Thursday, 18 January 2007

Seri Nota Pastoral 2006: Komitmen Gereja Untuk Si Miskin

"Bila aku memberi lauk pauk kepada orang miskin, aku disebut sebagai orang kudus. Tapi, ketika aku mempertanyakan mengapa mereka miskin, aku dituduh komunis."

[Uskup Dom Helder Camara, Brazil]

KISAH memilukan akibat kemiskinan tak pernah hengkang dari hadapan kita. Belum lekang dalam memori kita, kisah Supriono, seorang pemulung pengusung mayat anaknya di jalanan ibukota. Alkisah, Supriono pada sebuah siang yang gerah, tertatih menarik gerobak sampahnya. Wajahnya pucat dan duka menghiasi mukanya yang hitam dan berdebu. Tubuhnya yang tirus tampak sempoyongan. Tatapannya nanar nir pengharapan. Ia baru kehilangan Khaerunisa, 3 tahun.

Khaerunisa meninggal dunia lantaran muntaber. Gadis cilik ini mati karena minimnya uang pengobatan. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas. Saya tak punya uang untuk membawanya ke sana lagi, meski cuma Rp4.000. Saya hanya seorang pemulung kardus, gelas, dan botol plastik," kata Supriono seperti dituliskan sebuah harian ibukota.

Uang saku pemulung yang tiap hari tinggal di kolong perlintasan rel KA Cikini itu tinggal Rp6.000. Ia tak kuat membeli kain kafan, apalagi menyewa ambulan. Akhirnya, ia meletakkan jenazah anaknya di gerobaknya yang kotor dan bau. Murizki, anaknya yang lain berusia 6 tahun, duduk dekat adiknya dan mengira adiknya sedang tidur. Tubuh Khaerunisa dibalut kain sarung kumal. Kepalanya dibiarkan terbuka agar orang tidak curiga. Supriono menyeret gerobaknya dari Manggarai menuju Stasiun Tebet. Ia berencana menguburkan anaknya di kampung pemulung Kramat, Bogor.

Di stasiun Tebet, ia berniat naik KRL. Tapi, polisi memergokinya. Setelah mengatakan hal sebenarnya, polisi pun menyarankan jenazah anaknya dibawa ke RSCM untuk diotopsi. Padahal Supriono ingin segera menguburkan anaknya di Bogor. Tapi, Supriono hanya bisa duduk pilu dan tersedu menanti surat permintaan pulang dari RSCM. Sore hari, surat keluar. Lagi-lagi karena tidak punya biaya, ambulan tidak jadi disediakan rumah sakit. Supriono kembali mengendong jenazah anaknya dengan jalan kaki. Orang-orang yang iba padanya memberinya sedekah sekadar untuk ongkos ke Bogor.

Memilukan. Kata yang tepat melukiskan kisah tragis di atas. Supriono hanyalah satu dari jutaan orang kecil miskin yang tidak mengakses layanan publik. Ia menderita karena miskin. Ia tidak diperhatikan karena ia seorang pemulung. Ia tidak mendapatkan pelayanan memadai karena ia tidak memunyai uang. Sangat pantas jika ada ungkapan satiris yang mengatakan "orang miskin dilarang sekolah" atau "orang miskin dilarang sakit."

Kisah Supriono bisa dijadikan pisau analisis pada kehidupan bersama kita. Di tengah negeri yang bergelimangan kekayaan, mengapa masih banyak orang miskin dan kelaparan? Di tengah pembangunan kota dengan gedung-gedung jangkung, mengapa masih ada penghuni kolong-kolong jembatan? Di tengah digalakkanya perekonomian rakyat, mengapa masih ada pedagang-pedagang kecil yang digusur oleh aparat dan digencet oleh pusat-pusat belanja yang mengepung dari segala arah? Di tengah menjamurnya lembaga pendidikan, mengapa masih ada orang kecil yang tidak bisa sekolah? Fenomena ini menandakan ada sesuatu yang salah dalam tata kehidupan publik selama ini.

Dalam konteks kehidupan seperti itulah, Gereja Indonesia kembali menerbitkan Nota Pastoral (NP) 2006 bertajuk "Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan." NP 2006 ini merupakan kelanjutan dari NP 2003 berjudul "Keadilan Sosial Bagi Semua" dan NP 2004 berjudul "Keadaban Publik:Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya." Nah, Warta Minggu akan menyajikan gagasan NP 2006 ini dalam edisi serial. Edisi kali ini lebih memaparkan secara umum gagasan NP 2006 ini.

NP 2006 menawarkan diri sebagai bahan pembelajaran dan penghayatan iman dalam dimensi sosial-ekonomi. Praksis iman tidak bisa dilepaskan dari hidup sosial ekonomi. NP 2006 merupakan refleksi Gereja Katolik Indonesia atas tata kelola ekonomi Indonesia. Ekonomi yang idealnya bertujuan untuk kesejahteraan bersama, pada kenyataannya hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja.

Ada enam bab yang membingkai gagasan NP 2006. Setelah pengantar, NP memaparkan wajah real sosial ekonomi Indonesia. Misalnya, orang miskin yang mencapai 108, 78 juta, semakin minimnya sumber daya produktif rakyat, meledaknya pengangguran, jumlah anak putus sekolah, kurang gizi, busung lapar, kejahatan, dan sebagainya. Wajah kemiskinan yang telanjang ini hadir berdampingan dengan penumpukan kekayaan sekelompok orang yang memamerkannya tanpa kepedulian. Ada kesenjangan sosial.

Ada banyak penyebab kesenjangan sosial. Pertama, komersialisasi di berbagai bidang. Segala sesuatu diuangkan dan diperjualbelikan. Mekanisme pasar merangsek ke berbagai lini. Akibatnya, hanya orang-orang yang berduit yang bisa mengakses pelayanan, barang, dan jasa. Kedua, kebijakan publik cenderung berpihak pada yang kaya lantaran yang posisi pembuat kebijakan justru dikuasai oleh uang. Ketiga, ciri ambigu globalisasi. Globalisasi selain menyuguhkan kemudahan-kemudahan sekaligus memunculkan risiko, keterpurukan, kemiskinan, dan penindasan baru. Keempat, kesenjangan budaya. Hal ini sangat kentara dalam masyarakat perkotaan.

Pola untung rugi memengaruhi cara berpikir masyarakat sekarang. Segala tindakan lebih diarahkan pada pengerukan keuntungan dan kekayaan pribadi ketimbang demi kesejahteraan bersama.

Ke depan, Gereja mau mewujudkan komitmennya. Gereja ingin terlibat dalam usaha mendorong pemerintah dan pengelola pasar untuk membangun kembali tata ekonomi yang adil, khusunya dalam memberdayakan ekonomi warga. Gereja mendorong orang-orang kecil untuk berani memberdayakan didirnya. Gereja mengajak semua pihak untuk memikirkan dan melibati usaha mencapai kesejahteraan bersama. Gereja juga menawarkan berbagai prioritas gerakan dan langkah-langkah strategis sambil mengoptimalkan potensi yang ada.

Paroki adalah bagian dari Gereja yang hidup di tengah realitas masyarakat dengan wajah kemiskinan di sana. NP 2006 bisa kita jadikan cermin dan semangat gerakan. Jangan-jangan mentalitas bisnis (uang) juga masuk dalam pola dan sistem menggereja kita? Jangan-jangan paroki kita yang lagi bergiat membangun gedung gereja telah meminggirkan orang-orang kecil dan miskin di dalam dan di sekitarnya? Jangan-jangan hanya orang-orang berduit saja yang bisa mengakses layanan optimal di paroki kita? Semoga fenomena konkret di paroki kita tidak memancing ungkapan satiris baru: "orang miskin di larang menggereja" atau "prang miskin dilarang menggunakan fasilitas gereja". Untuk kita renungkan. [diterbitan di Warta Minggu, 14 Januari 2007]

No comments:

Post a Comment