayaan.
Uang benar-benar menjadi berhala. Uang inilah yang diperebutkan. Pemerintah yang seharusnya mengayomi dan menyejahterakan masyarakat justru berselingkuh dengan pasar (bisnis). Ujung-ujungnya adalah uang dan keuntungan. Pemerintah yang seharunya melakukan pelayanan publik (public service) mengubah haluannya menjadi pelayanan modal (profit service). Akibatnya, kesejahteraan bersama diabaikan. Bahkan, sering telanjang di depan mata, aparat keamanan yang seharunya melindungi masyarakat justru bertugas menjaga kepentingan perusahan-perusahaan. Banyak kasus di mana militer dan polisi menjadi penjaga perusahaan-perusahaan besar. Militer dan polisi justru berbalik menjadi ‘anjing-anjing penjaga’ perusahaan dan siap menerkam siapa saja yang menganggu perusahaan itu. Di Irian Jaya, berapa masyarakat warga yang mati di tangan militer dan polisi hanya karena ingin menyuarakan kepentingan mereka yang dilibas oleh perusahaan?
Nah, ada beberapa pertanyaan reflektif buat kita. Paroki kita dikenal sebagai paroki kaya dan penyumbang kolekte sangat besar di KAJ. Di paroki, banyak orang-orang kaya yang pegang banyak perusahaan dan memunyai banyak karyawan. Jangan dilupakan juga, di sudut-sudut paroki, masih banyak wajah kemiskinan. Paroki juga dipenuhi oleh orang-orang miskin, orang-orang urban, dan berekonomi pas-pasan. Nah, apakah kita sudah memperlakukan karyawan dengan adil dan manusiawi? Apakah kita benar-benar melakukan bisnis demi kesejahteraan bersama dan bukan sekadar keuntungan pribadi? Mungkin banyak uang dan derma yang kita sumbangkan buat rumah Tuhan, tapi apakah kita juga benar-benar berderma bagi saudara-saudara kita yang miskin? Apakah sistem di perusahaan atau di paroki kita sungguh-sungguh mengacu pada kesejahteraan bersama? Nah, kalau ada sistem atau aturan main yang tidak adil, mari kita ubah sistem dan aturan itu. Tentunya, dengan melibatkan para karyawan dan masyarakat.
Mungkin kita sudah merasa berderma banyak dan mencintai Tuhan, tapi seberapa besar kita mencintai sesama kita? Ingat, orang hanya bisa mencintai Allah yang tidak kelihatan kalau ia pun mampu mencintai sesamanya yang kelihatan. Mari wujudkan kesejahteraan bersama! [diterbitkan di Warta Minggu, 21 Januari 2007]
No comments:
Post a Comment