Sunday, 30 December 2007

Anak Hilang

ADA sepotong kisah dari negeri antah berantah. Di sana, hiduplah sebuah keluarga besar yang terkenal seantero negeri. Keluarga besar ini tinggal di rumah tua yang besar. Halamannya sangat luas. Mereka juga memunyai perkebunan. Dari tanah itu, dihasilkan apel, anggur, pir yang sangat terkenal manisnya dan beragam tanaman bunga seperti tulip, bakung, aster yang sangat terkenal indahnya. Ada sebagian petak tanah digunakan untuk peternakan sapi, babi, ayam, dan domba. Untuk menjaga dari serangan binatang buas seperti serigala hutan maupun ular beludak, dipeliharalah sekawanan anjing penjaga. Anjing-anjing ini ditempatkan di setiap sudut halaman rumah mereka. Mereka tidak pernah tidur sekalipun bola raksasa yang terbang di langit telah melarut dalam gelap. Keluarga itu hidup dengan gembira dan penuh persaudaraan.

Keluarga itu dipimpin oleh seorang lelaki tua yang sering disapa dengan Bapa. Ia disegani sampai negeri seberang. Tugasnya tak lain adalah menjaga kelangsungan hidup rumah tua itu beserta seluruh isinya. Orang asing sering menyebutnya dengan Si Penjaga Tradisi.

Asal tahu saja, rumah tua itu merupakan rumah warisan yang usianya sudah ribuan tahun. Konon katanya, rumah itu didirikan di atas sebongkah batu karang raksasa. Menurut kitab tak pernah tertulis, rumah itu tidak boleh dirombak. Renovasi masih dimungkinkan sejauh tidak mengubah struktur bangunan yang sudah ribuan tahun berdiri. Rumah itu diyakini sebagai rumah Dios, sang penguasa siang malam, sosok tidak kasat mata yang diimani tinggal di langit-langit rumah itu. Dios diyakini hadir saat lonceng-lonceng di menara rumah itu menari-nari digoyang angin dan menimbulkan suara dentang parau yang meningkahi malam dingin tak berkabut.

Di sudut ruang utama, berdiri angkuh sebuah altar tua dari kayu leluhur yang sudah berlumut. Di sanalah, setiap penghujung pekan, berlangsung puja-pujian bagi Dios. Kepulan asap setanggi dan lilin cendana menguar di setiap ruang dan meninggalkan wewangian yang tak pernah tanggal. Dari altar itulah, Bapa senantiasa menyampaikan cerita turun temurun tentang kehebatan dan kepahlawanan Dios, tentang Abraham, tentang orang-orang yang celaka karena tidak mau menerima Dios dan tinggal di rumah tua itu. Cerita itu diulang-ulang, seolah-olah di negeri itu tidak ada cerita lain. Termasuk kepada kedua anak lelakinya yang sekarang sudah beranjak dewasa, Si Sulung dan Si Bungsu.

Sampai akhirnya di sepotong malam, bulan berbentuk selarik buah pisang bertengger anggun di jendela rumah. Si Bungsu mendekati Bapanya yang merebahkan diri di kursi rotan kumal dekat perapian. Paras mudanya tampak gelisah. Seperti ia memendam rasa rindu yang besar yang ingin ia tumpahkan seketika di malam itu.

“Bapa, aku ingin sekali mengembara,” katanya.

“Kamu mau pergi ke mana? Bukankah kamu sudah hidup aman dan tenteram di sini bersama Bapa dan abangmu?” sahut bapanya sedikit syok.

“Tidak Bapa. Aku ingin menemukan hidupku di luar sana.”

“Jangan kamu lakukan anakku. Hidup di luar rumah ini berarti bunuh diri. Di luar tidak ada kehidupan. Itu sangat membahayakan jiwamu. Dios dan leluhurmu bisa marah”

“Aku tidak takut. Bukankah Bapa yang selalu mengajari aku untuk tidak takut. Bukankah Bapa juga yang mengajariku tentang Dios yang selalu menjaga anak-anaknya?”

“Setan dari mana yang membiusmu Adik. Apa kurangnya Bapa dan abangmu ini di mata Adik. Kita sudah nyaman di sini. Di sini, kita dilahirkan. Di sini pula, kita dikuburkan. Janganlah pergi dari rumah ini. Di luar, kamu hanya akan mati. Jangan jadi anak durhaka yang menentang perintah Bapa,” timpal Si Sulung dengan pandangan mata seperti mata ular pohon saat menatap Eva di Taman Firdaus.

Si Sulung mengatakan seperti itu semata-mata untuk mengambil hati bapanya. Padahal hatinya menginginkan adiknya pergi jauh, mati dilumat cacing gurun, dan tidak seorang pun menemukan tulang-belulangnya. Mimpinya cuma satu, menjadi pewaris satu-satunya rumah leluhur itu bila Bapanya nanti mangkat.

“Terimakasih Abang. Abang memang kakak yang baik hati. Tapi, aku tidak bisa mengingkari nuraniku. Aku harus mengembara. Aku ingin menemukan hidupku.”

“Bukankah hidupmu ada di rumah ini, anakku. Rumah ini adalah rumahmu. Rumah ini adalah hidupmu. Sebenarnya Bapa sangat kecewa. Tapi, apa boleh buat. Bapa tidak bisa melarangmu. Bapa hanya berdoa kamu cepat kembali ke rumah ini dengan selamat.”

“Terimakasih Bapa.”

***


Lalu Si Bungsu bergegas ke biliknya. Mengambil sepotong pakaian, sekoci anggur tua, dan memasukkannya ke dalam tas gendong terbuat dari serat jagung. Tidak lupa, ia memasukkan sebuah buku bersampul tebal. Pengarangnya anonim. Tapi, buku itu berangka 1818 sebagai tahun terbit dan diterbitkan di kota Trier, sebuah kota di tepian Barat Jerman. Judulnya “Jendela Jiwa.” Buku inilah yang menggelorakan revolusi di dalam jiwanya.

Pengarang anonim itu telah menjungkirbalikkan kesadarannya yang selama ini hanya digenangi oleh kotbah-kotbah Bapa di rumah tua itu. Buku itu mengajarinya tentang mimpi-mimpi. Mimpi hanya bisa dicapai oleh si pemilik mimpinya. Alam akan membantu merajut mimpi itu menjadi kenyataan. Di bab terakhir buku itu, dikatakan terbanglah bersamaku ke negeri yang baru, di sanalah kamu akan mewujudkan apa yang kamu mau.

Epilog buku itu seperti gong baginya untuk segera hengkang dari rumah tua itu. Gong yang mencabik-cabik paham yang selama ini ditanam kuat-kuat di alam kesadarannya bahwa hidup sudah digariskan oleh tradisi, ditakdirkan oleh Dios, dan dicatat di dinding-dinding rumah tua itu. Buku itu mengajarinya bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas hidupnya sendiri. Ia pun muak dengan kehidupan di rumah leluhur itu yang sarat dengan aturan, ritual kosong, dan kemunafikan. Di rumah itu, tidak ada kebebasan. Di rumah itu, anak-anak dipaksa taat pada aturan leluhur tanpa tahu maksud dan alasan tata tertib itu. Rumah itu telah merenggut hidupnya. Merampas mimpinya dan memasung jiwa bebasnya. Rumah itu juga telah membatasi pengetahuannya. Dan rumah itu telah membuatnya seperti budak-budak tradisi yang tidak pernah memiliki masa kini dan tidak pernah mengukir masa depan.

Buku itu ia terima dari seorang kesatria tanpa nama yang menunggangi kuda putih dengan meterai angka 1540 di pelananya. Ksatria inilah yang menyelendupkan buku-buku ke tangan Si Bungsu. Buku ini diselundupkan karena aturan rumah tua tidak membolehkan buku-buku asing masuk selain buku-buku kitab.

Ditemani seekor cerpelai putih berlurik coklat yang bertengger erat di pundaknya, Si Bungsu segera menghampiri bapanya. Bapanya sudah menyiapkan satu kantung dari kulit unta berisi kepingan uang logam sebagai bekal perjalanan. Tapi, Si Bungsu menolakknya. Mendengar itu, Si Sulung dengan paras tamak segera meraih kantong harta itu dan menyampaikan niat palsunya untuk menyimpan uang itu. Dan pergilah Si Bungsu menuju gerbang.

“Kasihan orang-orang ini. Mereka lahir, hidup, dan dimakamkan di sini. Hidup mereka hanya sebatas rumah tua itu. Padahal, di luar sana, keajaiban-keajaiban akan berloncatan bak cipratan air hujan menghantam bebatuan. Sepanjang hidup, mereka hanya hidup dalam kesenyapan dan dengan jiwa-jiwa kosong,” katanya dalam hati saat kakinya melintasi lahan pekuburan milik rumah tua itu.

Tanpa lama, sosok Si Bungsu ditelan belukar di gundukan bukit. Buku itu telah berubah menjadi sayap dan menerbangkannya ke negeri baru. Mulai saat itu, rumah tua itu lengang dari kabar Si Bungsu. Hanya sepotong papan setengah dimakan ngengat dipasang di pintu biliknya dan bertuliskan: Anak Hilang.

***


Musim berganti musim. Bunga matahari tumbuh dan tumbang silih berganti. Bumi berputar ribuan kali pada porosnya. Duduklah seorang lelaki muda di sebuah sofa hijau di pinggir kolam kecil berisi ikan yang menari-nari berebut remah-remah roti. Di sampingnya, bertumpuk buku-buku hasil karyanya sendiri. Dialah Si Bungsu, seorang penulis terkenal dan terkaya di negeri itu.

Upaya gigih dan kerja keras di tanah rantau, tanpa seorang karib dan kerabat, menghasilkan buah-buah yang tak kalah manis dengan anggur, pir, dan apel di perkebunan Bapanya. Si Bungsu telah menemukan hidupnya. Hidup yang menyuguhkan berbagai kesempatan dan peluang. Tinggal memilih mau menjadi apa, alam akan membantu mewujudkannya.

“Aku sudah menemukan hidupku di sini. Sekarang, aku menjadi seorang penulis kaya. Dikenal banyak orang. Aku memiliki rumah bagus dan seekor cerpelai yang setia. Aku hidup bersama istri dan anak-anak yang baik hati. Aku bersyukur atas segala keajaiban hidup ini. Aku jadi ingat akan bapaku, abangku, dan rumah tua itu. Aku ingin memastikan nasib mereka,” katanya dalam hati sambil tangannya mengelus cerpelainya yang berbaring manja di pangkuan.

Khawatir memikirkan nasib bapa dan abangnya, Si Bungsu pun memutuskan pulang kampung. Setelah mendaratkan kecupan manis di kening istri dan anak-anaknya, Si Bungsu pun pergi. Ia pergi dengan sebuah kereta kuda yang bermuatkan peti-peti berisi koin uang hasil jerih payahnya dan oleh-oleh pelepas rindu.

Sesampai di gundukan bukit, kira-kira seperlemparan batu dari rumah bapanya, Si Bungsu melihat dari kejahuan sosok bapa dan abangnya sedang duduk di depan teras. Ia melecut kudanya agar berlari lebih kencang lagi. Ia ingin segera melepas rindu, memeluk mereka, dan mewartakan kabar kegembiraan dari tanah rantau.

“Bapa, Bapa. Ini aku Bapa. Aku pulang. Aku telah menemukan Sorga. Aku telah menemukan hidupku, Bapa,” teriak Si Bungsu sambil berlari sembari merentangan kedua tangannya siap memeluk bapanya.

Tapi, baik bapa dan abangnya sama sekali tidak bergeming. Tatapan bapa nanar menerawang kosong. Paras abangnya pun ikut menciut tanpa ekspresi. Di rumahnya, pun para karyawan dan kerabat lalu-lalang membawa alat kerja mereka tanpa gairah. Mereka seperti mayat-mayat hidup. Mahkluk tanpa jiwa. Anjing-anjing penjaga pun duduk lesu dengan air liur yang enggan menetes. Rumah tua itu masih bertengger angker. Tidak ada perubahan bentuk kecuali lumut menjalari rumah itu dan membuatnya semakin tua.

“Bapa, lihat. Putra Bapa sehat dan selamat. Di luar sana, aku telah melihat hidup. Aku ingin membawa bapa, abang, pergi ke negeri yang baru. Di sana, aku mampu melipatkan gandakan talenta yang aku punyai.”

Bapa memalingkan pandangannya perlahan ke wajah Si Bungsu. Menatapnya. Bola-bola bening menyembul di kedua sudut matanya. Lalu tergelincir pelan melalui lekukan keriput pipinya.

“Anakku, maafkan Bapa selama ini. Bapa telah bersalah. Bapa telah membunuh jiwa-jiwa anak-anak di sini. Bapa mengaku tidak pernah benar-benar hidup di rumah ini. Rumah ini telah menghisap jiwa-jiwa mereka. Bapa telah melakukan penyembahan yang keliru. Di sini, Bapa sepanjang hayat telah mengubur dalam-dalam talenta Bapa dan anak-anak di sini kedalam tanah. Tapi, Bapa tidak mau pergi. Bapa ingin mati di sini bersama orang-orang di makam itu. Apalagi Bapa sudah tua dan pastilah sudah terlambat.”

“Bapa. Tidak ada kata terlambat Bapa. Hidup hanya dimiliki oleh orang yang tidak pernah bilang terlambat. Negeri baru itu terbuka untuk siapa saja. Di sana, ada banyak peluang dan kesempatan. Asalkan Bapa mau melupakan masa lalu dan berlari mengejar apa yang ada di depannya.”

“Baiklah Anakku.”

Bapa itu memeluk erat Si Bungsu. Mata keduanya becek oleh kristal cair. Lalu Bapa memalingkan muka kepada Si Sulung. Tapi, Si Sulung memunggunginya lantas pergi. Ia memilih tinggal di rumah warisan itu. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Si Sulung untuk menguasai rumah warisan ini.

Keesokan harinya, pergilah Si Bungsu membawa Bapa dan sebagian penghuni rumah tua itu ke negeri baru. Sebagian penghuni memilih tetap tinggal bukan lantaran hidup bahagia, tetapi mereka takut menerima risiko di negeri yang baru. Mereka takut kena hukuman leluhur. Mereka takut dengan perubahan. Tradisi telah mengikat erat akal budi dan nurani mereka. Mereka senang menjalani kebiasaan adat rumah tua meski sebenarnya jiwa-jiwa mereka tertindas.

Di negeri baru, Bapa disambut dengan pesta besar. Kendi-kendi berisi anggur paling enak disuguhkan. Tari-tarian digelar. Seekor anak lembu tambun disembelih. Si Bungsu pun mengenakan jubah terbaik di tubuh Bapanya, cincin emas di jarinya, dan sepatu baru di kakinya.

“Bapa, mulai saat ini, Bapa telah menemukan hidup Bapa. Segala yang kupunya adalah Bapa punya. Seluruh negeri ini patut bersuka cita karena Bapa telah menemukan hidup Bapa. Hidup Bapa yang hilang telah Bapa dapatkan.”

Bola mata lelaki tua itu berkilat-kilat. Seolah bintang-bintang memancar terang dan pelangi melintas di atasnya. Semua orang di rumah itu melarut dalam kegembiraan lantaran karya-karya ajaib di negeri baru itu.

Sementara, di kejauhan sana, tepatnya di rumah tua, Si Sulung memimpin dengan tangan besi. Orang-orang di rumah tua semakin tertindas karena Si Sulung menyalahgunakan kekuasaan demi bisnis-bisnis kampungannya. Sampai akhirnya, semua penghuni rumah tua itu mati dalam kesenyapan. Carut marutnya iklim telah melapukkan tiang-tiang rumah warisan itu. Sampai akhirnya puting beliung mengamuk seperti diva kesurupan di atas pentas dan melumat habis rumah itu dengan tanah. Hanya sepotong papan setengah dimakan ngengat menyembul dari reruntuhan rumah itu dan bertuliskan: Gereja Hilang!

Wednesday, 13 June 2007

Orang-orang Terjajah

Globalisasi bukan sekadar perihal di luar sana, tetapi juga di dalam ceruk intim manusia. Ia bukan sekadar bicara tentang gedung-gedung pencakar langit, internet, komunikasi tanpa batas, penjajahan ekonomi, privatisasi lahan petanian, sekolah mahal, fasilitas canggih, jerat utang lembaga-lembaga donor dunia, demonstrasi para petani di depan gedung WTO, dan sebagainya. Tapi, globalisasi juga merangsek ke jantung hidup manusia, yakni identitas diri (self-identity).

Arus besar tak terbendung sedang mengalir. Globalisasi semakin tampak telanjang sebagai penjajahan bermotif ekonomi oleh korporasi-korporasi raksasa yang bersekutu dengan negara-negara adidaya untuk menancapkan cakarnya ke berbagai sudut bumi dengan satu tujuan, maksimalisasi modal. Maksimalisasi modal yang tak jarang berlumuran darah orang-orang tak berdosa. Mesin haus darah ini tidak hanya menjajah para petani, merebut air dan tanah dari masyarakat, melumpuhkan negara dengan jeratan utang, menggusur pedagang-pedagang kecil, melarang orang miskin sakit dan sekolah, dan sebagainya. Tetapi, mesin ini perlahan-lahan, menggerogoti jiwa dan identitas orang-orang kontemporer ini.

“Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi, dalam seksualitas, hubungan pribadi, identitas diri, perkawinan, dan keluarga,” kata Anthony Giddens dalam Reith Lectures Radio BBC Four pada tahun 1999. Dunia yang belari cepat tanpa kendali telah membuat orang-orang di dalamnya terengah-engah mengejarnya, membuat banyak orang ditinggalkan, melindas sebagian, menciptakan seribu satu risiko dan ketidakpastian, dan menciptakan penyakit orang-orang modern, seperti stress, kecemasan, anorexia nervosa, schizofrenia, gila, bunuh diri, dan sebagainya.

Citra Allah yang Dihancurkan

Salah satu cara penjajahan baru yang sangat efektif adalah menghancurkan identitas diri, kesadaran, dan potensi-potensi yang ada di dalam penghuni planet bumi. Manusia-manusia telah dijadikan objek pasar dan ketergantungan pada pasar. Melalui gaya hidup konsumtif dan hedonis telah merusak dan menghancurkan diri manusia, melumpuhkan potensi-potensi yang ada, dan mengalienasi manusia dari dirinya sendiri.

Novel garapan Jose Saramago berjudul Blindness (1999) atau Sampar karya Albert Camus bisa menjadi alat untuk memahami kondisi masyarakat sekarang. Saramago mengisahkan sebuah negeri tanpa nama yang tiba-tiba dilanda kebutaan massal. Semua orang buta. Masyarakat buta. Pemerintah buta. Dibangunlah karantina agar virus ganjil itu tidak menjalar ke mana-mana. Kebutaan itu telah membuat orang tidak lagi mengenal orang di sekitarnya. Bahkan, dirinya sendiri pun tidak mereka kenal. Di tengah kebutaan massal ini, otoritas tertentu memanfaatkannya. Terjadilah persoalan kemanusiaan tentang masyarakat yang sakit.

Persis narasi di atas, kondisi ‘kebutaan’ sedang menjalar di semua permukaan bumi ini. Orang-orang dibutakan dengan dirinya sendiri, alam, sesama, dan Tuhannya. Orang dibikin patuh oleh kebutuhan para pelaku pasar. Pasar telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru di masyarakat melalui berbagai media iklan, televisi, film, sinetron, dan sebagainya. Pasar telah menciptakan ukuran-ukuran baru di masyarakat tentang arti hidup, relasi sosial, gaya hidup, kesuksesan, kebahagiaan, kecantikan, dan sebagainya. Ukuran-ukuran itu tak lepas dari kebutuhan para pelaku pasar memasarkan produk-produk mereka. Arti hidup, kebahagiaan, kecantikan, selalu dikaitkan dengan akumulasi produk tertentu atau terkait erat dengan kebutuhan mengkonsumsi barang tertentu. Segala sesuatu diukur dari kacamata materi. Di balik kacamata materi ini ada kepentingan pasar, yakni maksimalisasi modal. Uang telah menjadi kekuatan yang maha dahsyat. Lebih dahsyat lagi saat kekuatan uang ini bermain di wilayah religius. Altar pun bisa berubah menjadi meja dagang. Ibadah pun bisa menjadi kendaraan meraup untung. Ziarah pun menjadi bisnis tur yang menjanjikan.

Orang-orang di bumi, khususnya orang muda dan anak-anak, adalah pangsa pasar yang menggiurkan. Bahkan, ujung kaki sampai ujung rambut kita pun menjadi sasaran produk yang mendatangkan riba. Noreena Hertz dalam bukunya The Silent Takeover, Global Capitalism and Death of Democracy (2001) menegaskan globalisasi telah mengubah cara hidup orang banyak, menentukan selera, kesukaan, dan pilihan-pilihan. Termasuk orang-orang pelosok seperti Bhutan sekalipun. Standar hidup telah berubah setelah Coca-Cola, MTV, Holywood datang di depan mata. Barat seperti yang ditawarkan oleh produk-produk dan gaya hidup telah berhasil mengalienasi banyak orang dari lingkungan budayanya sendiri. Orang tidak mengenal identitas dirinya sendiri. Identitasnya telah kabur dengan identitas citra-citra yang ditampilkan dalam dunia entertaint.

Badai konsumtivisme yang begitu kencang telah membuat orang-orang lumpuh dan mandul. Orang lebih membanggakan diri karena bisa membeli produk tertentu ketimbang memproduksinya sendiri. Tak hanya itu, pola pikirnya pun menjadi konsumtif. Konsumsi ini menciptakan mentalitas instan. Dengan uang banyak, kebutuhan apa pun bisa terpenuhi. Pada tahap inilah, daya kritis dan kreativitas orang digerogoti. Di tahap ini juga, letak utama esensi Citra Allah yang dihancurkan oleh kekuatan kapital.

Manusia oleh iman Kristen dipahami sebagai Citra Allah (Imago Dei). Salah satu sifat manusia yang secitra dengan Allah sendiri adalah kreativitasnya. Kreativitas tidak lepas dari kata ‘create’ yang artinya menciptakan. Pada zaman euforia konsumsi inilah, daya ini mengalami proses penumpulan. Orang lebih memilih mengkonsumsi ketimbang memproduksi. Lebih memilih meniru ketimbang membuat sendiri. Lebih memilih menerima mentah-mentah asal nikmat ketimbang berpikir kritis. Lebih memilih menjiplak ketimbang membuat kreativitas baru. Orang dibuat sedemikian emoh dengan proses. Instan dianggap sebagai jalan terbaik. Orang lebih senang menikmati ketimbang bersusah-payah menciptakan sendiri. Orang lebih memilih kedangkalan ketimbang kedalaman. Orang lebih memilih kenikmatan sesaat ketimbang nilai. Budaya tontotan telah membius kesadaran banyak orang. Orang dibuat pasif ketimbang aktif. Kita benar-benar sedang giring ke dalam barisan orang-orang bodoh. Dan kita sedang dibodohi.

Krisis daya cipta ini telah membuat ketergantungan. Ketergantungan adalah ciri khas para kaum terjajah. Hidupnya selalu distir oleh mereka yang menjajah. Mereka menyetir dan menentukan apa yang kita makan, kita minum, kita tonton, kita pakai, tempat kita bekerja, dan sebagainya (bdk. Joel Bakan, The Corporation, 2004). Ini menjelaskan, neoliberalisme tidak hanya menghancurkan secara fisik tempat tinggal, sumber daya alam kita saja, tetapi juga kedirian kita juga dihancurkan. Kekuasaannya tidak hanya menancap di berbagai negara, tetapi merangsek masuk ke jati diri dan kesadaran kita. Inilah abad kejahatan kemanusiaan yang sangat luar biasa. Kemanusiaan dihancurkan dengan jalan-jalan nikmat, lembut, sekaligus menipu. Kemampuan memaknai hidup telah dirampas. Krisis di dalam diri dibarengi dengan krisis di lingkungan sosial. Kedua-duanya sama-sama dirampas. Tak urung, orang berlomba mempertahankan hidupnya sendiri. Solidaritas sosial pun luntur.

Somebody dan Nobody

Penjarahan kedirian (selfhood) orang-orang sekarang oleh kekuatan pasar sering menjadikan orang-orang sebagai bukan person (nobody). Kita dipandang tak lebih dari kumpulan materi tanpa identitas diri yang menjadi target pasar sangat empuk. Kita telah atau sedang digiring menjadi masyarakat tanpa identitas. Kita seperti kumpulan massa anonim. Buruh hanya seperti baut dari seluruh mesin raksasa industri. Karyawan hanya dipandang sebagai kode angka-angka saja ketimbang pribadi yang hidup. Subjektivitas, kebebasan memilih, kesadaran, sebagai unsur pembentuk person (somebody) telah dirampas. Kita dikondisikan tidak lagi menjadi orang-orang merdeka, tetapi sebagai budak-budak kekuatan modal. Lebih parah lagi, dalam kasus tertentu, kita dikondisikan lebih senang memilih menjadi nobody ketimbang somebody. Kita lebih senang dijajah ketimbang menjadi manusia merdeka. Kadang kala, ketergantungan itu membawa kenikmatan dan membuat orang enggan meraih kebebasan. Bahkan, keberhasilan kekuatan pasar terjadi ketika orang-orang lari dari kebebasan dan memilih menggantungkan diri kepadanya (bdk. Paulo Freire, Pedagogy of The Opressed).

Gereja memberi jawaban?

Jawaban tidak bakalan dimunculkan dari Gereja yang terkapitalisasi. Tapi, harapan muncul, ketika Gereja sudah lama menggaungkan tema-tema pemberdayaan. Menarik ketika Gereja mulai berbicara dan menggulirkan analisis sosial seputar neoliberalisme ini (bdk. Nota Pastoral 2006, Ekonomi Berkeadilan). Dalam konteks ini, Gereja diharapkan hadir seperti Yesus sendiri sebagai sosok pembebas. Membebaskan orang-orang dari kebutaan dan kelumpuhannya. Tidak sebaliknya, Gereja menjadi mesin pembunuh baru yang hanya menciptakan umat-umat yang senang menjadi nobody ketimbang somebody.

Gereja selayaknya tidak lagi menjadi kubangan yang membekap orang-orang dalam kekakuan liturgi dan ajaran, doa-doa yang memabukkan, membuat orang cengeng di depan Allah, dan membuat orang-orang lari dari kenyataan. Pemberdayaan yang selama ini digaungkan tidak hanya seputar dukungan moral saja, tetapi juga menyangkut struktural. Pemberdayaan tidak sekadar dukungan omong dan doa, tetapi juga didukung dengan aturan main yang ada. Siapa tahu struktur, sistem, atau aturan main dalam hidup menggereja kita selama ini tidak mendukung pemberdayaan itu. Sama seperti perumpamaan anggur baru dan kantong baru. Bila anggur baru dimasukkan kedalam kantong lama, kantong itu akan koyak dan tumpahlah anggur sia-sia. Sudah lama Gereja bicara tentang HAM, kesetaraan jender, pemberdayaan orang muda, pembentukan komunitas basis, pemberdayaan kaum awam, tapi sampai saat persoalan yang muncul masih itu-itu saja. Ini mengesankan Gereja bisanya cuma refleksi canggih dan omong saja. Tapi, tahap implementasinya memble alias mandul. Sering dalam kasus ini yang disalahkan adalah orang-orangnya (agen) dan lupa mempertanyakan struktur, sistem, dan aturan main dalam Gereja. Bisa jadi, struktur dan aturan main menggereja masih ibarat kantong lama. Contoh paling konkrit, Gereja sangat bersuara mengangkat martabat perempuan, tapi belum secara struktural. Secara struktural dalam Gereja, perempuan masih nomer dua. Bagaimana Gereja mampu memberdayakan komunitas basis yang melek akan bahaya neoliberalisme, sementara sistem menggerejanya masih menomorduakan awam dan tidak mendukung terciptanya komunitas itu.

Oleh karena itu, Gereja pertama-tama harus melakukan pertobatan struktural. Secara struktur pun, Gereja memunyai potensi memberdayakan. Tidak sebaliknya, Gereja malah menjadi mesin pembunuh baru yang membuat orang-orangnya semakin jauh dari kemanusiaannya. Gereja juga harus berani mengubah konsep menggereja yang sempit dipahami sebagai kegiatan liturgi, doa, dan karitatif saja. Gereja harus menampilkan wajah gerakan sosialnya. Jangan biarkan kita dijajah dua kali, satu oleh kekuatan pasar dan satu oleh Gereja sendiri. Kalau Gereja masih sibuk dengan altarnya, Gereja memang sedang mengalami insignifikansi dan irelevansi. Artinya, tidak bermakna dan relevan.

Perlawanan Kaum Terjajah

Gerakan perlawanan terhadap penjajahan baru ini selayaknya dimulai dengan membangun kesadaran diri sebagai orang-orang yang dijajah. Sulit sekali, jika kita tidak merasa diri kita dijajah dan berusaha mengadakan perlawanan. Perlawanan akan mendapatkan energinya jika kita masing-masing merasa bahwa diri kita sendiri sedang dijajah. Tidak hanya tanah kita yang dirampas oleh korporasi rakus, tidak hanya air laut, hutan, sekolah, kampung, bukit, dan negara kita yang dirampas. Tapi, identitas diri kita juga dirampas. Dengan menyadari ini, akan lebih mudah kita bergandengan tangan, menggalang solidaritas, dan melawan penjajahan.

Sementara, sambil menyadari diri kita yang dirampas, kolonialisme gaya baru ini telah merusak alam kita, global warming membuat cuaca berjalan tanpa aturan, badai berhembus dengan daya hancur dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir, air laut meningkat enam meter dalam satu dekade ini (Bdk. Al Gore dalam An Inconvenient Truth, 2006), merebut tanah, merampas air, emas, dan semua kekayaan alam kita.

Tidak ada yang mampu menyelamatkan hidup dan masa depan kita dan anak cucu kita selain kita sendiri sekarang dan di sini!

[artikel ini pernah diterbitkan di buku acara Temu Moderatores Orang Muda 2007]

Wednesday, 7 March 2007

Monolog Pohon Ara

HARI ini, hari kemalanganku. Semua mahkluk mengejekku. Kata-kata serapah tergelincir dari mulut mereka yang bau. Caci. Maki. Jadi adonan lezat bagi orang-orang yang suka mengalihkan tanggung jawab. Aku seperti berada di pucuk Golgota. Burung manyar menjerit arogan. Jeritan pelecehan. Kematian sebentar lagi tiba bersama kemarau panjang. Kemarau yang menghajar hutan-hutan dan ladang-ladang pangan. Membuatnya layu, mandul, dan tak berarti. Seperti diriku yang sekarang ini, pohon yang tidak berarti. Pohon mandul. Tanpa buah. Siap ditebang dan dicampakkan ke perapian bersama pelepah gandum yang membusuk dimakan belalang.

Aku benci manusia. Mereka terlalu pandai, tapi juga licik. Culas dan munafik. Lantaran ulah mereka, pemilik kebun membenciku. Semua membenciku. Aku disalahkan karena aku mandul. Aku dianggap seperti gulma dan ilalang yang merusak kebun. Tiada buah yang bertumbuh di ranting-rantingku. Tiada laba yang bisa dipetik dari tangan para saudagar. Aku layu. Aku renta. Tapi, apakah ini salahku sampai pemilik kebun memvonis mati diriku? Parang sudah diasah. Tungku perapian sudah disiapkan.

Bukankah semua ini akibat ulah para tukang kebun itu? Mereka terlalu malas dan emoh bekerja. Siang hari mendengkur dan akhir bulan menuntut upah. Mereka tidak pernah memberiku pupuk, tidak menyiramiku dengan segayung air, dan tidak pernah memberi perlindungan jika segerombolan hama menyerangku. Aku layu karena kemalasan mereka. Anggaran untuk beli pupuk telah mereka tilap untuk kesenangan mereka sendiri. Mereka sibuk dengan proyek-proyek mereka sendiri. Lupa bahwa mereka dibayar untuk merawat seluruh isi kebun, termasuk aku yang sebatang kara ini.

Di lain waktu, aku sering mendengar jeritan pohon-pohon lain yang tubuhnya hancur digergaji. Mereka dimutilasi dan tukang kebun itu menjual potongannya ke cukong-cukong nakal. Para tukang kebun itu suka mencuri buah-buah dari isi kebun dan menjualnya secara ilegal. Mereka menutup sungai dan menjualnya ke perusahaan air minum. Penghuni kebun pun kehausan dan layu. Saat hujan tiba, air besar melanda dan membanjiri seluruh isi kebun termasuk rumah tinggal pemilik kebun. Setiap itu terjadi, mereka menyalahkan penghuni kebun. Menyalahkan musim. Mereka membuat laporan palsu setiap pemilik kebun menagihnya. Mereka juga cari muka dengan pura-pura rajin ibadah agar Penguasa langit memberi panen raya. Tapi, panen tidak akan diturunkan bagi hati-hati yang dipenuhi kepalsuan.

Dan, waktunya tiba, pemilik kebun memberi perintah untuk menebang seluruh pohon yang tidak berbuah. Para tukang kebun merengek agar eksekusi dibatalkan. Alasannya, bukan agar aku tetap hidup. Tetapi, agar mereka bisa korupsi uang pupuk lagi. Kalau kebun ini ditutup, pasti mereka tidak bisa bekerja lagi. Satu tahun toleransi diberikan. Satu tahun berikutnya, tidak ada perubahan. Aku tidak mampu berbuah. Pada tahun itulah, aku ditebang. Tubuhku dihancurkan dalam api bersama pelepah gandum. Pohon ara baru ditanam. Nasibnya sama. Ditanam ara baru lagi. Idem lagi.

Sampai suatu hari, mata si pemilik kebun terbuka. “Aku telah salah mencampakkan pohon ara itu. Aku terlalu polos dan lurus hati,” katanya sambil tangannya mencoreti nama-nama tukang kebun yang akan di-PHK. [diterbitkan di Warta Minggu, 11 Maret 2007]

Friday, 19 January 2007

Maria Maria Pemberontak

OKTOBER adalah bulan Maria. Di bulan ini, biasanya orang berbondong-bondong menyerbu tempat-tempat ziarah, gua-gua Maria yang terserak di mana-mana. Bahkan, saking antusiasnya, banyak Gereja yang ramai-ramai membangun gua-gua Maria yang baru, seolah-olah gua-gua itu belum mencukupi untuk melampiaskan hasrat rohaninya. Tur-tur ziarah Maria baik domestik maupun mancanegara berbiak bak jamur di musim hujan, lengkap dengan perlombaan iklan di media massa. Berlomba seakan tempat-tempat yang mereka iklankan menjadi tempat paling mujarab untuk menerima rahmat dari Bunda Kristus itu. Akibatnya, kadang menjadi tidak jelas, antara ziarah sejati, rekreasi, gengsi, dan bisnis.

Setiap kali ditampilkan dalam renungan, Maria senantiasa digambarkan sebagai sosok perempuan yang taat, saleh, religius, beribadah, pengasuh, penolong, sehingga dijuluki sebagai Bunda Gereja, Perempuan Mulia, Bunda Penebus, dan sebutan penghormatan lainnya. Tapi, jarang Maria ditampilkan sebagai sosok pemberontak. Sosok yang menjadi inspirasi bagi segala perjuangan melawan bentuk penindasan, kemapanan, ketidakadilan, sekaligus ketidakadilan gender. Nah, Penulis mencoba menawarkan renungan alternatif atas sosok Maria, sebagai Bunda Pemberontak. Tidak hanya Maria Bunda Yesus saja, melainkan sosok-sosok Maria lain dalam Gereja dan masyarakat yang memunyai spirit yang sama, yakni spirit pemberontakan.

Spirit pemberontakan Maria terlihat kental dalam Kidung Maria, Magnificat Anima Mea Dominum, Jiwaku Memuliakan Tuhan. Magnificat sering dipakai Gereja dalam doa-doa harian. Doa ini menjadi ringkasan iman dan kepercayaan Maria pada Tuhan. Dalam Women’s Bible Commentary, penulis Jane Schaberg mengartakan Magnificat sebagai nyanyian pembebasan, baik pembebasan personal, sosial, moral, maupun ekonomi. Bagi Schaberg, ini merupakan catatan revolusioner dari jiwa seorang bernama Maria.

Dalam Kidung itu, Maria menyebut diri yang berbahagia, yang mengalami Allah sebagai Sang Juru Selamat, yang melihat Allah telah melakukan karya-karya besar, dan melihat rahmat Allah dicurahkan pada setiap orang yang takut padaNya. Selain itu, Maria menyakini Allah sebagai Sang Pembebas dari persoalan sosial yang melilit Bangsanya. “Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa,” kata Maria.

Spirit di atas jelas merupakan spirit pemberontakan. Spirit yang tanggap pada pembebasan dari ketidakadilan, kecongkakan, kekuasaan tidak adil, kelaparan, dan keserakahan. Beberapa episode dalam Injil menceritakan Maria sebagai seorang perempuan yang kuat, tegas, dan berani bersuara, termasuk kepada Puteranya sekalipun (bdk. Pesta di Kana). Ia menjadi perempuan yang setia di Jalan Salib Yesus yang adalah jalan pembebasan. Memang, tidak banyak bab yang menceritakan Maria. Tapi, sangat logis, bahwa karakter Yesus dibentuk oleh didikan Maria, ibu-Nya. Karakter yang tegas, berani, solider dengan yang miskin dan tertindas, penuh jiwa kenabian, punya jiwa pemberontak adalah karakter yang tidak lepas dari didikan Maria sendiri. Sudah lumrah, pendidikan seorang ibu memengaruhi karakter pada anak-anaknya.

Nah, dari Kidung Maria itu, tampak jiwa Maria sebenarnya. Dia bukan sosok yang pasif, suka mengurung diri, lemah, apatis pada situasi sosial, dan tidak berani bersuara. Maria senantiasa menampilkan diri sebagai sosok yang kuat. Dan ini sangat dominan di zaman itu, di mana budaya patriarkis sangat kental. Budaya di mana peran perempuan dipinggirkan di berbagai ranah sosial, baik agama, ekonomi, sosial, maupun politik.

Apakah ada sosok Maria lain yang memunyai spirit yang sama? Spirit pemberontakan juga ditampakkan oleh Maria, saudara Marta. Kisah Maria dan Marta sering direnungkan dalam tema doa dan kerja. Tapi, Penulis melihat kisah ini sebagai kisah revolusioner. Saat menyambut Yesus di rumahnya, Maria menampilkan diri sebagai sosok yang berani menjadi diri sendiri. Ia menjadi si pemberani yang melawan tradisi. Pada zaman itu, perempuan dilarang menyambut rabi di ruang tamu. Ruang tamu adalah ruangnya laki-laki dan dapur adalah ruangnya perempuan. Urusan perempuan sebatas lingkup domestik. Dan perempuan tidak boleh bercakap dan berbicara dengan tamu-tamu di rumahnya. Tapi, Maria yakin di depan Yesus, ia bebas memilih yang terbaik bagi dirinya sendiri, bebas dari ketakutan melawan tradisi. Maria sempat ditegur Marta. Tapi, Maria tetap dalam pendiriannya dan Yesus malah membenarkan sikap Maria sebagai pilihan terbaik. Itulah spirit pemberontakan Maria, saudara Marta.

Adakah sosok-sosok Maria di zaman sekarang? Ada dan banyak. Banyak perempuan-perempuan perkasa dan pejuang keadilan sosial dan kesetaraan gender di antara belantara perempuan yang suka bersolek, arisan, ngrumpi sana-sini, jalan-jalan, dan sebagainya. Tidak semua perempuan memunyai jiwa feminis, bahkan sebaliknya sangat berjiwa patriarkis. Seolah-olah perempuan memang ditakdirkan di bawah laki-laki. Gereja juga memunyai banyak wadah organisasi perempuan. Tapi, apakah wadah ini benar-benar menjadikan perempuan kritis, cerdas, berdaya, sekaligus mau berjuang? Atau, sebaliknya, wadah ini hanya sekadar perpanjangan dapur saja, di mana perempuan hanya sibuk dengan persoalan domestik? Lebih parah menjadi wadah eksklusif istri-istri yang tidak bekerja dari suami-suami mapan dan melupakan perempuan-perempuan yang bekerja keras membanting tulang untuk ikut menanggung beban keluarga? Apakah wadah ini benar-benar menjadi wadah pembebasan dan bukanya menjadi perangkap dan belenggu baru bagi perempuan?

Nah, banyak hal yang bisa kita timba dari spirit pemberontakan Maria ini. Tidak hanya bagi kaum perempuan, tetapi semua orang. Misalnya, semangat untuk tidak berdiam diri dalam kenyamanan dan kemapanan, tidak bersikap masa bodoh terhadap persoalan sosial, berani menjadi diri sendiri, berani membela kebenaran, jujur, berani bersuara kritis, berani tampil beda demi kebaikan, berani bergerak, rendah hati sekaligus menjadi pribadi pendoa yang senantiasa mengandalkan rahmat Allah.

Penulis bermimpi bahwa Kidung Maria ini akan menjadi kidung bersama orang-orang yang memimpikan perubahan. Tak ada perubahan bisa terwujud kalau kita tidak berani meninggalkan segala bentuk kemapanan saat ini. Gereja membutuhkan spirit Maria, spirit pemberontakan! [diterbitkan di Warta Minggu, 10 Oktober 2006]

Thursday, 18 January 2007

Seri Nota Pastoral 2006: Kemiskinan Bukan Takdir!

SEBUAH keluarga miskin di Muara Angke, Jakarta Utara, pernah diwawancarai wartawan dari sebuah TV swasta tentang kelangkaan minyak tanah. Bukan tanpa sengaja wawancara itu terjadi. Wartawan itu memilih mewancara kelompok warga miskin dan marjinal di sudut metropolitan sebagai kelompok yang paling menanggung beban berat dari kelangkaan minyak tanah itu. Keluarga itu pun melontarkan keluhan. Ada satu potong curahan hati yang cukup menganggetkan. “Yah, mungkin ini sudah takdir kami sebagai orang miskin selalu diombang-ambingkan situasi. Tapi, kami sudah biasa,” ungkap salah satu anggota keluarga.

Ungkapan jujur di atas sungguh menarik untuk dicermati. Ada banyak tafsiran atas ungkapan itu. Pertama, ungkapan keputusasaan atas kemiskinan yang menimpanya sehari-hari. Kedua, kemiskinan yang seolah tidak bisa ditanggulangi itu sudah menjadi takdir atas hidupnya. Artinya, kemiskinan dianggap sebagai takdir yang tidak boleh digugat. Orang lahir, hidup, dan mati dalam lingkaran kemiskinan. Pertanyaan kritisnya, apa benar kemiskinan adalah takdir?

Mari kita cermati fenomena di Irian Jaya. Irian Jaya dikenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan alam melimpah. Di sana ada hutan sebagai sumber kayu. Ada tambang emas dan tembaga. Nama Irian Jaya juga dikenal di mata internasional. Pertanyaannya, mengapa di wilayah yang begitu kaya dengan kekayaan alam itu, banyak dari masyarakatnya yang mengalami kemiskinan, keterbelakangan, busung lapar, dan kematian? Sebuah ironisme bak tikus yang mati di lumbung padi. Pertanyaan berikutnya, dikemanakan hasil pengolahan semua kekayaan alam tadi? Nah, dari sini, kita bisa melihat ada sebuah tata kelola ekonomi yang timpang dan tidak adil.

Di wilayah itu, ada berbagai perusahaan pengolahan kekayaan alam. Salah satu yang terkenal adalah perusahaan raksasa asing PT. Freeport yang mengolah tambang emas, tembaga, dan batubara. Emas dikenal sebagai penghasil triliunan uang. Namun, uang itu masuk ke kantong siapa saja? Yang jelas, uang itu masuk ke kantong perusahaan dan pemerintah dan bukan untuk sebagian masyarakat sana sebagai pemilik sah wilayah itu. Di tengah gelimangnya uang, banyak masyarakat yang mati kelaparan. Sementara itu, alam sebagai habitat mereka kian lama kian rusak. Hutan ditebangi dengan ilegal. Bumi dikeruk tanpa ampun. Sebuah fenomena keserakahan manusia.

Kita tahu, pengelolaan sumberdaya alam adalah bagian dari ekonomi. Kita sepakat bahwa tujuan dari ekonomi adalah KESEJAHTERAAN BERSAMA. Artinya, kegiatan ekonomi bertujuan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Namun, bila kita kaitkan dengan fenomena di atas, pengelolaan sumberdaya alam tadi justru jauh dari cita-cita kesejahteraan bersama. Pembangunan ekonomi di Irian Jaya hanya ditujukan untuk kesejahteraan kelompok tertentu saja dan bukan untuk mayoritas masyarakat Irian Jaya. Yang terjadi, justru Jakarta, Amerika, dan wilayah-wilayah di luar Irian Jaya yang menikmati hasil kekayaan alam itu.

Nota Pastoral (NP) 2006 dengan tajuk “Habitus Baru: Ekonomi Berkeadilan” melihat adanya ketidakadilan dalam tata kelola ekonomi di Indonesia. Ini sebuah keprihatinan. NP 2006 menangkap sebuah ironi bahwa kesejahteraan bersama masih jauh dariu kenyataan di tengah Republik yang kaya raya ini. NP 2006 mengajak seluruh umat untuk mencermati gejala kesenjangan itu. Tujuannya, mencari jalan bagaimana kegiatan ekonomi dapat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh bangsa Indonesia.

Kasus Irian Jaya adalah salah satu contoh bagaimana pembagian rezeki yang tidak adil. Irian Jaya adalah contoh gamblang bagaimana kesejahteraan bersama diabaikan. Mengapa ini bisa terjadi? Mari kita melakukan analisis sosial secara sederhana. Di Irian Jaya, ada banyak rezeki. Tapi, bagaimana pembagian rezeki itu ditentukan? Pembagian rezeki ditentukan oleh aturan permainan yang ada. Di sana, ada sistem dan struktur pembagian rezeki. Sistem atau aturan main ini dibuat oleh kekuasaan. Rumusan singkatnya: kekuasaan menentukan aturan permainan dan aturan permainan menentukan pembagian rezeki.

Tampak jelas, ada aturan pembagian rezeki yang tidak adil di Irian Jaya. Aturan main itu dibuat oleh kekuasaan, baik pemerintah maupun para pemilik modal (perusahaan). Perselingkuhan antara pemerintah dan perusahaan ini sebenarnya menyiratkan bahwa uanglah yang memegang kekuasaan dan menentukan aturan permainan. Ambisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoklah yang mendorong dibuatnya aturan main itu. Nah, masyarakat Irian Jaya yang pada dasarnya tidak memunyai kekuasaan, harus mengikuti aturan main yang tidak adil itu. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di daerah penuh kekayaan itu terpaksa tidak bisa menikmati kekayaannya sendiri. Bahkan, mati karena ketiadaan kekayaan.

Uang benar-benar menjadi berhala. Uang inilah yang diperebutkan. Pemerintah yang seharusnya mengayomi dan menyejahterakan masyarakat justru berselingkuh dengan pasar (bisnis). Ujung-ujungnya adalah uang dan keuntungan. Pemerintah yang seharunya melakukan pelayanan publik (public service) mengubah haluannya menjadi pelayanan modal (profit service). Akibatnya, kesejahteraan bersama diabaikan. Bahkan, sering telanjang di depan mata, aparat keamanan yang seharunya melindungi masyarakat justru bertugas menjaga kepentingan perusahan-perusahaan. Banyak kasus di mana militer dan polisi menjadi penjaga perusahaan-perusahaan besar. Militer dan polisi justru berbalik menjadi ‘anjing-anjing penjaga’ perusahaan dan siap menerkam siapa saja yang menganggu perusahaan itu. Di Irian Jaya, berapa masyarakat warga yang mati di tangan militer dan polisi hanya karena ingin menyuarakan kepentingan mereka yang dilibas oleh perusahaan?

Nah, ada beberapa pertanyaan reflektif buat kita. Paroki kita dikenal sebagai paroki kaya dan penyumbang kolekte sangat besar di KAJ. Di paroki, banyak orang-orang kaya yang pegang banyak perusahaan dan memunyai banyak karyawan. Jangan dilupakan juga, di sudut-sudut paroki, masih banyak wajah kemiskinan. Paroki juga dipenuhi oleh orang-orang miskin, orang-orang urban, dan berekonomi pas-pasan. Nah, apakah kita sudah memperlakukan karyawan dengan adil dan manusiawi? Apakah kita benar-benar melakukan bisnis demi kesejahteraan bersama dan bukan sekadar keuntungan pribadi? Mungkin banyak uang dan derma yang kita sumbangkan buat rumah Tuhan, tapi apakah kita juga benar-benar berderma bagi saudara-saudara kita yang miskin? Apakah sistem di perusahaan atau di paroki kita sungguh-sungguh mengacu pada kesejahteraan bersama? Nah, kalau ada sistem atau aturan main yang tidak adil, mari kita ubah sistem dan aturan itu. Tentunya, dengan melibatkan para karyawan dan masyarakat.

Mungkin kita sudah merasa berderma banyak dan mencintai Tuhan, tapi seberapa besar kita mencintai sesama kita? Ingat, orang hanya bisa mencintai Allah yang tidak kelihatan kalau ia pun mampu mencintai sesamanya yang kelihatan. Mari wujudkan kesejahteraan bersama! [diterbitkan di Warta Minggu, 21 Januari 2007]

Seri Nota Pastoral 2006: Komitmen Gereja Untuk Si Miskin

"Bila aku memberi lauk pauk kepada orang miskin, aku disebut sebagai orang kudus. Tapi, ketika aku mempertanyakan mengapa mereka miskin, aku dituduh komunis."

[Uskup Dom Helder Camara, Brazil]

KISAH memilukan akibat kemiskinan tak pernah hengkang dari hadapan kita. Belum lekang dalam memori kita, kisah Supriono, seorang pemulung pengusung mayat anaknya di jalanan ibukota. Alkisah, Supriono pada sebuah siang yang gerah, tertatih menarik gerobak sampahnya. Wajahnya pucat dan duka menghiasi mukanya yang hitam dan berdebu. Tubuhnya yang tirus tampak sempoyongan. Tatapannya nanar nir pengharapan. Ia baru kehilangan Khaerunisa, 3 tahun.

Khaerunisa meninggal dunia lantaran muntaber. Gadis cilik ini mati karena minimnya uang pengobatan. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas. Saya tak punya uang untuk membawanya ke sana lagi, meski cuma Rp4.000. Saya hanya seorang pemulung kardus, gelas, dan botol plastik," kata Supriono seperti dituliskan sebuah harian ibukota.

Uang saku pemulung yang tiap hari tinggal di kolong perlintasan rel KA Cikini itu tinggal Rp6.000. Ia tak kuat membeli kain kafan, apalagi menyewa ambulan. Akhirnya, ia meletakkan jenazah anaknya di gerobaknya yang kotor dan bau. Murizki, anaknya yang lain berusia 6 tahun, duduk dekat adiknya dan mengira adiknya sedang tidur. Tubuh Khaerunisa dibalut kain sarung kumal. Kepalanya dibiarkan terbuka agar orang tidak curiga. Supriono menyeret gerobaknya dari Manggarai menuju Stasiun Tebet. Ia berencana menguburkan anaknya di kampung pemulung Kramat, Bogor.

Di stasiun Tebet, ia berniat naik KRL. Tapi, polisi memergokinya. Setelah mengatakan hal sebenarnya, polisi pun menyarankan jenazah anaknya dibawa ke RSCM untuk diotopsi. Padahal Supriono ingin segera menguburkan anaknya di Bogor. Tapi, Supriono hanya bisa duduk pilu dan tersedu menanti surat permintaan pulang dari RSCM. Sore hari, surat keluar. Lagi-lagi karena tidak punya biaya, ambulan tidak jadi disediakan rumah sakit. Supriono kembali mengendong jenazah anaknya dengan jalan kaki. Orang-orang yang iba padanya memberinya sedekah sekadar untuk ongkos ke Bogor.

Memilukan. Kata yang tepat melukiskan kisah tragis di atas. Supriono hanyalah satu dari jutaan orang kecil miskin yang tidak mengakses layanan publik. Ia menderita karena miskin. Ia tidak diperhatikan karena ia seorang pemulung. Ia tidak mendapatkan pelayanan memadai karena ia tidak memunyai uang. Sangat pantas jika ada ungkapan satiris yang mengatakan "orang miskin dilarang sekolah" atau "orang miskin dilarang sakit."

Kisah Supriono bisa dijadikan pisau analisis pada kehidupan bersama kita. Di tengah negeri yang bergelimangan kekayaan, mengapa masih banyak orang miskin dan kelaparan? Di tengah pembangunan kota dengan gedung-gedung jangkung, mengapa masih ada penghuni kolong-kolong jembatan? Di tengah digalakkanya perekonomian rakyat, mengapa masih ada pedagang-pedagang kecil yang digusur oleh aparat dan digencet oleh pusat-pusat belanja yang mengepung dari segala arah? Di tengah menjamurnya lembaga pendidikan, mengapa masih ada orang kecil yang tidak bisa sekolah? Fenomena ini menandakan ada sesuatu yang salah dalam tata kehidupan publik selama ini.

Dalam konteks kehidupan seperti itulah, Gereja Indonesia kembali menerbitkan Nota Pastoral (NP) 2006 bertajuk "Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan." NP 2006 ini merupakan kelanjutan dari NP 2003 berjudul "Keadilan Sosial Bagi Semua" dan NP 2004 berjudul "Keadaban Publik:Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya." Nah, Warta Minggu akan menyajikan gagasan NP 2006 ini dalam edisi serial. Edisi kali ini lebih memaparkan secara umum gagasan NP 2006 ini.

NP 2006 menawarkan diri sebagai bahan pembelajaran dan penghayatan iman dalam dimensi sosial-ekonomi. Praksis iman tidak bisa dilepaskan dari hidup sosial ekonomi. NP 2006 merupakan refleksi Gereja Katolik Indonesia atas tata kelola ekonomi Indonesia. Ekonomi yang idealnya bertujuan untuk kesejahteraan bersama, pada kenyataannya hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja.

Ada enam bab yang membingkai gagasan NP 2006. Setelah pengantar, NP memaparkan wajah real sosial ekonomi Indonesia. Misalnya, orang miskin yang mencapai 108, 78 juta, semakin minimnya sumber daya produktif rakyat, meledaknya pengangguran, jumlah anak putus sekolah, kurang gizi, busung lapar, kejahatan, dan sebagainya. Wajah kemiskinan yang telanjang ini hadir berdampingan dengan penumpukan kekayaan sekelompok orang yang memamerkannya tanpa kepedulian. Ada kesenjangan sosial.

Ada banyak penyebab kesenjangan sosial. Pertama, komersialisasi di berbagai bidang. Segala sesuatu diuangkan dan diperjualbelikan. Mekanisme pasar merangsek ke berbagai lini. Akibatnya, hanya orang-orang yang berduit yang bisa mengakses pelayanan, barang, dan jasa. Kedua, kebijakan publik cenderung berpihak pada yang kaya lantaran yang posisi pembuat kebijakan justru dikuasai oleh uang. Ketiga, ciri ambigu globalisasi. Globalisasi selain menyuguhkan kemudahan-kemudahan sekaligus memunculkan risiko, keterpurukan, kemiskinan, dan penindasan baru. Keempat, kesenjangan budaya. Hal ini sangat kentara dalam masyarakat perkotaan.

Pola untung rugi memengaruhi cara berpikir masyarakat sekarang. Segala tindakan lebih diarahkan pada pengerukan keuntungan dan kekayaan pribadi ketimbang demi kesejahteraan bersama.

Ke depan, Gereja mau mewujudkan komitmennya. Gereja ingin terlibat dalam usaha mendorong pemerintah dan pengelola pasar untuk membangun kembali tata ekonomi yang adil, khusunya dalam memberdayakan ekonomi warga. Gereja mendorong orang-orang kecil untuk berani memberdayakan didirnya. Gereja mengajak semua pihak untuk memikirkan dan melibati usaha mencapai kesejahteraan bersama. Gereja juga menawarkan berbagai prioritas gerakan dan langkah-langkah strategis sambil mengoptimalkan potensi yang ada.

Paroki adalah bagian dari Gereja yang hidup di tengah realitas masyarakat dengan wajah kemiskinan di sana. NP 2006 bisa kita jadikan cermin dan semangat gerakan. Jangan-jangan mentalitas bisnis (uang) juga masuk dalam pola dan sistem menggereja kita? Jangan-jangan paroki kita yang lagi bergiat membangun gedung gereja telah meminggirkan orang-orang kecil dan miskin di dalam dan di sekitarnya? Jangan-jangan hanya orang-orang berduit saja yang bisa mengakses layanan optimal di paroki kita? Semoga fenomena konkret di paroki kita tidak memancing ungkapan satiris baru: "orang miskin di larang menggereja" atau "prang miskin dilarang menggunakan fasilitas gereja". Untuk kita renungkan. [diterbitan di Warta Minggu, 14 Januari 2007]

Sujud di Depan Katedral Layar Kaca



“Televisi membawa pembunuh ke rumah di mana televisi berada.”
[Alfred Hitchcock]

SALAH satu anggota keluarga yang tidak pernah dianggap sebagai anggota keluarga tetapi memunyai daya pengaruh dahsyat adalah televisi. Hampir di setiap rumah tangga teronggok benda yang bernama televisi. Entah itu di ruang tamu, ruang kerja, maupun ruang tidur. Benda inilah yang lebih sering dipelototi, lebih didengarkan, digubris, ketimbang anggota keluarga lainnya. Rumah tangga belum lengkap bila belum ada pesawat televisi. Tidak hanya di perumahan mewah dengan model pesawat yang canggih, tetapi juga di tengah belantara masyarakat kecil, televisi teronggok di rumah-rumah mereka. Televisi memang sudah menjadi kebutuhan. Sejak kelahirannya di abad ke-19, televisi menjadi sebuah pembuka babak baru kehidupan masyarakat dunia. Di Indonesia, televisi mulai beroperasi sejak tahun 1962 dengan TVRI sebagai stasiun tunggal. Perkembangan teknologi telah menyulap sosok televisi ini menjadi benda yang paling diminati, paling berpengaruh, sekaligus paling berbahaya.

Televisi hadir dan berkontribusi dalam Revolusi Komunikasi dunia. Ia sempat dipuja-puja sebagai media penyaji hiburan yang murah. Kehadiran televisi seolah melipat dunia. Ruang dan waktu telah dimampatkan. Berita meninggalnya Augusto Pinochet di Chile sana sudah bisa dinikmati di rumah sebuah keluarga di pojok Kebon Jeruk hanya selang beberapa menit. Bahkan, pada pentahbisan Ratzinger menjadi penguasa tertinggi Tahkta Suci Vatikan, sebuah keluarga di kompleks Tosiga bisa menyaksikan siaran langsung berkat televisi. Lebih jelas lagi saat berlangsung final Piala Dunia 2006, Italia melawan Prancis. Dengan televisi yang dihubungkan proyektor, ratusan orang kumpul di aula MBK yang dengan riuh menonton tim jagoannya bertanding. Stadion Olympia Berlin seolah dilipat dan dicabut dan dihadirkan lagi di aula.

Hampir tidak ada hari tanpa bersentuhan dengan tabung ajaib ini. Bangun pagi, sambil sarapan tangan sudah memencet remote control dan nyalah televisi dengan rubrik berita atau dakwah pagi. Setelah itu, hampir tidak ada matinya untuk televisi entah siapa saja yang gantian memelototinya. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kita. Televisi seakan menjadi katedral layar kaca milik orang-orang modern. Di sana orang berkumpul, duduk, melihat, dan mendengar ‘kotbah-kotbah’ yang dilontarkan televisi. Saking istimewanya, diam-diam tabung ajaib itu sering lebih kita perhatikan dan dengarkan ketimbang anggota keluarga lainnya.

Kalau kita sadar, televisi memberikan imbas luar biasa bagi kehidupan kita. Kehadirannya yang masih dan gayanya yang kapitalistik telah membius alam kesadaran kita. Kita baru terjaga saat ada suatu kejutan yang disebabkan televisi menghentak kehidupan kita. Ambil contoh, kasus program smack down. Masyarakat protes saat terjadi kekerasan hingga kematian di lingkungan anak-anak yang mempraktikkan adegan ini. Pemerintah pun sigap melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera melarang program smack down. Para orangtua menjadi lebih hati-hati dalam memerhatikan kehidupan anak-anak mereka. Dengan melihat akibat negatif ini, rasanya kita perlu lebih memperhatikan anggota keluarga yang satu ini.

Televisi juga bisa digambarkan sebagai hipermarket, di mana orang bisa gonta-ganti channel seturut kebutuhan dengan sangat mudah. Dan televisi menyediakan beragam menu untuk dinikmati. Dari berita sampai info selebriti. Dari olahraga sampai kuis. Dari film sampai reality show, dan sebagainya. Belum ditambah dengan rentetan iklan yang muncul di sela-sela program acara.

Benda favorit ini layak kita waspadai! Mengapa? Selain kemajuan, ada banyak pengaruh buruk yang ditularkan televisi ke dalam alam kesadaran kita, khususnya dalam keluarga. Tanpa kemampuan mengambil jarak dengan sikap kritis, televisi memunyai kemampuan membius, membohongi, dan melarikan pemirsanya dari kenyataan hidup. Televisi memunyai daya manipulatif yang besar.

Berbagai macam jenis program hiburan seperti infotainmen, sinetron, kuis, reality show, dan sebagainya memunyai potensi memanipulasi. Ditambah dengan serangan tiada henti iklan yang terus-menerus diputar dan secara tidak sadar memberi konstruksi baru di dalam otak kita dalam memandang realitas. Di samping itu, televisi lebih sering menyuguhkan program-program yang mengeksploitasi masyarakat. Jangan lupa bahwa program-program televisi masuk dalam industri media di mana industri itu tidak bisa dilepaskan dari pencarian keuntungan bagi para pemilik saham. Sayangnya, televisi yang diharapkan menjadi media edukasi, hiburan sehat, dan kritik sosial malah menjadi alat pembodohan dari para pebisnis media.

Tak jarang, acara televisi berjarak dengan realitas sosial masyarakat yang ada. Gaya hidup yang hedonis dan konsumtif tak terasa membentuk pola dan mental para pemirsanya. Sinetron-sinetron yang mengusung gaya metropolis ini ikut andil dalam menyebarkan virus-virus hidup konsumtif. Sementara, iklan-iklan terus menerus membius pikiran kita untuk tergoda menuruti apa kemauannya. Kita dipaksa untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Tetapi, karena iklan itu terus-menerus ‘meneror’ kita, akhirnya kita tak berdaya dan terbujuk untuk mengamini apa kemauannya. Sementara itu, iklan juga sering menawarkan logika yang jungkir balik dan cenderung diskriminatif. Salah duanya adalah kecantikan dan kebahagiaan. Kecantikan versi iklan adalah yang berkulit putih dan rambut lurus. Kebahagiaan keluarga akan terpenuhi jika sudah ada mobil mewah ngendon di garasi atau memunyai rumah bagus dan sebagainya. Ingat, pengaruh televisi ini seperti obat bius, pelan tapi menghanyutkan.

Pemikir Prancis Jean Baudrillard menyebut masyarakat sekarang sebagai masyarakat konsumsi (consumer society). Tindakan konsumsi menjadi yang diagung-agungkan. Hal ini masih didukung dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah. Sekarang orang lebih suka membeli barang-barang demi sebuah prestige (gengsi), mode, ketimbang memenuhi kebutuhan real dan fungsinya. Iklan-iklan telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang semu.

Tak disangkal juga, televisi sering menyuguhkan program-program yang mengangkangi akal sehat. Sebut saja, program-program yang mengkomersialisasikan tema-tema religius, mistis, maupun hantu. Tema-tema ini cenderung membodohi ketimbang mengajak pemirsa cerdas. Agama diposisikan sebagai otoritas tertinggi yang bisa menghakimi tindak-tanduk manusia. Perilaku yang culas dan jahat pasti akan diakhiri dengan kisah tragis dan mengerikan. Demikian juga tema-tema hantu yang sungguh melecehkan akal sehat manusia.

Belum lagi dengan tontonan infotainmen yang hanya mengumbar kisah gebyar selebriti yang dipenuhi dengan kisah kawin dan cerai. Belum lagi kisah-kisah yang melecehkan ruang privat dengan balutan isu-isu yang belum tentu kebenarannya. Sementara itu, pogram sinetron yang sudah punya jam siar dari pagi sampai malam, bisa membawa pemirsa pada kehidupan yang tidak real. Cerita-cerita yang mengharubirukan emosi pemirsa membuat tokoh-tokoh rekaan dalam sinetron seolah-olah hadir dalam kenyataan. Akibat buruknya, orang lebih mengenal dan berempati dengan tokoh-tokoh rekaan sinetron ketimbang kenal dan berempati dengan tetangga samping rumah. Belum dengan kehidupan mewah dan berkelimpahan yang sangat berjarak dengan realitas hidup pemirsa yang serba bermasalah. Banyak hiburan televisi yang tidak solider dengan kondisi masyarakat. Sayangnya, masyarakat senang menikmatinya. Tak sadar kalau hiburan itu juga seperti candu yang hanya menghibur sesaat dan semakin mengasingkan pemirsa dari hidup nyata, termasuk dengan dirinya sendiri.

Sudah layak dan sepantasnya kita memerhatikan peranan televisi di rumah kita. Mendiang Yohanes Paulus II sendiri pernah menengaskan bahwa media dapat memberi dampak amat buruk pada keluarga ketika ia menawarkan visi yang tidak layak dan bahkan terdistorsi atas hidup, keluarga, agama, dan moralitas.

Oleh karenanya, saatnya keluarga berperan dalam pendidikan media kepada para anggotanya. Kembalikan kebebasan keluarga dalam mengontrol televisi dan bukannya televisi mengontrol dan menyetir kehidupan keluarga. Jangan biarkan televisi menjadi soft terorism yang mengancam keutuhan dan kebahagiaan keluarga. Ini menjadi panggilan keluarga Katolik masa kini.

Ingat, katedral sejati hadir di dalam rumah tangga, dan bukan televisi!

Wednesday, 17 January 2007

Surat Terbuka Buat Seorang Pastor

Sahabatku X,

KUBUKA JENDELA kamarku minggu pagi pukul tujuh. Tirai coklat kusibak. Desir angin pagi nan segar merangsek masuk. Menerpa wajahku yang masih manyun lantaran aku memilih membaca dua buku ketimbang tidur dan merajut mimpi lebih awal. Angin yang sama mengusap pelan istriku. Membuatnya terjaga sejenak, menggeliat, dan tertidur lagi. Di luar, sinar matahari mengusap pucuk-pucuk pohon milik tetangga. Terdengar riuh suara perempuan yang berpapasan di jalan depan rumah. Itulah pagi pertama yang kulihat hari itu. Tentu, pagimu di Inggris sana pasti jauh lebih indah. Aku bayangkan, saat kau membuka jendela, pemandangan jauh lebih indah. Mungkin saja salju atau gerimis kecil, lampu-lampu kota yang belum lama padam, suara lonceng dari sebuah gereja, derap langkah kolegamu, kidung gregorian dari sebuah ibadat pagi atau gaduhnya suara merpati berebut makanan. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku berharap pagimu sungguh indah di sana.

Sahabat, aku sengaja tidak memanggil dirimu dengan kata 'romo' seperti biasanya. Aku lebih senang memanggilmu sebagai sahabat, sahabat yang memunyai namanya sendiri. Toh, aku juga tidak begitu suka dengan kata itu. Bukannya aku tidak mau menghormatimu yang notabene adalah seorang pastor muda. Pasti kita sepakat, seseorang dihormati bukan lantaran gelarnya atau jubahnya, entah itu profesor atau romo sekalipun. Toh bukan gelar atau jubah yang menyucikan pastor, tapi sebaliknya. Apalagi, kata itu, menurutku, sering membuat orang berperilaku munafik. Tidak jujur. Baik bagi yang menyandangnya maupun orang-orang di sekitarnya. Gelar itu yang lebih sering mengatur perilaku dan hidupnya di depan orang-orang, ketimbang nuraninya. Kata itu pula yang sering memicu orang untuk tidak otentik dan bertopeng. Kata itu juga suka membuat orang oportunis, menjadi para penjilat di depannya. Dan mereka bertebaran di lingkungan gereja kita. Jangan marah karena aku memanggilmu tanpa gelar itu. Aku hanya ikut-ikutan Yesus sendiri yang memanggil para muridNya sebagai sahabat. Tidak ada lagi tuan. Tidak ada lagi budak. Kita sejajar sebagai sahabat.

Sahabat, aku menyapamu dalam surat ini dengan kata 'jendela.' Yah, ini terkait dengan dua surat kita. Kamu malah mempertanyakan "apakah Gereja memunyai jendela memangnya?". Tidak tahukah kamu bahwa kata 'jendela Gereja' adalah sebuah metafor. Aku yakin, sebagai pastor, kamu juga paham kata-kata itu. Metafor 'jendela' itu sangat populer untuk merujuk pada dibukanya Konsili Vatikan II (1962-19654) oleh Yohanes XXIII yang kemudian diteruskan oleh Paulus VI. "Bukalah jendela lebar-lebar" atau sering disebut aggiornamento merupakan jargon Gereja saat itu untuk melakukan pembaruan. Membiarkan angin segar dunia masuk dan Gereja tidak beku dan sumpek lagi. Semua itu sekadar metafor dari mimpi-mimpi pelaku konsili. Gereja mulai membuka diri dan ramah pada dunia. Dan kita tahu, Konsili Vatikan II telah melahirkan dokumen-dokumen yang cukup progressif, khususnya buat Gereja Katolik sendiri. Gereja mulai bicara soal kebebasan, HAM, demokrasi, peranan awam, keadilan sosial, dan sebagainya. Duh, sebuah titik sejarah yang pantas dikenang. Sampai-sampai, kita lebih senang mengagung-agungkan titik sejarah itu dan melupakan bahwa sebenarnya Gereja sendiri masih setengah hati menjalankan 'proyek' Konsili Vatikan II itu. Aku sendiri menyebutnya dengan "jendela yang setengah terbuka."

Sebagai orang yang menjadi Katolik selama 20 tahun, aku sendiri memberanikan diri tenggelam dalam kegelisahan iman, kegelisahan intelektual, dan kegelisahan hatiku. Curah hatiku yang sudah aku kirim jauh-jauh hari itu adalah ungkapan jujur diriku. Aku tidak lagi memandang Gereja sebagai yang absolut kudus, absolut satu, tidak tersentuh oleh kritik dan masukan, dan sebagainya. Tapi, geli juga melihat tanggapan berjibun dari para sahabat di milis ini. Sebagian besar menilai negatif atas kejujuranku itu sampai lupa pada pembahasan pokok-pokok persoalan yang aku lontarkan. Aku malah menduga, jangan-jangan ini adalah bukti nyata produk-produk kepatuhan dari mesin religius yang membuat orang cepat-cepat mencap jelek orang yang melontarkan kritik dan membela mati-matian institusi/hal yang dikritik, ketimbang memperhatikan dengan jujur isi dari kritikannya. Duh, fenomena yang sangat memprihatinkan bagiku. Gak tahu juga, apakah ini adalah produk 'pembodohan' yang tidak kita sadari selama ini? Aku juga heran, apakah selama menggereja, mereka tidak menemukan pergulatan-pergulat an sepertiku? Aku setuju dengan opini dari seorang sahabat milis, bahwa pertanyaan-pertanya an itu juga pernah kita alami semua. Tapi, bisa jadi karena gengsi, takut dianggap tidak kristiani, takut dianggap krisis iman, merasa berdosa, tidak pantas, dan sebagainya, orang-orang itu tidak berani jujur. Aku malah semakin meyakini kalau memang fenomena ini yang terjadi, inilah keberhasilan dari 'mesin kepatuhan' itu sehingga membuat orang tidak berani jujur dengan dirinya sendiri dan membuatnya merasa bersalah jika menilai sistem dari 'mesin' itu tidak sesuai dengan hatinya. Bisa jadi, gereja adalah kumpulan orang-orang munafik, orang-orang takut. Munafik dan takut dengan dirinya sendiri.

Sahabat, kamu dan para sahabat lain, mencoba menyadarkan aku dengan mempertanyakan lagi siapa sebenarnya yang disebut dengan Gereja? Perlu diperjelas, apakah Gereja yang dimaksud adalah hierarki dengan barisan para klerusnya atau semua umat (kita-kita ini). Kalimat terakhir yang kamu tulis "dandani diri sendiri maka kita memperbaruhi Gereja." Kamu juga menyarankan aku untuk bersikap realistis pada Gereja. Duh, sebuah ajakan bijak yang luar biasa bijak. Ajakan memperbarui dari diri sendiri. Bagiku, Gereja memang kita semua, tetapi Gereja juga BUKAN kita semua. Justru, aku menyarankan kamu yang harus realistis dalam memandang Gereja ini. Selama ini, siapa yang masih memunyai otoritas untuk mengatur, memberi kebijakan, membuat hukum, membuat tata aturan, membuat liturgi, membuat dogma, mengarahkan, mewajibkan, mengajak, mengatur kontrasepsi, dan sebagainya? Kalau kamu benar-benar realistis, yang mengatur Gereja selama ini adalah hierarki dengan barisan para klerus yang laki-laki itu. Gak bisa disangkal, Vatikan masih berperan mengatur hidup dan tata ibadat kita. Gereja adalah kita dan sekaligus juga Gereja BUKAN kita. Kita masih tergantung pada struktur yang punya daya cukup kuat dan pengaruh itu masuk ubun-ubun kita sampai dibuatnya sedemikian patuh. Bahkan, tubuh-tubuh kita pun ikutan patuh.

Perubahan dimulai dari diri sendiri, bagiku adalah dalam taraf pertobatan personal, hidup pribadi yang lebih baik, manusiawi, dan bertanggung jawab. Tetapi, perubahan atas sistem dan struktur tidak bisa dilakukan oleh diri sendiri. Ini menyangkut otoritas yang menjalankan dan membuat sistem atau struktur itu. Namun, aku belajar banyak dari Luther (sosok yang kamu pandang sebelah mata itu). Bagiku, gerakan dia justru berawal dari perubahan diri sendiri. Ia protes, ia mengkritik, dan ia mengubah sendiri sikapnya terhadap Gereja Katolik. Ia menjadi orang yang tidak taat lagi. Kemudian, berkat mesin cetak Guttenberg, ide-ide kritisnya disosialisasikan ke banyak orang. Orang-orang yang sependapat akhirnya bergabung. Muncullah apa yang namanya ketidaktaatan sipil (civil disobedience). Nah, ketidaktaatan sipil inilah yang aku maksud dalam metafor "badai Katrina" yang suatu saat bisa datang dan meruntuhkan struktur Gereja itu sendiri, justru kalau otoritas sekarang yang berwenang tidak mengadakan perubahan.

Menurut opini pribadiku, Gereja jelas-jelas setengah hati dalam melakukan pembaruan diri. Bahkan, dalam level tertentu, Gereja tampak mengalami inkonsistensi. Tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Gereja berkoar-koar soal demokrasi, komunitas basis, keadilan jender, penghormatan HAM dan suara itu begitu indah dan merdu didengarkan di luar. Tapi, aku sendiri menilainya hanya retorika di luar saja. Setengah hati bila ditatapkan dengan realitas di dalam Gereja sendiri. Gereja tidak mengoreksi struktur dan sistemnya: apakah struktur dan sistem selama ini sungguh mengantarkan Gereja sendiri pada cita-cita mulianya itu? Termasuk di sini sistem-sistem yang diberlakukan dalam tata ibadat (liturgi).

Gereja di satu sisi menggencarkan penghormatan pada perempuan, penolakan segala bentuk kekerasan pada perempuan, dan kesetaraan jender. Tapi, apakah Gereja benar-benar menjalankan itu dengan sepenuh hati? Tidak. Gereja belum menghormati perempuan dalam tataran struktural, Gereja masih menghormati perempuan sebatas supporting system saja, Gereja juga belum menghormati perempuan dalam tataran teologis. Bagaimana mungkin perempuan-perempuan Gereja menjalankan ajaran mengenai diri dan ketubuhannya dari ajaran-ajaran yang dirumuskan laki-laki yang mengklaim diri tidak kawin itu? Gereja begitu menghormati Maria Ibu Yesus, tapi Gereja tidak pernah dengan sungguh-sungguh menghormati keperempuanannya dan Maria-Maria lain yang bertebaran di dalam Gereja sendiri. Di benakku, ini sebuah inkonsistensi Gereja Katolik. Aku sendiri senang dan setuju dengan gerakan pastor perempuan tertahbis yang sudah bergulir di beberapa negara ini. Gereja senantiasa berdalih dengan tradisi. Tapi, bagiku tradisi itu bukan membawa masa lampau ke dunia sekarang, tetapi selalu berdialog secara dialektis dengan zaman dan perkembangan kesadaran manusia. Tradisi adalah suatu yang memperbarui diri.

Gereja menjunjung HAM. Tapi, dalam taraf tertentu, ia seperti mesin Fasis yang mencampuri ruang privat manusia di dalamnya. Sampai-sampai mencampuri urusan pemakaian alat kontrasepsi sebagai pembatasan kelahiran dengan dalih moralitas. Tapi, Gereja juga seakan masih buta melihat realitas keluarga-keluarga di dunia ketiga yang masih bergumul dengan persoalan kemiskinan dan kelaparan. Termasuk juga dengan penyakit AIDS yang fenomenal itu. Bagiku, moral yang ditawarkan Gereja bukan moral yang mendengarkan.

Dan masih banyak bentuk-bentuk inkonsitensi dari Gereja Katolik sendiri. Termasuk soal peranan awam dan komunitas basis. Di sana, sistem dan struktur sering membuat peranan awam dan proses pembentukan komunitas basis ini malah berjalan di tempat dan tidak berjalan optimal. Lantaran terlalu birokratis. Termasuk dalam liturgi Gereja yang bagiku sih masih kaku, dingin, dan tidak fleksibel untuk sebuah kreativitas. Lebih parah lagi, seperti yang sering aku sebut, ini menumbuhkan kepatuhan semu (baik hati, pikiran, dan tubuh). Aku hanya mengingatkan saja bahwa kekakuan dan kepatuhan religius ini bisa menumbuhkan kesalahan-kesalahan fatal. Misalnya saja, lahirnya budak-budak ajaran (pokoknya hidup adalah apa yang dikatakan Gereja dan segala aturannya). Kemudian juga bisa melahirkan praktik ibadat yang kekanak-kanakan (infantilisme) . Dalam infantilisme, orang lebih senang merengek-rengek dalam doa, merayu-rayu Tuhan, senang memosisikan diri dibimbing dan enggan bertanggung jawab. Ada juga konformisme yang membuat orang merasa aman dan nyaman dalam keseragaman dan mematikan potensi-potensi diri sendiri sehingga matilah kedirian. Orang lebih senang menjadi nobody ketimbang somebody. Bisa jadi, Gereja dalam praktik ibadatnya justru tidak membuat orang-orang menjadi berdaya (berjiwa merdeka), tetapi sebaliknya memasung dan menjadikan mereka menjadi pribadi-pribadi tak berwajah dan suka mimikri (kayak bunglon).

Sahabatku, X. Kamu memandang sebelah mata sosok Luther dan Leonardo Boff. Sejauh aku tahu, mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai pembaharu Gereja. Bahkan, istilah Reformasi Protestantisme sendiri bukan istilah Luther sendiri, tapi istilah dari ahli sejarah Gereja untuk menandai peristiwa penting itu. Kamu menganggap istilah "Protestantisme" sebagai sebuah istilah yang tidak terlalu enak didengar. Bagiku, yang tidak enak didengar itu justru istilah korupsi dalam Gereja, penilapan uang pembangunan Gereja, jual-beli sakramen, pedofilia dari para pastor Katolik, dan sebagainya.

Aku sendiri menyukai Luther dan sikap kritis dan keberaniannya, meski beberapa ajarannya aku sendiri tidak sependapat. Aku sangat senang dengan isi kritiknya. Justru kita belajar banyak darinya bahwa Gereja Katolik sendiri pernah melakukan hal-hal nista: menjual surat pengampunan dosa untuk membayar utang dalam pembangunan Basilika St. Petrus, menakut-nakuti orang dengan istilah dosa dan hukuman neraka, menyimpan gundik-gundik dan pelacur di kolong-kolong biara, menyatakan Gereja (dan paus) tidak pernah sesat, menghalalkan darah tak berdosa, jadi mesin kekerasan, mesin kemunafikan, dan sebagainya. Keberanian menggumuli pergulatan dan keprihatinannya itulah yang aku sukai dari diri Martin Luther. Dan pintu kapel Wettenberg itu pun menjadi saksi kejeniusan Luther.

Leonardo Boff hampir mirip. Ia ikut melahirkan Teologi Pembebasan bersama Gustavo Gutierrez. Sebuah teologi untuk menjawab teologi Vatikan yang mandul dan ompong. Ia dikenal sebagai pendukung gerakan-gerakan sayap kiri, suka membentuk komunitas-komunitas basis, aktif berjuang soal HAM, ia menjadi pengkritik pada peranan-peranan Gereja Katolik yang ikut mendukung sistem ekonomi yang menindas komunitas, dan sebagainya. Justru, aku sendiri berterimakasih pada Boff karena semakin memelekkan diriku akan sejatinya hidup menggereja. Itulah, kadang aku melihat gerakan yang dimulai Jesus, si gembel dari Nazaret itu justru jauh dipermiskin oleh apa yang namanya Gereja Katolik seperti sekarang ini. Kasihan, Yesus diperosokkan dalam penjara-penjara buatan Gereja...

Kadang, aku merasa heran dengan diri kamu. Kamu seorang pastor yang beruntung bisa menikmati pendidikan tinggi di luar negeri. Kamu belajar filsafat dan teologi. Aku salut dan iri tentang itu. Namun, aku membayangkan kenapa kamu masih memandang hitam putih fenomena Luther dan Boff, belum Hans Kung. Aku sendiri membayangkan, orang yang semakin tinggi pendidikannya justru bisa memandang fenomena tidak hitam putih, tetapi menyeluruh (wholly). Realitas dipandang dari seribu satu mata. Aku heran apakah ketika kamu mempelajari lika-liku dan labirin filsafat dan teologi, kamu benar-benar mengalami pergulatan. Bagiku, filsafat membantuku untuk berani bergulat dan berani memasuki lika-liku hidup yang kompleks ini. Atau kamu sebenarnya memunyai beban sehingga kamu tidak berani masuk dalam pergumulan itu hanya lantaran kamu seorang pastor, seorang anggota ordo yang ditugasi belajar oleh provinsial, dan sebagainya? Apakah kamu juga tidak pernah bergulat tentang hidup dalam Gereja Katolik sendiri? Sama seperti ketika kamu mengumuli keraguan dan pergulatan panggilan imamatmu? Aku berharap kamu menjadi seorang pembelajar sejati yang berani menjadikan ilmu-ilmu yang kamu dapatkan untuk menggumuli hidupmu sendiri. Di sanalah, letak keindahan hidup karena kita berani jujur dengan diri kita sendiri. Aku sendiri senang memegang kata-kata Thomas Aquinas dalam mundo et caelo: "Belajar filsafat itu tidak hanya mengetahui apa yang dipikirkan dan diperkarakan para filsuf, tetapi bagaimana kebenaran-kebenaran perkara itu digulati." Kata-kata Aquinas ini pernah aku pajang di meja belajarku saat aku masih di Kolese Hermanum lalu. Tapi, aku senantiasa dukung kamu dalam proses studimu. Bagiku, belajar adalah kegiatan sangat mulia. Jujur, dalam sepotong kejujuranku, aku iri padamu karena kamu bisa mengenyam pendidikan di sana. Tapi, semangatku untuk mencecap dan memamah buku-buku tidak bakalan sirna.

Sahabat, mungkin kegelisahan ini tidak akan sampai terdengar di jendela Vatikan nun jauh di sana. Mungkin aku laksana seekor semut yang kepanasan di lapangan St. Petrus dan Paus pun tidak mampu memandang diriku dari balik jendela kamarnya. Tapi, aku percaya, kelak akan ada semut-semut yang berduyun-duyun dan menggoyang kemapanan Gereja, tempatnya bertakhta dan memerintah. Tinggal menunggu waktu. Dan dari kesenyapan, suara itu sudah bisa didengar.

Itu dulu ya. Sori banget kalau suratku panjang. Semua yang aku tulis ini adalah ungkapan kejujuranku. Aku hanya mengajakmu untuk menjadi manusia pemberani untuk masuk dalam ketakutan-ketakutan dan pergulatan. Dan bukannya menghindari dengan bersembunyi dalam institusi Gereja yang menjadi sebuah zona kenyamanan tersendiri. Semoga apa yang kamu baca dan dapatkan dari meja kuliah dan dialog dengan profesor-profesor kawakan di sana, semakin menjadikan dirimu otentik. Jadilah manusia merdeka! Itulah pesan Yesus. Olok-olokannya: Christ, Yes! Chruch, No!!!!

Aku minta maaf jika ada kata-kata yang menyinggung. Ini sebuah kejujuranku. Ngomong-omong, bagaimana dengan kabar London? Apa yang kamu lihat ketika kamu membuka jendela kamarmu di pagi hari? Aku bermimpi suatu saat aku akan pergi dan belajar di sana dan melihat seperti yang kamu lihat, hue he he...

salam sejuta jendela,
Musafir Muda
* Sahabat Yesus Kristus & sahabatmu

Surat: Rome Sweet Tomb

Sahabatku,

MENARIK merenungi kehidupan Gereja dengan tajuk "Rome Sweet Home". Ada suatu yang berbeda dengan kesan para sahabat tentang Gereja Katolik. Dulu, Gereja Katolik sungguh memesona diriku, aku berhutang banyak darinya karena lewat Gereja aku bisa diperkenalkan dengan Sahabatku, Yesus Kristus. Tapi, waktu berjalan dan umurku bertambah. Sebaliknya, aku merasakan keterpesonaan itu semakin lama semakin pudar. Justru, ketika aku sedang giat-giatnya melibati apa yang namanya Gereja. Bermalam-malam aku dibuatnya gelisah. Dan jemariku tidak tahan untuk mencoretkannya dalam baris demi baris refleksiku atas Gereja Katolik. Bahkan, aku dibuatnya insomnia dan tidak bisa tidur. Pernah pada dini hari, aku sempat terjaga dan membangunkan istriku dan membisikkan ke telinganya: "Gereja itu seperti mesin pembunuh ala Fasisme Hitler." Sesekali, kubagikan beberapa keping kegelisahan ini ke beberapa sahabat lewat ponselku. Sementara aku menulis dan terus menulis. Sudah banyak lembar.

Sudah 20 tahun (sejak SD kelas IV) aku resmi hidup dalam Gereja Katolik sebagai orang Katolik. Banyak suka duka yang aku alami. Aku semakin menyadari bahwa Yesus bukanlah Gereja dan Gereja bukanlah Yesus. Sehingga aku tidak perlu mengikuti Gereja untuk mengikuti Yesus karena pada taraf kesadaran tertentu kiprah Gereja sendiri sangat berbeda dengan kiprah Yesus yang selama ini aku kenal. Nah, ketika para sahabat di milis ini mendiskusikan Rome Sweet Home, jujur hatiku kok tidak sependapat.

Ada beberapa poin yang aku bagikan lewat nukilan dari catatanku:

1. Bagiku, Gereja masih setengah hati menjalankan ajaran dan seruan-seruan moralnya sendiri. Gereja sendiri tidak loyal dengan dirinya sendiri. Seperti yang aku kisahkan dalam diskusi Kafe Socrates. Aku bilang perbincangan ketidakadilan gender dalam Gereja tidak akan habis kalau tidak menyinggung masalah struktural. Keadilan jender harus juga diwujudkan dalam keadilan struktural. Dengan demikian harus ada perombakan struktur. Tidak hanya soal jender, tapi apa pun. Coba lihat apakah struktur atau sistem yang kita hidupi selama ini mendukung. Termasuk itu komunitas basis, demokrasi, akuntabilitas, dan sebagainya. Demokrasi, keadilan jender, komunitas basis dan sebagainya itu aku anggap sebagai anggur-anggur baru (buah-buah kesadaran baru), tetapi apakah itu ditempatkan dalam wadah yang baru (apakah struktur kita mendukung?). Kalau tidak mendukung kenapa kita tidak berani mengubah? Kalau tidak, kita berjalan setengah hati. Jangan-jangan susahnya menggalakkan komunitas basis bukan lantaran orang-orangnya apatis atau ndableg, melainkan sistem/struktur gereja sendiri tidak mendukung ke arah sana? Bagiku, Gereja itu pandai di wacana dan refleksi dan suka melempar itu semua ke dunia, tetapi Gereja yang membarui diri cuman setengah hati. Siapa tahu struktur selama ini justru membatasi gerak langkah kita. Coba bayangkan kita berdiri di tanah lapang. Kita akan bergerak bebas ke sana kemari dan pandangan kita bisa luas, seluas arah mata angin. Tapi, coba ketika lapangan itu ditumbuhi dengan tiang-tiang pancang, ditumbuhi tembok pembatas, gerakan kita akan terbatas dan jangkauan pandang kita juga terbatas. Mari kita menilik sejenak struktur dan sistem kita. Ingat, struktur dibuat untuk manusia dan manusia untuk struktur.

2. Liturgi Gereja Katolik (yang aku jumpai) menjadikan umat sekadar penonton. Lebih-lebih dengan TPE yang baru di mana keterlibatan umat semakin dipotong habis. Umat hanya sekadar penonton, pendengar yang baik. Padahal inti/puncak perayaan liturgi adalah Ekaristi. Menurut pemahamanku Ekaristi adalah panggilan melibati dengan cara mengenangkan Yesus yang mengorbankan dirinya. Tapi, liturgi ini justru memberi keterjarakan dengan pesan dari Ekaristi sendiri yakni keterlibatan. Hampir satu setengah jam kita seperti dilemparkan dalam tontonan. Masih ditambah dengan kotbah-kotbah yang kadang hanya mengulang-ulang cerita Kitab Suci dan basi. Liturgi kita masih terkesan kaku dan beku. Itu saja belum dengan fenomena otomatisasi yang terjadi selama di dalam gedung gereja. Kita seperti kerumunan massa tanpa wajah. Duduk bergerombol tetapi tidak saling kenal. Mengenal nama pun tidak. Habis itu kita seperti mesin (tanpa kita sadari): duduk, berlutut, duduk berlutut, berdiri, duduk lagi yang kadang tidak kita ketahui untuk apa???? Sementara rutinitas ini membuat rasa canggung dan bersalah jika kita sendiri tetap berdiri saat semua berlutut dan sebaliknya. Ada proses kepatuhan di sana. Dan itu dilakukan terus-menerus sampai masuk ke ubun-ubun, sampai tubuh pun patuh dengan sendirinya. Sampai, seperti di saat habis misa malam Natal lalu di MBK, kakak perempuan saya berusaha melawan arus orang-orang yang mau keluar gereja lantaran ia lupa tidak mengambil air suci di depan pintu dan membuat tanda salib. Memprihatinkan! Semua diawali dengan tanda salib pembuka dan mesin berhenti dengan tanda salib penutup.

Otomatisasi demikian membuat orang patuh. Kalau tidak diwaspadai, sistem atau liturgi kayak ini menjadi mesin-mesin impersonal yang secara tidak kasat mata mengatur dinamika kesadaran dan tubuh orang-orang di dalamnya. Sangat memprihatinkan, bagi saya. Pada taraf ini, saya menganalogikan Gereja seperti mesin kepatuhan ala Nazi Hitler. Semua digerakkan dalam satu komando dan dibuat otomatis. Bahkan, dalam ruang-ruang tertentu, kita tidak boleh bersuara lain. Kalau pun bersuara lain, hendaknya di luar sistem atau kalau apes ya diekskomunikasi (tidak sejalan dengan Gereja yang berkomunikasi) . Belum dengan model-model penyeragaman (liturgi dsb). Semua ada sistem kontrolnya (tanpa kita sadari) dan uniknya Gereja memakai bahasa-bahasa religius yang membuai dan meninabobokkan kesadaran kritis orang. Bagi saya, liturgi Gereja telah mengkhianati dirinya sendiri.

Liturgi yang diulang-ulang ini bagi saya menjadi mesin kepatuhan otomatis. Orang menjadi mudah patuh dan diatur, entah diatur oleh mesin buatannya sendiri atau orang-orang yang memunyai otoritas atas mesin itu [hierarki]. Sampai tubuh pun dibuat patuh (jengkeng, berlutut, berdiri, dsb). Kenapa tidak kita ubah? Apa inti dari liturgi itu sendiri? Ekaristi sebagai perayaan inti harus dipegang. Yang lain diubah yang lebih manusiawi dan partisipatif. Liturgi yang mendukung orang-orang untuk saling kenal, saling berbagi pengalaman, saling menjumpai, dan akhirnya dipuncakkan dalam perayaan perjamuan makan Ekaristi. Ekaristi dijadikan sebagai ruang di mana orang-orang benar-benar bisa bersyukur atas hidupnya, perjumpaan dengan saudara-saudaranya, dan sebagainya. Bukan sebaliknya, misa menjadi ruang orang-orang tidak dikenal, hanya menonton, mendengar, makan, dan pulang tanpa makna. Emang, kelihatan susah banget mengadakan perubahan dan kreativitas dalam liturgi Gereja. Harus izin ke otoritas di atasnya (romo paroki-uskup- Vatikan). Uihhh, ini jelas-jelas menyiratkan gaya-gaya komando ala fasis dalam Gereja Katolik. Lebih parah lagi, orang senang menikmati mesin religius ini. Bahkan, berlomba-lomba menghias mesin-mesin ini dengan bunga-bunga indah, dan lupa akan yang inti. Yesus yang disampaikan dalam liturgi adalah Yesusnya orang-orang Romawi, bukan Yesus yang hadir di Indonesia (minimal Asia). Waduh, tanpa sadar, aku ikuti gaya dan sistem bangsa lain neh....Dan inkulturasi pun berjalan dengan setengah hati.

Siapa yang bikin aturan? Siapa Vatikan? Siapa Hierarki? Siapa Uskup? Siapa Paus? Semua aturan adalah buatan manusia dan penghuni Vatikan adalah manusia. Sama seperti kita dan saudara-saudara semua. Mengapa kita begitu patuh, tunduk-tunduk, manggut-manggut dengan sistem buatan kita sendiri. Mengapa ada orang-orang yang sama dengan kita yang mengklaim dirinya memunyai otoritas (wewenang khusus) berhak mengatur sikap doa kita. Mengapa kita berhak mengatur diri kita sendiri. Aku sendiri yakin ada kepentingan politis dari Gereja Katolik dengan sistem, liturgi, macam ini. Siapa yang sebenarnya kita ikuti: Gereja atau Yesus sendiri???? Aku memilih mengikuti yang kedua.

He he he he...itu dulu deh...itu baru sebagian dari catatanku tentang Gereja Katolik...belum dengan pengalaman-pengalam an masa remaja di mana aku merasa dibodohi oleh Gereja Katolik sendiri.....serial lengkap ada di dalam laptopku.... Yeahhh, Rome sweet TOMB....

salam,
Musafir Muda
....yang senantiasa mengingatkan diri sendiri: "Ingat Mus, hidupmu tidak hanya ngebahas soal gereja saja. Hidupmu harus kamu isi juga dengan sastra, puisi, cultural studies, filsafat, sosiologi, musik, dan sebagainya dan sebagainya. Hidupmu jauh lebih luas daripada pelataran Gereja...."

Pangan: Bukan Keprihatinan Seremonial

MINGGU lalu, dalam artikel berjudul Dijajah Lewat Pangan, Penulis membeberkan bahwa masalah pangan adalah masalah struktural. Pangan bukan sekadar masalah perut kosong, melainkan lebih pada sistem produksi dan distribusi yang tidak layak dan tidak adil. Nah, karena masalah ini adalah masalah struktural, maka dibutuhkan gerakan-gerakan yang benar-benar menjawab akar persoalan itu.

Banyak sekali kegiatan dan gerakan kita selama ini hanya sebatas keprihatinan seremonial saja. Apa yang dimaksud dengan keprihatinan seremonial? Maksudnya, kita hanya menunjukkan keprihatinan kita sebatas seremoni atau upacara saja. Sifatnya hanya insidental saja. Kita tidak pernah menggali akar dari keprihatinan itu. Kita lebih sering menseremonikan hari-hari dengan tema peringatan itu. Misalnya, hari buruh internasional. Di mana-mana kita membicarakan tentang buruh, berkhotbah tentang buruh di atas mimbar, tulisan-tulisan tentang buruh terbit di mana-mana, seminar tentang perburuhan diadakan di berbagai tempat. Kita tidak pernah membuat program yang lebih berjangka panjang dan menjawab persoalan buruh.

Pada Hari Perempuan, kita mengungkapkan keprihatinan dengan misa untuk kaum perempuan, berpakaian dengan kebaya, paduan suara ibu-ibu, petugas tata tertib misa semua perempuan, lomba masak-memasak, bazar, dan sebagainya. Tapi, kita tidak pernah melihat akar keprihatinan pada dunia perempuan. Kemudian menjawabnya dengan program-program yang tepat, program yang menyadarkan, memberdayakan, dan mengoptimalkan peran-peran perempuan di berbagai ranah.

Pada Hari Pangan Sedunia (HPS) 2006, kita bisa jadi masih terjerembap dalam keprihatinan seremonial ini. Kita mengadakan misa khusus terkait dengan HPS ini. Tak jarang, di HPS ini, Gereja mengadakan beragam program-program yang seremonial saja. Misalnya saja bagi-bagi sembako, bagi-bagi nasi bungkus pada anak-anak jalanan, mengadakan bazar makanan rakyat, dan sebagainya. Program-program itu hanya bersifat insidental dan sementara saja. Setelah acara itu, masalah pangan tetap saja terjadi. Kelaparan ada di mana-mana. Para petani dan produsen makanan rakyat tetap terpinggirkan dan tergencet oleh korporasi-korporasi rakus dan makanan-makanan industri.

Bagi-bagai nasi bungkus pada anak jalanan sangat jelas kesementaraannya. Hari ini dibagi, besok sudah lapar lagi. Model-model karitatif ini jelas tidak menjawab persoalan. Ini hanya tambal sulam saja. Gaya-gaya kesalehan ala Sinterklas selayaknya mulai ditinggalkan. Gaya Sinterklas jelas bukan gaya tepat untuk menunjukkan keprihatinan yang sejati, yang menjawab persoalan. Lebih parah lagi, kita sudah merasa puas dengan apa yang kita lakukan itu. Seolah-olah, kita sudah benar-benar turut prihatin pada saudara-saudara kita yang tertindas dan terpinggirkan dalam hal pangan ini. Padahal, apa yang kita lakukan ini belum menjawab apa-apa terhadap akar persoalan.

Sebenarnya tidak tepat menggunakan istilah perayaan Hari Pangan. Alasannya, apa yang mau kita angkat dari HPS ini adalah keprihatinan atas penderitaan saudara-saudara kita dalam hal pangan. Jelas, tidak etis kita merayakan penderitaan orang lain dan menjadikannya ajang pemuasan hasrat batin untuk membantu orang lain. Sementara, kita tidak (mau) menggali akar keprihatinan. Akibatnya, kita membuat program yang tatarannya permukaan (superfisial) saja dan hanya sampai pada taraf itu saja.

Tak jarang, kita memahami hidup menggereja sekadar liturgis karitatif saja dan bukan gerakan sosial. Sekali-kali, baik kalau kita membuat program yang memunyai napas panjang (long term), tujuan jelas, monitoring, dan menjawab akar persoalan. Lebih-lebih, tema HPS 2006 adalah PEMBERDAYAAN PANGAN MASYARAKAT. Nah, saatnya kita menciptakan program-program yang sifatnya memberdayakan dan bukan sebaliknya memperdayai. Program-program bergaya sinterklas di atas memang dimaksudkan baik, tetapi ini bisa menjadi kounterproduktif yang menciptakan ketergantungan dan ketidakberdayaan baru.

Pemberdayaan bisa kita lalukan pertama-tama kalau kita mampu menangkap akar masalahnya. Program-program alternatif yang bersifat jangka panjang dan memberdayakan, antara lain membuat paguyuban para produsen makanan tradisional, membentuk koperasi, membentuk jejaring yang bertujuan untuk memberdayakan petani dan pedagang, membentuk paguyuban petani dan nelayan, membuka ruang advokasi hukum untuk para petani, nelayan, dan pedagang, membuka kursus memasakan masakan sehat dan bergizi, membentuk kelas-kelas kewirausahaan (entrepreneurship), pendidikan kesadaran pangan dan lingkungan, membuka ruang untuk membantu marketing hasil-hasil olahan pangan masyarakat, menyelenggarakan berbagai pelatihan (berorganisasi, bernegosiasi, analisis sosial, menyusun gerakan, dan sebagainya), membuka paguyuban pemenuhan (klinik) gizi bagi perempuan dan anak-anak, membuka kantin yang mengundang masyarakat kecil untuk berpartisipasi, dan sebagainya. Intinya, program-program ini semakin menguatkan posisi para saudara-saudara kita yang menjadi korban ketidakadilan pangan untuk kembali memperoleh hak-haknya.

Penyadaran melalui pendidikan akan persoalan pangan menjadi sangat penting, bahkan untuk kalangan anak-anak dan remaja. Karena persoalan pangan terkait dengan pengembangan sumberdaya alam, anak-anak remaja dan sekolahan bisa diperkenalkan dunia pertanian dan lingkungan hidup lewat beragam cara. Misalnya, sekolah mengadakan kebun sekolah dan mengajak para siswa untuk menanam tatanam pangan atau mengajak anak menanam bibit-bibit pohon di lingkungan sekolah. Selain itu, mengajak anak-anak menyadari bahaya makanan-makanan industri yang kadang mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan.

Melalui program-program pemberdayaan ini, bisa kita lihat kesejatian dari hidup menggereja itu. Menggereja dalam konteks keprihatinan sosial tidak berhenti sebatas apa yang kita berikan, tetapi apakah yang kita berikan itu memberdayakan masyarakat atau tidak. Gereja benar-benar menjadi komunitas kesaksian dan keselamatan bila ia mampu mengangkat harkat orang-orang di dalamnya dan di sekitarnya. Paroki kita dari kacamata luar sering dipandang sebagai paroki kaya. Tapi, jangan kita menutup mata, bahwa di berbagai sudut paroki, masih ada banyak penganggur, orang yang lapar, orang miskin, orang sakit, anak putus sekolah, dan sebagainya.

Nah, bagaimana Gereja kita ini bisa hadir sebagai rahmat keselamatan bagi orang-orang itu?
Saatnya, kita menjawab dengan program-program yang menjawab akar persoalan bukan model-model sinterklas lagi, lalu berpuas diri. Bukan dengan program-program tambal sulam yang hanya memuaskan diri kita sendiri. Seolah-olah kita berbakti kepada Allah dengan membantu orang miskin tertindas, padahal tidak! [diterbitkan di Warta Minggu, 15 Oktober 2006]