Friday, 19 January 2007

Maria Maria Pemberontak

OKTOBER adalah bulan Maria. Di bulan ini, biasanya orang berbondong-bondong menyerbu tempat-tempat ziarah, gua-gua Maria yang terserak di mana-mana. Bahkan, saking antusiasnya, banyak Gereja yang ramai-ramai membangun gua-gua Maria yang baru, seolah-olah gua-gua itu belum mencukupi untuk melampiaskan hasrat rohaninya. Tur-tur ziarah Maria baik domestik maupun mancanegara berbiak bak jamur di musim hujan, lengkap dengan perlombaan iklan di media massa. Berlomba seakan tempat-tempat yang mereka iklankan menjadi tempat paling mujarab untuk menerima rahmat dari Bunda Kristus itu. Akibatnya, kadang menjadi tidak jelas, antara ziarah sejati, rekreasi, gengsi, dan bisnis.

Setiap kali ditampilkan dalam renungan, Maria senantiasa digambarkan sebagai sosok perempuan yang taat, saleh, religius, beribadah, pengasuh, penolong, sehingga dijuluki sebagai Bunda Gereja, Perempuan Mulia, Bunda Penebus, dan sebutan penghormatan lainnya. Tapi, jarang Maria ditampilkan sebagai sosok pemberontak. Sosok yang menjadi inspirasi bagi segala perjuangan melawan bentuk penindasan, kemapanan, ketidakadilan, sekaligus ketidakadilan gender. Nah, Penulis mencoba menawarkan renungan alternatif atas sosok Maria, sebagai Bunda Pemberontak. Tidak hanya Maria Bunda Yesus saja, melainkan sosok-sosok Maria lain dalam Gereja dan masyarakat yang memunyai spirit yang sama, yakni spirit pemberontakan.

Spirit pemberontakan Maria terlihat kental dalam Kidung Maria, Magnificat Anima Mea Dominum, Jiwaku Memuliakan Tuhan. Magnificat sering dipakai Gereja dalam doa-doa harian. Doa ini menjadi ringkasan iman dan kepercayaan Maria pada Tuhan. Dalam Women’s Bible Commentary, penulis Jane Schaberg mengartakan Magnificat sebagai nyanyian pembebasan, baik pembebasan personal, sosial, moral, maupun ekonomi. Bagi Schaberg, ini merupakan catatan revolusioner dari jiwa seorang bernama Maria.

Dalam Kidung itu, Maria menyebut diri yang berbahagia, yang mengalami Allah sebagai Sang Juru Selamat, yang melihat Allah telah melakukan karya-karya besar, dan melihat rahmat Allah dicurahkan pada setiap orang yang takut padaNya. Selain itu, Maria menyakini Allah sebagai Sang Pembebas dari persoalan sosial yang melilit Bangsanya. “Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa,” kata Maria.

Spirit di atas jelas merupakan spirit pemberontakan. Spirit yang tanggap pada pembebasan dari ketidakadilan, kecongkakan, kekuasaan tidak adil, kelaparan, dan keserakahan. Beberapa episode dalam Injil menceritakan Maria sebagai seorang perempuan yang kuat, tegas, dan berani bersuara, termasuk kepada Puteranya sekalipun (bdk. Pesta di Kana). Ia menjadi perempuan yang setia di Jalan Salib Yesus yang adalah jalan pembebasan. Memang, tidak banyak bab yang menceritakan Maria. Tapi, sangat logis, bahwa karakter Yesus dibentuk oleh didikan Maria, ibu-Nya. Karakter yang tegas, berani, solider dengan yang miskin dan tertindas, penuh jiwa kenabian, punya jiwa pemberontak adalah karakter yang tidak lepas dari didikan Maria sendiri. Sudah lumrah, pendidikan seorang ibu memengaruhi karakter pada anak-anaknya.

Nah, dari Kidung Maria itu, tampak jiwa Maria sebenarnya. Dia bukan sosok yang pasif, suka mengurung diri, lemah, apatis pada situasi sosial, dan tidak berani bersuara. Maria senantiasa menampilkan diri sebagai sosok yang kuat. Dan ini sangat dominan di zaman itu, di mana budaya patriarkis sangat kental. Budaya di mana peran perempuan dipinggirkan di berbagai ranah sosial, baik agama, ekonomi, sosial, maupun politik.

Apakah ada sosok Maria lain yang memunyai spirit yang sama? Spirit pemberontakan juga ditampakkan oleh Maria, saudara Marta. Kisah Maria dan Marta sering direnungkan dalam tema doa dan kerja. Tapi, Penulis melihat kisah ini sebagai kisah revolusioner. Saat menyambut Yesus di rumahnya, Maria menampilkan diri sebagai sosok yang berani menjadi diri sendiri. Ia menjadi si pemberani yang melawan tradisi. Pada zaman itu, perempuan dilarang menyambut rabi di ruang tamu. Ruang tamu adalah ruangnya laki-laki dan dapur adalah ruangnya perempuan. Urusan perempuan sebatas lingkup domestik. Dan perempuan tidak boleh bercakap dan berbicara dengan tamu-tamu di rumahnya. Tapi, Maria yakin di depan Yesus, ia bebas memilih yang terbaik bagi dirinya sendiri, bebas dari ketakutan melawan tradisi. Maria sempat ditegur Marta. Tapi, Maria tetap dalam pendiriannya dan Yesus malah membenarkan sikap Maria sebagai pilihan terbaik. Itulah spirit pemberontakan Maria, saudara Marta.

Adakah sosok-sosok Maria di zaman sekarang? Ada dan banyak. Banyak perempuan-perempuan perkasa dan pejuang keadilan sosial dan kesetaraan gender di antara belantara perempuan yang suka bersolek, arisan, ngrumpi sana-sini, jalan-jalan, dan sebagainya. Tidak semua perempuan memunyai jiwa feminis, bahkan sebaliknya sangat berjiwa patriarkis. Seolah-olah perempuan memang ditakdirkan di bawah laki-laki. Gereja juga memunyai banyak wadah organisasi perempuan. Tapi, apakah wadah ini benar-benar menjadikan perempuan kritis, cerdas, berdaya, sekaligus mau berjuang? Atau, sebaliknya, wadah ini hanya sekadar perpanjangan dapur saja, di mana perempuan hanya sibuk dengan persoalan domestik? Lebih parah menjadi wadah eksklusif istri-istri yang tidak bekerja dari suami-suami mapan dan melupakan perempuan-perempuan yang bekerja keras membanting tulang untuk ikut menanggung beban keluarga? Apakah wadah ini benar-benar menjadi wadah pembebasan dan bukanya menjadi perangkap dan belenggu baru bagi perempuan?

Nah, banyak hal yang bisa kita timba dari spirit pemberontakan Maria ini. Tidak hanya bagi kaum perempuan, tetapi semua orang. Misalnya, semangat untuk tidak berdiam diri dalam kenyamanan dan kemapanan, tidak bersikap masa bodoh terhadap persoalan sosial, berani menjadi diri sendiri, berani membela kebenaran, jujur, berani bersuara kritis, berani tampil beda demi kebaikan, berani bergerak, rendah hati sekaligus menjadi pribadi pendoa yang senantiasa mengandalkan rahmat Allah.

Penulis bermimpi bahwa Kidung Maria ini akan menjadi kidung bersama orang-orang yang memimpikan perubahan. Tak ada perubahan bisa terwujud kalau kita tidak berani meninggalkan segala bentuk kemapanan saat ini. Gereja membutuhkan spirit Maria, spirit pemberontakan! [diterbitkan di Warta Minggu, 10 Oktober 2006]

Thursday, 18 January 2007

Seri Nota Pastoral 2006: Kemiskinan Bukan Takdir!

SEBUAH keluarga miskin di Muara Angke, Jakarta Utara, pernah diwawancarai wartawan dari sebuah TV swasta tentang kelangkaan minyak tanah. Bukan tanpa sengaja wawancara itu terjadi. Wartawan itu memilih mewancara kelompok warga miskin dan marjinal di sudut metropolitan sebagai kelompok yang paling menanggung beban berat dari kelangkaan minyak tanah itu. Keluarga itu pun melontarkan keluhan. Ada satu potong curahan hati yang cukup menganggetkan. “Yah, mungkin ini sudah takdir kami sebagai orang miskin selalu diombang-ambingkan situasi. Tapi, kami sudah biasa,” ungkap salah satu anggota keluarga.

Ungkapan jujur di atas sungguh menarik untuk dicermati. Ada banyak tafsiran atas ungkapan itu. Pertama, ungkapan keputusasaan atas kemiskinan yang menimpanya sehari-hari. Kedua, kemiskinan yang seolah tidak bisa ditanggulangi itu sudah menjadi takdir atas hidupnya. Artinya, kemiskinan dianggap sebagai takdir yang tidak boleh digugat. Orang lahir, hidup, dan mati dalam lingkaran kemiskinan. Pertanyaan kritisnya, apa benar kemiskinan adalah takdir?

Mari kita cermati fenomena di Irian Jaya. Irian Jaya dikenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan alam melimpah. Di sana ada hutan sebagai sumber kayu. Ada tambang emas dan tembaga. Nama Irian Jaya juga dikenal di mata internasional. Pertanyaannya, mengapa di wilayah yang begitu kaya dengan kekayaan alam itu, banyak dari masyarakatnya yang mengalami kemiskinan, keterbelakangan, busung lapar, dan kematian? Sebuah ironisme bak tikus yang mati di lumbung padi. Pertanyaan berikutnya, dikemanakan hasil pengolahan semua kekayaan alam tadi? Nah, dari sini, kita bisa melihat ada sebuah tata kelola ekonomi yang timpang dan tidak adil.

Di wilayah itu, ada berbagai perusahaan pengolahan kekayaan alam. Salah satu yang terkenal adalah perusahaan raksasa asing PT. Freeport yang mengolah tambang emas, tembaga, dan batubara. Emas dikenal sebagai penghasil triliunan uang. Namun, uang itu masuk ke kantong siapa saja? Yang jelas, uang itu masuk ke kantong perusahaan dan pemerintah dan bukan untuk sebagian masyarakat sana sebagai pemilik sah wilayah itu. Di tengah gelimangnya uang, banyak masyarakat yang mati kelaparan. Sementara itu, alam sebagai habitat mereka kian lama kian rusak. Hutan ditebangi dengan ilegal. Bumi dikeruk tanpa ampun. Sebuah fenomena keserakahan manusia.

Kita tahu, pengelolaan sumberdaya alam adalah bagian dari ekonomi. Kita sepakat bahwa tujuan dari ekonomi adalah KESEJAHTERAAN BERSAMA. Artinya, kegiatan ekonomi bertujuan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Namun, bila kita kaitkan dengan fenomena di atas, pengelolaan sumberdaya alam tadi justru jauh dari cita-cita kesejahteraan bersama. Pembangunan ekonomi di Irian Jaya hanya ditujukan untuk kesejahteraan kelompok tertentu saja dan bukan untuk mayoritas masyarakat Irian Jaya. Yang terjadi, justru Jakarta, Amerika, dan wilayah-wilayah di luar Irian Jaya yang menikmati hasil kekayaan alam itu.

Nota Pastoral (NP) 2006 dengan tajuk “Habitus Baru: Ekonomi Berkeadilan” melihat adanya ketidakadilan dalam tata kelola ekonomi di Indonesia. Ini sebuah keprihatinan. NP 2006 menangkap sebuah ironi bahwa kesejahteraan bersama masih jauh dariu kenyataan di tengah Republik yang kaya raya ini. NP 2006 mengajak seluruh umat untuk mencermati gejala kesenjangan itu. Tujuannya, mencari jalan bagaimana kegiatan ekonomi dapat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh bangsa Indonesia.

Kasus Irian Jaya adalah salah satu contoh bagaimana pembagian rezeki yang tidak adil. Irian Jaya adalah contoh gamblang bagaimana kesejahteraan bersama diabaikan. Mengapa ini bisa terjadi? Mari kita melakukan analisis sosial secara sederhana. Di Irian Jaya, ada banyak rezeki. Tapi, bagaimana pembagian rezeki itu ditentukan? Pembagian rezeki ditentukan oleh aturan permainan yang ada. Di sana, ada sistem dan struktur pembagian rezeki. Sistem atau aturan main ini dibuat oleh kekuasaan. Rumusan singkatnya: kekuasaan menentukan aturan permainan dan aturan permainan menentukan pembagian rezeki.

Tampak jelas, ada aturan pembagian rezeki yang tidak adil di Irian Jaya. Aturan main itu dibuat oleh kekuasaan, baik pemerintah maupun para pemilik modal (perusahaan). Perselingkuhan antara pemerintah dan perusahaan ini sebenarnya menyiratkan bahwa uanglah yang memegang kekuasaan dan menentukan aturan permainan. Ambisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoklah yang mendorong dibuatnya aturan main itu. Nah, masyarakat Irian Jaya yang pada dasarnya tidak memunyai kekuasaan, harus mengikuti aturan main yang tidak adil itu. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di daerah penuh kekayaan itu terpaksa tidak bisa menikmati kekayaannya sendiri. Bahkan, mati karena ketiadaan kekayaan.

Uang benar-benar menjadi berhala. Uang inilah yang diperebutkan. Pemerintah yang seharusnya mengayomi dan menyejahterakan masyarakat justru berselingkuh dengan pasar (bisnis). Ujung-ujungnya adalah uang dan keuntungan. Pemerintah yang seharunya melakukan pelayanan publik (public service) mengubah haluannya menjadi pelayanan modal (profit service). Akibatnya, kesejahteraan bersama diabaikan. Bahkan, sering telanjang di depan mata, aparat keamanan yang seharunya melindungi masyarakat justru bertugas menjaga kepentingan perusahan-perusahaan. Banyak kasus di mana militer dan polisi menjadi penjaga perusahaan-perusahaan besar. Militer dan polisi justru berbalik menjadi ‘anjing-anjing penjaga’ perusahaan dan siap menerkam siapa saja yang menganggu perusahaan itu. Di Irian Jaya, berapa masyarakat warga yang mati di tangan militer dan polisi hanya karena ingin menyuarakan kepentingan mereka yang dilibas oleh perusahaan?

Nah, ada beberapa pertanyaan reflektif buat kita. Paroki kita dikenal sebagai paroki kaya dan penyumbang kolekte sangat besar di KAJ. Di paroki, banyak orang-orang kaya yang pegang banyak perusahaan dan memunyai banyak karyawan. Jangan dilupakan juga, di sudut-sudut paroki, masih banyak wajah kemiskinan. Paroki juga dipenuhi oleh orang-orang miskin, orang-orang urban, dan berekonomi pas-pasan. Nah, apakah kita sudah memperlakukan karyawan dengan adil dan manusiawi? Apakah kita benar-benar melakukan bisnis demi kesejahteraan bersama dan bukan sekadar keuntungan pribadi? Mungkin banyak uang dan derma yang kita sumbangkan buat rumah Tuhan, tapi apakah kita juga benar-benar berderma bagi saudara-saudara kita yang miskin? Apakah sistem di perusahaan atau di paroki kita sungguh-sungguh mengacu pada kesejahteraan bersama? Nah, kalau ada sistem atau aturan main yang tidak adil, mari kita ubah sistem dan aturan itu. Tentunya, dengan melibatkan para karyawan dan masyarakat.

Mungkin kita sudah merasa berderma banyak dan mencintai Tuhan, tapi seberapa besar kita mencintai sesama kita? Ingat, orang hanya bisa mencintai Allah yang tidak kelihatan kalau ia pun mampu mencintai sesamanya yang kelihatan. Mari wujudkan kesejahteraan bersama! [diterbitkan di Warta Minggu, 21 Januari 2007]

Seri Nota Pastoral 2006: Komitmen Gereja Untuk Si Miskin

"Bila aku memberi lauk pauk kepada orang miskin, aku disebut sebagai orang kudus. Tapi, ketika aku mempertanyakan mengapa mereka miskin, aku dituduh komunis."

[Uskup Dom Helder Camara, Brazil]

KISAH memilukan akibat kemiskinan tak pernah hengkang dari hadapan kita. Belum lekang dalam memori kita, kisah Supriono, seorang pemulung pengusung mayat anaknya di jalanan ibukota. Alkisah, Supriono pada sebuah siang yang gerah, tertatih menarik gerobak sampahnya. Wajahnya pucat dan duka menghiasi mukanya yang hitam dan berdebu. Tubuhnya yang tirus tampak sempoyongan. Tatapannya nanar nir pengharapan. Ia baru kehilangan Khaerunisa, 3 tahun.

Khaerunisa meninggal dunia lantaran muntaber. Gadis cilik ini mati karena minimnya uang pengobatan. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas. Saya tak punya uang untuk membawanya ke sana lagi, meski cuma Rp4.000. Saya hanya seorang pemulung kardus, gelas, dan botol plastik," kata Supriono seperti dituliskan sebuah harian ibukota.

Uang saku pemulung yang tiap hari tinggal di kolong perlintasan rel KA Cikini itu tinggal Rp6.000. Ia tak kuat membeli kain kafan, apalagi menyewa ambulan. Akhirnya, ia meletakkan jenazah anaknya di gerobaknya yang kotor dan bau. Murizki, anaknya yang lain berusia 6 tahun, duduk dekat adiknya dan mengira adiknya sedang tidur. Tubuh Khaerunisa dibalut kain sarung kumal. Kepalanya dibiarkan terbuka agar orang tidak curiga. Supriono menyeret gerobaknya dari Manggarai menuju Stasiun Tebet. Ia berencana menguburkan anaknya di kampung pemulung Kramat, Bogor.

Di stasiun Tebet, ia berniat naik KRL. Tapi, polisi memergokinya. Setelah mengatakan hal sebenarnya, polisi pun menyarankan jenazah anaknya dibawa ke RSCM untuk diotopsi. Padahal Supriono ingin segera menguburkan anaknya di Bogor. Tapi, Supriono hanya bisa duduk pilu dan tersedu menanti surat permintaan pulang dari RSCM. Sore hari, surat keluar. Lagi-lagi karena tidak punya biaya, ambulan tidak jadi disediakan rumah sakit. Supriono kembali mengendong jenazah anaknya dengan jalan kaki. Orang-orang yang iba padanya memberinya sedekah sekadar untuk ongkos ke Bogor.

Memilukan. Kata yang tepat melukiskan kisah tragis di atas. Supriono hanyalah satu dari jutaan orang kecil miskin yang tidak mengakses layanan publik. Ia menderita karena miskin. Ia tidak diperhatikan karena ia seorang pemulung. Ia tidak mendapatkan pelayanan memadai karena ia tidak memunyai uang. Sangat pantas jika ada ungkapan satiris yang mengatakan "orang miskin dilarang sekolah" atau "orang miskin dilarang sakit."

Kisah Supriono bisa dijadikan pisau analisis pada kehidupan bersama kita. Di tengah negeri yang bergelimangan kekayaan, mengapa masih banyak orang miskin dan kelaparan? Di tengah pembangunan kota dengan gedung-gedung jangkung, mengapa masih ada penghuni kolong-kolong jembatan? Di tengah digalakkanya perekonomian rakyat, mengapa masih ada pedagang-pedagang kecil yang digusur oleh aparat dan digencet oleh pusat-pusat belanja yang mengepung dari segala arah? Di tengah menjamurnya lembaga pendidikan, mengapa masih ada orang kecil yang tidak bisa sekolah? Fenomena ini menandakan ada sesuatu yang salah dalam tata kehidupan publik selama ini.

Dalam konteks kehidupan seperti itulah, Gereja Indonesia kembali menerbitkan Nota Pastoral (NP) 2006 bertajuk "Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan." NP 2006 ini merupakan kelanjutan dari NP 2003 berjudul "Keadilan Sosial Bagi Semua" dan NP 2004 berjudul "Keadaban Publik:Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya." Nah, Warta Minggu akan menyajikan gagasan NP 2006 ini dalam edisi serial. Edisi kali ini lebih memaparkan secara umum gagasan NP 2006 ini.

NP 2006 menawarkan diri sebagai bahan pembelajaran dan penghayatan iman dalam dimensi sosial-ekonomi. Praksis iman tidak bisa dilepaskan dari hidup sosial ekonomi. NP 2006 merupakan refleksi Gereja Katolik Indonesia atas tata kelola ekonomi Indonesia. Ekonomi yang idealnya bertujuan untuk kesejahteraan bersama, pada kenyataannya hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja.

Ada enam bab yang membingkai gagasan NP 2006. Setelah pengantar, NP memaparkan wajah real sosial ekonomi Indonesia. Misalnya, orang miskin yang mencapai 108, 78 juta, semakin minimnya sumber daya produktif rakyat, meledaknya pengangguran, jumlah anak putus sekolah, kurang gizi, busung lapar, kejahatan, dan sebagainya. Wajah kemiskinan yang telanjang ini hadir berdampingan dengan penumpukan kekayaan sekelompok orang yang memamerkannya tanpa kepedulian. Ada kesenjangan sosial.

Ada banyak penyebab kesenjangan sosial. Pertama, komersialisasi di berbagai bidang. Segala sesuatu diuangkan dan diperjualbelikan. Mekanisme pasar merangsek ke berbagai lini. Akibatnya, hanya orang-orang yang berduit yang bisa mengakses pelayanan, barang, dan jasa. Kedua, kebijakan publik cenderung berpihak pada yang kaya lantaran yang posisi pembuat kebijakan justru dikuasai oleh uang. Ketiga, ciri ambigu globalisasi. Globalisasi selain menyuguhkan kemudahan-kemudahan sekaligus memunculkan risiko, keterpurukan, kemiskinan, dan penindasan baru. Keempat, kesenjangan budaya. Hal ini sangat kentara dalam masyarakat perkotaan.

Pola untung rugi memengaruhi cara berpikir masyarakat sekarang. Segala tindakan lebih diarahkan pada pengerukan keuntungan dan kekayaan pribadi ketimbang demi kesejahteraan bersama.

Ke depan, Gereja mau mewujudkan komitmennya. Gereja ingin terlibat dalam usaha mendorong pemerintah dan pengelola pasar untuk membangun kembali tata ekonomi yang adil, khusunya dalam memberdayakan ekonomi warga. Gereja mendorong orang-orang kecil untuk berani memberdayakan didirnya. Gereja mengajak semua pihak untuk memikirkan dan melibati usaha mencapai kesejahteraan bersama. Gereja juga menawarkan berbagai prioritas gerakan dan langkah-langkah strategis sambil mengoptimalkan potensi yang ada.

Paroki adalah bagian dari Gereja yang hidup di tengah realitas masyarakat dengan wajah kemiskinan di sana. NP 2006 bisa kita jadikan cermin dan semangat gerakan. Jangan-jangan mentalitas bisnis (uang) juga masuk dalam pola dan sistem menggereja kita? Jangan-jangan paroki kita yang lagi bergiat membangun gedung gereja telah meminggirkan orang-orang kecil dan miskin di dalam dan di sekitarnya? Jangan-jangan hanya orang-orang berduit saja yang bisa mengakses layanan optimal di paroki kita? Semoga fenomena konkret di paroki kita tidak memancing ungkapan satiris baru: "orang miskin di larang menggereja" atau "prang miskin dilarang menggunakan fasilitas gereja". Untuk kita renungkan. [diterbitan di Warta Minggu, 14 Januari 2007]

Sujud di Depan Katedral Layar Kaca



“Televisi membawa pembunuh ke rumah di mana televisi berada.”
[Alfred Hitchcock]

SALAH satu anggota keluarga yang tidak pernah dianggap sebagai anggota keluarga tetapi memunyai daya pengaruh dahsyat adalah televisi. Hampir di setiap rumah tangga teronggok benda yang bernama televisi. Entah itu di ruang tamu, ruang kerja, maupun ruang tidur. Benda inilah yang lebih sering dipelototi, lebih didengarkan, digubris, ketimbang anggota keluarga lainnya. Rumah tangga belum lengkap bila belum ada pesawat televisi. Tidak hanya di perumahan mewah dengan model pesawat yang canggih, tetapi juga di tengah belantara masyarakat kecil, televisi teronggok di rumah-rumah mereka. Televisi memang sudah menjadi kebutuhan. Sejak kelahirannya di abad ke-19, televisi menjadi sebuah pembuka babak baru kehidupan masyarakat dunia. Di Indonesia, televisi mulai beroperasi sejak tahun 1962 dengan TVRI sebagai stasiun tunggal. Perkembangan teknologi telah menyulap sosok televisi ini menjadi benda yang paling diminati, paling berpengaruh, sekaligus paling berbahaya.

Televisi hadir dan berkontribusi dalam Revolusi Komunikasi dunia. Ia sempat dipuja-puja sebagai media penyaji hiburan yang murah. Kehadiran televisi seolah melipat dunia. Ruang dan waktu telah dimampatkan. Berita meninggalnya Augusto Pinochet di Chile sana sudah bisa dinikmati di rumah sebuah keluarga di pojok Kebon Jeruk hanya selang beberapa menit. Bahkan, pada pentahbisan Ratzinger menjadi penguasa tertinggi Tahkta Suci Vatikan, sebuah keluarga di kompleks Tosiga bisa menyaksikan siaran langsung berkat televisi. Lebih jelas lagi saat berlangsung final Piala Dunia 2006, Italia melawan Prancis. Dengan televisi yang dihubungkan proyektor, ratusan orang kumpul di aula MBK yang dengan riuh menonton tim jagoannya bertanding. Stadion Olympia Berlin seolah dilipat dan dicabut dan dihadirkan lagi di aula.

Hampir tidak ada hari tanpa bersentuhan dengan tabung ajaib ini. Bangun pagi, sambil sarapan tangan sudah memencet remote control dan nyalah televisi dengan rubrik berita atau dakwah pagi. Setelah itu, hampir tidak ada matinya untuk televisi entah siapa saja yang gantian memelototinya. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kita. Televisi seakan menjadi katedral layar kaca milik orang-orang modern. Di sana orang berkumpul, duduk, melihat, dan mendengar ‘kotbah-kotbah’ yang dilontarkan televisi. Saking istimewanya, diam-diam tabung ajaib itu sering lebih kita perhatikan dan dengarkan ketimbang anggota keluarga lainnya.

Kalau kita sadar, televisi memberikan imbas luar biasa bagi kehidupan kita. Kehadirannya yang masih dan gayanya yang kapitalistik telah membius alam kesadaran kita. Kita baru terjaga saat ada suatu kejutan yang disebabkan televisi menghentak kehidupan kita. Ambil contoh, kasus program smack down. Masyarakat protes saat terjadi kekerasan hingga kematian di lingkungan anak-anak yang mempraktikkan adegan ini. Pemerintah pun sigap melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera melarang program smack down. Para orangtua menjadi lebih hati-hati dalam memerhatikan kehidupan anak-anak mereka. Dengan melihat akibat negatif ini, rasanya kita perlu lebih memperhatikan anggota keluarga yang satu ini.

Televisi juga bisa digambarkan sebagai hipermarket, di mana orang bisa gonta-ganti channel seturut kebutuhan dengan sangat mudah. Dan televisi menyediakan beragam menu untuk dinikmati. Dari berita sampai info selebriti. Dari olahraga sampai kuis. Dari film sampai reality show, dan sebagainya. Belum ditambah dengan rentetan iklan yang muncul di sela-sela program acara.

Benda favorit ini layak kita waspadai! Mengapa? Selain kemajuan, ada banyak pengaruh buruk yang ditularkan televisi ke dalam alam kesadaran kita, khususnya dalam keluarga. Tanpa kemampuan mengambil jarak dengan sikap kritis, televisi memunyai kemampuan membius, membohongi, dan melarikan pemirsanya dari kenyataan hidup. Televisi memunyai daya manipulatif yang besar.

Berbagai macam jenis program hiburan seperti infotainmen, sinetron, kuis, reality show, dan sebagainya memunyai potensi memanipulasi. Ditambah dengan serangan tiada henti iklan yang terus-menerus diputar dan secara tidak sadar memberi konstruksi baru di dalam otak kita dalam memandang realitas. Di samping itu, televisi lebih sering menyuguhkan program-program yang mengeksploitasi masyarakat. Jangan lupa bahwa program-program televisi masuk dalam industri media di mana industri itu tidak bisa dilepaskan dari pencarian keuntungan bagi para pemilik saham. Sayangnya, televisi yang diharapkan menjadi media edukasi, hiburan sehat, dan kritik sosial malah menjadi alat pembodohan dari para pebisnis media.

Tak jarang, acara televisi berjarak dengan realitas sosial masyarakat yang ada. Gaya hidup yang hedonis dan konsumtif tak terasa membentuk pola dan mental para pemirsanya. Sinetron-sinetron yang mengusung gaya metropolis ini ikut andil dalam menyebarkan virus-virus hidup konsumtif. Sementara, iklan-iklan terus menerus membius pikiran kita untuk tergoda menuruti apa kemauannya. Kita dipaksa untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Tetapi, karena iklan itu terus-menerus ‘meneror’ kita, akhirnya kita tak berdaya dan terbujuk untuk mengamini apa kemauannya. Sementara itu, iklan juga sering menawarkan logika yang jungkir balik dan cenderung diskriminatif. Salah duanya adalah kecantikan dan kebahagiaan. Kecantikan versi iklan adalah yang berkulit putih dan rambut lurus. Kebahagiaan keluarga akan terpenuhi jika sudah ada mobil mewah ngendon di garasi atau memunyai rumah bagus dan sebagainya. Ingat, pengaruh televisi ini seperti obat bius, pelan tapi menghanyutkan.

Pemikir Prancis Jean Baudrillard menyebut masyarakat sekarang sebagai masyarakat konsumsi (consumer society). Tindakan konsumsi menjadi yang diagung-agungkan. Hal ini masih didukung dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah. Sekarang orang lebih suka membeli barang-barang demi sebuah prestige (gengsi), mode, ketimbang memenuhi kebutuhan real dan fungsinya. Iklan-iklan telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang semu.

Tak disangkal juga, televisi sering menyuguhkan program-program yang mengangkangi akal sehat. Sebut saja, program-program yang mengkomersialisasikan tema-tema religius, mistis, maupun hantu. Tema-tema ini cenderung membodohi ketimbang mengajak pemirsa cerdas. Agama diposisikan sebagai otoritas tertinggi yang bisa menghakimi tindak-tanduk manusia. Perilaku yang culas dan jahat pasti akan diakhiri dengan kisah tragis dan mengerikan. Demikian juga tema-tema hantu yang sungguh melecehkan akal sehat manusia.

Belum lagi dengan tontonan infotainmen yang hanya mengumbar kisah gebyar selebriti yang dipenuhi dengan kisah kawin dan cerai. Belum lagi kisah-kisah yang melecehkan ruang privat dengan balutan isu-isu yang belum tentu kebenarannya. Sementara itu, pogram sinetron yang sudah punya jam siar dari pagi sampai malam, bisa membawa pemirsa pada kehidupan yang tidak real. Cerita-cerita yang mengharubirukan emosi pemirsa membuat tokoh-tokoh rekaan dalam sinetron seolah-olah hadir dalam kenyataan. Akibat buruknya, orang lebih mengenal dan berempati dengan tokoh-tokoh rekaan sinetron ketimbang kenal dan berempati dengan tetangga samping rumah. Belum dengan kehidupan mewah dan berkelimpahan yang sangat berjarak dengan realitas hidup pemirsa yang serba bermasalah. Banyak hiburan televisi yang tidak solider dengan kondisi masyarakat. Sayangnya, masyarakat senang menikmatinya. Tak sadar kalau hiburan itu juga seperti candu yang hanya menghibur sesaat dan semakin mengasingkan pemirsa dari hidup nyata, termasuk dengan dirinya sendiri.

Sudah layak dan sepantasnya kita memerhatikan peranan televisi di rumah kita. Mendiang Yohanes Paulus II sendiri pernah menengaskan bahwa media dapat memberi dampak amat buruk pada keluarga ketika ia menawarkan visi yang tidak layak dan bahkan terdistorsi atas hidup, keluarga, agama, dan moralitas.

Oleh karenanya, saatnya keluarga berperan dalam pendidikan media kepada para anggotanya. Kembalikan kebebasan keluarga dalam mengontrol televisi dan bukannya televisi mengontrol dan menyetir kehidupan keluarga. Jangan biarkan televisi menjadi soft terorism yang mengancam keutuhan dan kebahagiaan keluarga. Ini menjadi panggilan keluarga Katolik masa kini.

Ingat, katedral sejati hadir di dalam rumah tangga, dan bukan televisi!

Wednesday, 17 January 2007

Surat Terbuka Buat Seorang Pastor

Sahabatku X,

KUBUKA JENDELA kamarku minggu pagi pukul tujuh. Tirai coklat kusibak. Desir angin pagi nan segar merangsek masuk. Menerpa wajahku yang masih manyun lantaran aku memilih membaca dua buku ketimbang tidur dan merajut mimpi lebih awal. Angin yang sama mengusap pelan istriku. Membuatnya terjaga sejenak, menggeliat, dan tertidur lagi. Di luar, sinar matahari mengusap pucuk-pucuk pohon milik tetangga. Terdengar riuh suara perempuan yang berpapasan di jalan depan rumah. Itulah pagi pertama yang kulihat hari itu. Tentu, pagimu di Inggris sana pasti jauh lebih indah. Aku bayangkan, saat kau membuka jendela, pemandangan jauh lebih indah. Mungkin saja salju atau gerimis kecil, lampu-lampu kota yang belum lama padam, suara lonceng dari sebuah gereja, derap langkah kolegamu, kidung gregorian dari sebuah ibadat pagi atau gaduhnya suara merpati berebut makanan. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku berharap pagimu sungguh indah di sana.

Sahabat, aku sengaja tidak memanggil dirimu dengan kata 'romo' seperti biasanya. Aku lebih senang memanggilmu sebagai sahabat, sahabat yang memunyai namanya sendiri. Toh, aku juga tidak begitu suka dengan kata itu. Bukannya aku tidak mau menghormatimu yang notabene adalah seorang pastor muda. Pasti kita sepakat, seseorang dihormati bukan lantaran gelarnya atau jubahnya, entah itu profesor atau romo sekalipun. Toh bukan gelar atau jubah yang menyucikan pastor, tapi sebaliknya. Apalagi, kata itu, menurutku, sering membuat orang berperilaku munafik. Tidak jujur. Baik bagi yang menyandangnya maupun orang-orang di sekitarnya. Gelar itu yang lebih sering mengatur perilaku dan hidupnya di depan orang-orang, ketimbang nuraninya. Kata itu pula yang sering memicu orang untuk tidak otentik dan bertopeng. Kata itu juga suka membuat orang oportunis, menjadi para penjilat di depannya. Dan mereka bertebaran di lingkungan gereja kita. Jangan marah karena aku memanggilmu tanpa gelar itu. Aku hanya ikut-ikutan Yesus sendiri yang memanggil para muridNya sebagai sahabat. Tidak ada lagi tuan. Tidak ada lagi budak. Kita sejajar sebagai sahabat.

Sahabat, aku menyapamu dalam surat ini dengan kata 'jendela.' Yah, ini terkait dengan dua surat kita. Kamu malah mempertanyakan "apakah Gereja memunyai jendela memangnya?". Tidak tahukah kamu bahwa kata 'jendela Gereja' adalah sebuah metafor. Aku yakin, sebagai pastor, kamu juga paham kata-kata itu. Metafor 'jendela' itu sangat populer untuk merujuk pada dibukanya Konsili Vatikan II (1962-19654) oleh Yohanes XXIII yang kemudian diteruskan oleh Paulus VI. "Bukalah jendela lebar-lebar" atau sering disebut aggiornamento merupakan jargon Gereja saat itu untuk melakukan pembaruan. Membiarkan angin segar dunia masuk dan Gereja tidak beku dan sumpek lagi. Semua itu sekadar metafor dari mimpi-mimpi pelaku konsili. Gereja mulai membuka diri dan ramah pada dunia. Dan kita tahu, Konsili Vatikan II telah melahirkan dokumen-dokumen yang cukup progressif, khususnya buat Gereja Katolik sendiri. Gereja mulai bicara soal kebebasan, HAM, demokrasi, peranan awam, keadilan sosial, dan sebagainya. Duh, sebuah titik sejarah yang pantas dikenang. Sampai-sampai, kita lebih senang mengagung-agungkan titik sejarah itu dan melupakan bahwa sebenarnya Gereja sendiri masih setengah hati menjalankan 'proyek' Konsili Vatikan II itu. Aku sendiri menyebutnya dengan "jendela yang setengah terbuka."

Sebagai orang yang menjadi Katolik selama 20 tahun, aku sendiri memberanikan diri tenggelam dalam kegelisahan iman, kegelisahan intelektual, dan kegelisahan hatiku. Curah hatiku yang sudah aku kirim jauh-jauh hari itu adalah ungkapan jujur diriku. Aku tidak lagi memandang Gereja sebagai yang absolut kudus, absolut satu, tidak tersentuh oleh kritik dan masukan, dan sebagainya. Tapi, geli juga melihat tanggapan berjibun dari para sahabat di milis ini. Sebagian besar menilai negatif atas kejujuranku itu sampai lupa pada pembahasan pokok-pokok persoalan yang aku lontarkan. Aku malah menduga, jangan-jangan ini adalah bukti nyata produk-produk kepatuhan dari mesin religius yang membuat orang cepat-cepat mencap jelek orang yang melontarkan kritik dan membela mati-matian institusi/hal yang dikritik, ketimbang memperhatikan dengan jujur isi dari kritikannya. Duh, fenomena yang sangat memprihatinkan bagiku. Gak tahu juga, apakah ini adalah produk 'pembodohan' yang tidak kita sadari selama ini? Aku juga heran, apakah selama menggereja, mereka tidak menemukan pergulatan-pergulat an sepertiku? Aku setuju dengan opini dari seorang sahabat milis, bahwa pertanyaan-pertanya an itu juga pernah kita alami semua. Tapi, bisa jadi karena gengsi, takut dianggap tidak kristiani, takut dianggap krisis iman, merasa berdosa, tidak pantas, dan sebagainya, orang-orang itu tidak berani jujur. Aku malah semakin meyakini kalau memang fenomena ini yang terjadi, inilah keberhasilan dari 'mesin kepatuhan' itu sehingga membuat orang tidak berani jujur dengan dirinya sendiri dan membuatnya merasa bersalah jika menilai sistem dari 'mesin' itu tidak sesuai dengan hatinya. Bisa jadi, gereja adalah kumpulan orang-orang munafik, orang-orang takut. Munafik dan takut dengan dirinya sendiri.

Sahabat, kamu dan para sahabat lain, mencoba menyadarkan aku dengan mempertanyakan lagi siapa sebenarnya yang disebut dengan Gereja? Perlu diperjelas, apakah Gereja yang dimaksud adalah hierarki dengan barisan para klerusnya atau semua umat (kita-kita ini). Kalimat terakhir yang kamu tulis "dandani diri sendiri maka kita memperbaruhi Gereja." Kamu juga menyarankan aku untuk bersikap realistis pada Gereja. Duh, sebuah ajakan bijak yang luar biasa bijak. Ajakan memperbarui dari diri sendiri. Bagiku, Gereja memang kita semua, tetapi Gereja juga BUKAN kita semua. Justru, aku menyarankan kamu yang harus realistis dalam memandang Gereja ini. Selama ini, siapa yang masih memunyai otoritas untuk mengatur, memberi kebijakan, membuat hukum, membuat tata aturan, membuat liturgi, membuat dogma, mengarahkan, mewajibkan, mengajak, mengatur kontrasepsi, dan sebagainya? Kalau kamu benar-benar realistis, yang mengatur Gereja selama ini adalah hierarki dengan barisan para klerus yang laki-laki itu. Gak bisa disangkal, Vatikan masih berperan mengatur hidup dan tata ibadat kita. Gereja adalah kita dan sekaligus juga Gereja BUKAN kita. Kita masih tergantung pada struktur yang punya daya cukup kuat dan pengaruh itu masuk ubun-ubun kita sampai dibuatnya sedemikian patuh. Bahkan, tubuh-tubuh kita pun ikutan patuh.

Perubahan dimulai dari diri sendiri, bagiku adalah dalam taraf pertobatan personal, hidup pribadi yang lebih baik, manusiawi, dan bertanggung jawab. Tetapi, perubahan atas sistem dan struktur tidak bisa dilakukan oleh diri sendiri. Ini menyangkut otoritas yang menjalankan dan membuat sistem atau struktur itu. Namun, aku belajar banyak dari Luther (sosok yang kamu pandang sebelah mata itu). Bagiku, gerakan dia justru berawal dari perubahan diri sendiri. Ia protes, ia mengkritik, dan ia mengubah sendiri sikapnya terhadap Gereja Katolik. Ia menjadi orang yang tidak taat lagi. Kemudian, berkat mesin cetak Guttenberg, ide-ide kritisnya disosialisasikan ke banyak orang. Orang-orang yang sependapat akhirnya bergabung. Muncullah apa yang namanya ketidaktaatan sipil (civil disobedience). Nah, ketidaktaatan sipil inilah yang aku maksud dalam metafor "badai Katrina" yang suatu saat bisa datang dan meruntuhkan struktur Gereja itu sendiri, justru kalau otoritas sekarang yang berwenang tidak mengadakan perubahan.

Menurut opini pribadiku, Gereja jelas-jelas setengah hati dalam melakukan pembaruan diri. Bahkan, dalam level tertentu, Gereja tampak mengalami inkonsistensi. Tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Gereja berkoar-koar soal demokrasi, komunitas basis, keadilan jender, penghormatan HAM dan suara itu begitu indah dan merdu didengarkan di luar. Tapi, aku sendiri menilainya hanya retorika di luar saja. Setengah hati bila ditatapkan dengan realitas di dalam Gereja sendiri. Gereja tidak mengoreksi struktur dan sistemnya: apakah struktur dan sistem selama ini sungguh mengantarkan Gereja sendiri pada cita-cita mulianya itu? Termasuk di sini sistem-sistem yang diberlakukan dalam tata ibadat (liturgi).

Gereja di satu sisi menggencarkan penghormatan pada perempuan, penolakan segala bentuk kekerasan pada perempuan, dan kesetaraan jender. Tapi, apakah Gereja benar-benar menjalankan itu dengan sepenuh hati? Tidak. Gereja belum menghormati perempuan dalam tataran struktural, Gereja masih menghormati perempuan sebatas supporting system saja, Gereja juga belum menghormati perempuan dalam tataran teologis. Bagaimana mungkin perempuan-perempuan Gereja menjalankan ajaran mengenai diri dan ketubuhannya dari ajaran-ajaran yang dirumuskan laki-laki yang mengklaim diri tidak kawin itu? Gereja begitu menghormati Maria Ibu Yesus, tapi Gereja tidak pernah dengan sungguh-sungguh menghormati keperempuanannya dan Maria-Maria lain yang bertebaran di dalam Gereja sendiri. Di benakku, ini sebuah inkonsistensi Gereja Katolik. Aku sendiri senang dan setuju dengan gerakan pastor perempuan tertahbis yang sudah bergulir di beberapa negara ini. Gereja senantiasa berdalih dengan tradisi. Tapi, bagiku tradisi itu bukan membawa masa lampau ke dunia sekarang, tetapi selalu berdialog secara dialektis dengan zaman dan perkembangan kesadaran manusia. Tradisi adalah suatu yang memperbarui diri.

Gereja menjunjung HAM. Tapi, dalam taraf tertentu, ia seperti mesin Fasis yang mencampuri ruang privat manusia di dalamnya. Sampai-sampai mencampuri urusan pemakaian alat kontrasepsi sebagai pembatasan kelahiran dengan dalih moralitas. Tapi, Gereja juga seakan masih buta melihat realitas keluarga-keluarga di dunia ketiga yang masih bergumul dengan persoalan kemiskinan dan kelaparan. Termasuk juga dengan penyakit AIDS yang fenomenal itu. Bagiku, moral yang ditawarkan Gereja bukan moral yang mendengarkan.

Dan masih banyak bentuk-bentuk inkonsitensi dari Gereja Katolik sendiri. Termasuk soal peranan awam dan komunitas basis. Di sana, sistem dan struktur sering membuat peranan awam dan proses pembentukan komunitas basis ini malah berjalan di tempat dan tidak berjalan optimal. Lantaran terlalu birokratis. Termasuk dalam liturgi Gereja yang bagiku sih masih kaku, dingin, dan tidak fleksibel untuk sebuah kreativitas. Lebih parah lagi, seperti yang sering aku sebut, ini menumbuhkan kepatuhan semu (baik hati, pikiran, dan tubuh). Aku hanya mengingatkan saja bahwa kekakuan dan kepatuhan religius ini bisa menumbuhkan kesalahan-kesalahan fatal. Misalnya saja, lahirnya budak-budak ajaran (pokoknya hidup adalah apa yang dikatakan Gereja dan segala aturannya). Kemudian juga bisa melahirkan praktik ibadat yang kekanak-kanakan (infantilisme) . Dalam infantilisme, orang lebih senang merengek-rengek dalam doa, merayu-rayu Tuhan, senang memosisikan diri dibimbing dan enggan bertanggung jawab. Ada juga konformisme yang membuat orang merasa aman dan nyaman dalam keseragaman dan mematikan potensi-potensi diri sendiri sehingga matilah kedirian. Orang lebih senang menjadi nobody ketimbang somebody. Bisa jadi, Gereja dalam praktik ibadatnya justru tidak membuat orang-orang menjadi berdaya (berjiwa merdeka), tetapi sebaliknya memasung dan menjadikan mereka menjadi pribadi-pribadi tak berwajah dan suka mimikri (kayak bunglon).

Sahabatku, X. Kamu memandang sebelah mata sosok Luther dan Leonardo Boff. Sejauh aku tahu, mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai pembaharu Gereja. Bahkan, istilah Reformasi Protestantisme sendiri bukan istilah Luther sendiri, tapi istilah dari ahli sejarah Gereja untuk menandai peristiwa penting itu. Kamu menganggap istilah "Protestantisme" sebagai sebuah istilah yang tidak terlalu enak didengar. Bagiku, yang tidak enak didengar itu justru istilah korupsi dalam Gereja, penilapan uang pembangunan Gereja, jual-beli sakramen, pedofilia dari para pastor Katolik, dan sebagainya.

Aku sendiri menyukai Luther dan sikap kritis dan keberaniannya, meski beberapa ajarannya aku sendiri tidak sependapat. Aku sangat senang dengan isi kritiknya. Justru kita belajar banyak darinya bahwa Gereja Katolik sendiri pernah melakukan hal-hal nista: menjual surat pengampunan dosa untuk membayar utang dalam pembangunan Basilika St. Petrus, menakut-nakuti orang dengan istilah dosa dan hukuman neraka, menyimpan gundik-gundik dan pelacur di kolong-kolong biara, menyatakan Gereja (dan paus) tidak pernah sesat, menghalalkan darah tak berdosa, jadi mesin kekerasan, mesin kemunafikan, dan sebagainya. Keberanian menggumuli pergulatan dan keprihatinannya itulah yang aku sukai dari diri Martin Luther. Dan pintu kapel Wettenberg itu pun menjadi saksi kejeniusan Luther.

Leonardo Boff hampir mirip. Ia ikut melahirkan Teologi Pembebasan bersama Gustavo Gutierrez. Sebuah teologi untuk menjawab teologi Vatikan yang mandul dan ompong. Ia dikenal sebagai pendukung gerakan-gerakan sayap kiri, suka membentuk komunitas-komunitas basis, aktif berjuang soal HAM, ia menjadi pengkritik pada peranan-peranan Gereja Katolik yang ikut mendukung sistem ekonomi yang menindas komunitas, dan sebagainya. Justru, aku sendiri berterimakasih pada Boff karena semakin memelekkan diriku akan sejatinya hidup menggereja. Itulah, kadang aku melihat gerakan yang dimulai Jesus, si gembel dari Nazaret itu justru jauh dipermiskin oleh apa yang namanya Gereja Katolik seperti sekarang ini. Kasihan, Yesus diperosokkan dalam penjara-penjara buatan Gereja...

Kadang, aku merasa heran dengan diri kamu. Kamu seorang pastor yang beruntung bisa menikmati pendidikan tinggi di luar negeri. Kamu belajar filsafat dan teologi. Aku salut dan iri tentang itu. Namun, aku membayangkan kenapa kamu masih memandang hitam putih fenomena Luther dan Boff, belum Hans Kung. Aku sendiri membayangkan, orang yang semakin tinggi pendidikannya justru bisa memandang fenomena tidak hitam putih, tetapi menyeluruh (wholly). Realitas dipandang dari seribu satu mata. Aku heran apakah ketika kamu mempelajari lika-liku dan labirin filsafat dan teologi, kamu benar-benar mengalami pergulatan. Bagiku, filsafat membantuku untuk berani bergulat dan berani memasuki lika-liku hidup yang kompleks ini. Atau kamu sebenarnya memunyai beban sehingga kamu tidak berani masuk dalam pergumulan itu hanya lantaran kamu seorang pastor, seorang anggota ordo yang ditugasi belajar oleh provinsial, dan sebagainya? Apakah kamu juga tidak pernah bergulat tentang hidup dalam Gereja Katolik sendiri? Sama seperti ketika kamu mengumuli keraguan dan pergulatan panggilan imamatmu? Aku berharap kamu menjadi seorang pembelajar sejati yang berani menjadikan ilmu-ilmu yang kamu dapatkan untuk menggumuli hidupmu sendiri. Di sanalah, letak keindahan hidup karena kita berani jujur dengan diri kita sendiri. Aku sendiri senang memegang kata-kata Thomas Aquinas dalam mundo et caelo: "Belajar filsafat itu tidak hanya mengetahui apa yang dipikirkan dan diperkarakan para filsuf, tetapi bagaimana kebenaran-kebenaran perkara itu digulati." Kata-kata Aquinas ini pernah aku pajang di meja belajarku saat aku masih di Kolese Hermanum lalu. Tapi, aku senantiasa dukung kamu dalam proses studimu. Bagiku, belajar adalah kegiatan sangat mulia. Jujur, dalam sepotong kejujuranku, aku iri padamu karena kamu bisa mengenyam pendidikan di sana. Tapi, semangatku untuk mencecap dan memamah buku-buku tidak bakalan sirna.

Sahabat, mungkin kegelisahan ini tidak akan sampai terdengar di jendela Vatikan nun jauh di sana. Mungkin aku laksana seekor semut yang kepanasan di lapangan St. Petrus dan Paus pun tidak mampu memandang diriku dari balik jendela kamarnya. Tapi, aku percaya, kelak akan ada semut-semut yang berduyun-duyun dan menggoyang kemapanan Gereja, tempatnya bertakhta dan memerintah. Tinggal menunggu waktu. Dan dari kesenyapan, suara itu sudah bisa didengar.

Itu dulu ya. Sori banget kalau suratku panjang. Semua yang aku tulis ini adalah ungkapan kejujuranku. Aku hanya mengajakmu untuk menjadi manusia pemberani untuk masuk dalam ketakutan-ketakutan dan pergulatan. Dan bukannya menghindari dengan bersembunyi dalam institusi Gereja yang menjadi sebuah zona kenyamanan tersendiri. Semoga apa yang kamu baca dan dapatkan dari meja kuliah dan dialog dengan profesor-profesor kawakan di sana, semakin menjadikan dirimu otentik. Jadilah manusia merdeka! Itulah pesan Yesus. Olok-olokannya: Christ, Yes! Chruch, No!!!!

Aku minta maaf jika ada kata-kata yang menyinggung. Ini sebuah kejujuranku. Ngomong-omong, bagaimana dengan kabar London? Apa yang kamu lihat ketika kamu membuka jendela kamarmu di pagi hari? Aku bermimpi suatu saat aku akan pergi dan belajar di sana dan melihat seperti yang kamu lihat, hue he he...

salam sejuta jendela,
Musafir Muda
* Sahabat Yesus Kristus & sahabatmu

Surat: Rome Sweet Tomb

Sahabatku,

MENARIK merenungi kehidupan Gereja dengan tajuk "Rome Sweet Home". Ada suatu yang berbeda dengan kesan para sahabat tentang Gereja Katolik. Dulu, Gereja Katolik sungguh memesona diriku, aku berhutang banyak darinya karena lewat Gereja aku bisa diperkenalkan dengan Sahabatku, Yesus Kristus. Tapi, waktu berjalan dan umurku bertambah. Sebaliknya, aku merasakan keterpesonaan itu semakin lama semakin pudar. Justru, ketika aku sedang giat-giatnya melibati apa yang namanya Gereja. Bermalam-malam aku dibuatnya gelisah. Dan jemariku tidak tahan untuk mencoretkannya dalam baris demi baris refleksiku atas Gereja Katolik. Bahkan, aku dibuatnya insomnia dan tidak bisa tidur. Pernah pada dini hari, aku sempat terjaga dan membangunkan istriku dan membisikkan ke telinganya: "Gereja itu seperti mesin pembunuh ala Fasisme Hitler." Sesekali, kubagikan beberapa keping kegelisahan ini ke beberapa sahabat lewat ponselku. Sementara aku menulis dan terus menulis. Sudah banyak lembar.

Sudah 20 tahun (sejak SD kelas IV) aku resmi hidup dalam Gereja Katolik sebagai orang Katolik. Banyak suka duka yang aku alami. Aku semakin menyadari bahwa Yesus bukanlah Gereja dan Gereja bukanlah Yesus. Sehingga aku tidak perlu mengikuti Gereja untuk mengikuti Yesus karena pada taraf kesadaran tertentu kiprah Gereja sendiri sangat berbeda dengan kiprah Yesus yang selama ini aku kenal. Nah, ketika para sahabat di milis ini mendiskusikan Rome Sweet Home, jujur hatiku kok tidak sependapat.

Ada beberapa poin yang aku bagikan lewat nukilan dari catatanku:

1. Bagiku, Gereja masih setengah hati menjalankan ajaran dan seruan-seruan moralnya sendiri. Gereja sendiri tidak loyal dengan dirinya sendiri. Seperti yang aku kisahkan dalam diskusi Kafe Socrates. Aku bilang perbincangan ketidakadilan gender dalam Gereja tidak akan habis kalau tidak menyinggung masalah struktural. Keadilan jender harus juga diwujudkan dalam keadilan struktural. Dengan demikian harus ada perombakan struktur. Tidak hanya soal jender, tapi apa pun. Coba lihat apakah struktur atau sistem yang kita hidupi selama ini mendukung. Termasuk itu komunitas basis, demokrasi, akuntabilitas, dan sebagainya. Demokrasi, keadilan jender, komunitas basis dan sebagainya itu aku anggap sebagai anggur-anggur baru (buah-buah kesadaran baru), tetapi apakah itu ditempatkan dalam wadah yang baru (apakah struktur kita mendukung?). Kalau tidak mendukung kenapa kita tidak berani mengubah? Kalau tidak, kita berjalan setengah hati. Jangan-jangan susahnya menggalakkan komunitas basis bukan lantaran orang-orangnya apatis atau ndableg, melainkan sistem/struktur gereja sendiri tidak mendukung ke arah sana? Bagiku, Gereja itu pandai di wacana dan refleksi dan suka melempar itu semua ke dunia, tetapi Gereja yang membarui diri cuman setengah hati. Siapa tahu struktur selama ini justru membatasi gerak langkah kita. Coba bayangkan kita berdiri di tanah lapang. Kita akan bergerak bebas ke sana kemari dan pandangan kita bisa luas, seluas arah mata angin. Tapi, coba ketika lapangan itu ditumbuhi dengan tiang-tiang pancang, ditumbuhi tembok pembatas, gerakan kita akan terbatas dan jangkauan pandang kita juga terbatas. Mari kita menilik sejenak struktur dan sistem kita. Ingat, struktur dibuat untuk manusia dan manusia untuk struktur.

2. Liturgi Gereja Katolik (yang aku jumpai) menjadikan umat sekadar penonton. Lebih-lebih dengan TPE yang baru di mana keterlibatan umat semakin dipotong habis. Umat hanya sekadar penonton, pendengar yang baik. Padahal inti/puncak perayaan liturgi adalah Ekaristi. Menurut pemahamanku Ekaristi adalah panggilan melibati dengan cara mengenangkan Yesus yang mengorbankan dirinya. Tapi, liturgi ini justru memberi keterjarakan dengan pesan dari Ekaristi sendiri yakni keterlibatan. Hampir satu setengah jam kita seperti dilemparkan dalam tontonan. Masih ditambah dengan kotbah-kotbah yang kadang hanya mengulang-ulang cerita Kitab Suci dan basi. Liturgi kita masih terkesan kaku dan beku. Itu saja belum dengan fenomena otomatisasi yang terjadi selama di dalam gedung gereja. Kita seperti kerumunan massa tanpa wajah. Duduk bergerombol tetapi tidak saling kenal. Mengenal nama pun tidak. Habis itu kita seperti mesin (tanpa kita sadari): duduk, berlutut, duduk berlutut, berdiri, duduk lagi yang kadang tidak kita ketahui untuk apa???? Sementara rutinitas ini membuat rasa canggung dan bersalah jika kita sendiri tetap berdiri saat semua berlutut dan sebaliknya. Ada proses kepatuhan di sana. Dan itu dilakukan terus-menerus sampai masuk ke ubun-ubun, sampai tubuh pun patuh dengan sendirinya. Sampai, seperti di saat habis misa malam Natal lalu di MBK, kakak perempuan saya berusaha melawan arus orang-orang yang mau keluar gereja lantaran ia lupa tidak mengambil air suci di depan pintu dan membuat tanda salib. Memprihatinkan! Semua diawali dengan tanda salib pembuka dan mesin berhenti dengan tanda salib penutup.

Otomatisasi demikian membuat orang patuh. Kalau tidak diwaspadai, sistem atau liturgi kayak ini menjadi mesin-mesin impersonal yang secara tidak kasat mata mengatur dinamika kesadaran dan tubuh orang-orang di dalamnya. Sangat memprihatinkan, bagi saya. Pada taraf ini, saya menganalogikan Gereja seperti mesin kepatuhan ala Nazi Hitler. Semua digerakkan dalam satu komando dan dibuat otomatis. Bahkan, dalam ruang-ruang tertentu, kita tidak boleh bersuara lain. Kalau pun bersuara lain, hendaknya di luar sistem atau kalau apes ya diekskomunikasi (tidak sejalan dengan Gereja yang berkomunikasi) . Belum dengan model-model penyeragaman (liturgi dsb). Semua ada sistem kontrolnya (tanpa kita sadari) dan uniknya Gereja memakai bahasa-bahasa religius yang membuai dan meninabobokkan kesadaran kritis orang. Bagi saya, liturgi Gereja telah mengkhianati dirinya sendiri.

Liturgi yang diulang-ulang ini bagi saya menjadi mesin kepatuhan otomatis. Orang menjadi mudah patuh dan diatur, entah diatur oleh mesin buatannya sendiri atau orang-orang yang memunyai otoritas atas mesin itu [hierarki]. Sampai tubuh pun dibuat patuh (jengkeng, berlutut, berdiri, dsb). Kenapa tidak kita ubah? Apa inti dari liturgi itu sendiri? Ekaristi sebagai perayaan inti harus dipegang. Yang lain diubah yang lebih manusiawi dan partisipatif. Liturgi yang mendukung orang-orang untuk saling kenal, saling berbagi pengalaman, saling menjumpai, dan akhirnya dipuncakkan dalam perayaan perjamuan makan Ekaristi. Ekaristi dijadikan sebagai ruang di mana orang-orang benar-benar bisa bersyukur atas hidupnya, perjumpaan dengan saudara-saudaranya, dan sebagainya. Bukan sebaliknya, misa menjadi ruang orang-orang tidak dikenal, hanya menonton, mendengar, makan, dan pulang tanpa makna. Emang, kelihatan susah banget mengadakan perubahan dan kreativitas dalam liturgi Gereja. Harus izin ke otoritas di atasnya (romo paroki-uskup- Vatikan). Uihhh, ini jelas-jelas menyiratkan gaya-gaya komando ala fasis dalam Gereja Katolik. Lebih parah lagi, orang senang menikmati mesin religius ini. Bahkan, berlomba-lomba menghias mesin-mesin ini dengan bunga-bunga indah, dan lupa akan yang inti. Yesus yang disampaikan dalam liturgi adalah Yesusnya orang-orang Romawi, bukan Yesus yang hadir di Indonesia (minimal Asia). Waduh, tanpa sadar, aku ikuti gaya dan sistem bangsa lain neh....Dan inkulturasi pun berjalan dengan setengah hati.

Siapa yang bikin aturan? Siapa Vatikan? Siapa Hierarki? Siapa Uskup? Siapa Paus? Semua aturan adalah buatan manusia dan penghuni Vatikan adalah manusia. Sama seperti kita dan saudara-saudara semua. Mengapa kita begitu patuh, tunduk-tunduk, manggut-manggut dengan sistem buatan kita sendiri. Mengapa ada orang-orang yang sama dengan kita yang mengklaim dirinya memunyai otoritas (wewenang khusus) berhak mengatur sikap doa kita. Mengapa kita berhak mengatur diri kita sendiri. Aku sendiri yakin ada kepentingan politis dari Gereja Katolik dengan sistem, liturgi, macam ini. Siapa yang sebenarnya kita ikuti: Gereja atau Yesus sendiri???? Aku memilih mengikuti yang kedua.

He he he he...itu dulu deh...itu baru sebagian dari catatanku tentang Gereja Katolik...belum dengan pengalaman-pengalam an masa remaja di mana aku merasa dibodohi oleh Gereja Katolik sendiri.....serial lengkap ada di dalam laptopku.... Yeahhh, Rome sweet TOMB....

salam,
Musafir Muda
....yang senantiasa mengingatkan diri sendiri: "Ingat Mus, hidupmu tidak hanya ngebahas soal gereja saja. Hidupmu harus kamu isi juga dengan sastra, puisi, cultural studies, filsafat, sosiologi, musik, dan sebagainya dan sebagainya. Hidupmu jauh lebih luas daripada pelataran Gereja...."

Pangan: Bukan Keprihatinan Seremonial

MINGGU lalu, dalam artikel berjudul Dijajah Lewat Pangan, Penulis membeberkan bahwa masalah pangan adalah masalah struktural. Pangan bukan sekadar masalah perut kosong, melainkan lebih pada sistem produksi dan distribusi yang tidak layak dan tidak adil. Nah, karena masalah ini adalah masalah struktural, maka dibutuhkan gerakan-gerakan yang benar-benar menjawab akar persoalan itu.

Banyak sekali kegiatan dan gerakan kita selama ini hanya sebatas keprihatinan seremonial saja. Apa yang dimaksud dengan keprihatinan seremonial? Maksudnya, kita hanya menunjukkan keprihatinan kita sebatas seremoni atau upacara saja. Sifatnya hanya insidental saja. Kita tidak pernah menggali akar dari keprihatinan itu. Kita lebih sering menseremonikan hari-hari dengan tema peringatan itu. Misalnya, hari buruh internasional. Di mana-mana kita membicarakan tentang buruh, berkhotbah tentang buruh di atas mimbar, tulisan-tulisan tentang buruh terbit di mana-mana, seminar tentang perburuhan diadakan di berbagai tempat. Kita tidak pernah membuat program yang lebih berjangka panjang dan menjawab persoalan buruh.

Pada Hari Perempuan, kita mengungkapkan keprihatinan dengan misa untuk kaum perempuan, berpakaian dengan kebaya, paduan suara ibu-ibu, petugas tata tertib misa semua perempuan, lomba masak-memasak, bazar, dan sebagainya. Tapi, kita tidak pernah melihat akar keprihatinan pada dunia perempuan. Kemudian menjawabnya dengan program-program yang tepat, program yang menyadarkan, memberdayakan, dan mengoptimalkan peran-peran perempuan di berbagai ranah.

Pada Hari Pangan Sedunia (HPS) 2006, kita bisa jadi masih terjerembap dalam keprihatinan seremonial ini. Kita mengadakan misa khusus terkait dengan HPS ini. Tak jarang, di HPS ini, Gereja mengadakan beragam program-program yang seremonial saja. Misalnya saja bagi-bagi sembako, bagi-bagi nasi bungkus pada anak-anak jalanan, mengadakan bazar makanan rakyat, dan sebagainya. Program-program itu hanya bersifat insidental dan sementara saja. Setelah acara itu, masalah pangan tetap saja terjadi. Kelaparan ada di mana-mana. Para petani dan produsen makanan rakyat tetap terpinggirkan dan tergencet oleh korporasi-korporasi rakus dan makanan-makanan industri.

Bagi-bagai nasi bungkus pada anak jalanan sangat jelas kesementaraannya. Hari ini dibagi, besok sudah lapar lagi. Model-model karitatif ini jelas tidak menjawab persoalan. Ini hanya tambal sulam saja. Gaya-gaya kesalehan ala Sinterklas selayaknya mulai ditinggalkan. Gaya Sinterklas jelas bukan gaya tepat untuk menunjukkan keprihatinan yang sejati, yang menjawab persoalan. Lebih parah lagi, kita sudah merasa puas dengan apa yang kita lakukan itu. Seolah-olah, kita sudah benar-benar turut prihatin pada saudara-saudara kita yang tertindas dan terpinggirkan dalam hal pangan ini. Padahal, apa yang kita lakukan ini belum menjawab apa-apa terhadap akar persoalan.

Sebenarnya tidak tepat menggunakan istilah perayaan Hari Pangan. Alasannya, apa yang mau kita angkat dari HPS ini adalah keprihatinan atas penderitaan saudara-saudara kita dalam hal pangan. Jelas, tidak etis kita merayakan penderitaan orang lain dan menjadikannya ajang pemuasan hasrat batin untuk membantu orang lain. Sementara, kita tidak (mau) menggali akar keprihatinan. Akibatnya, kita membuat program yang tatarannya permukaan (superfisial) saja dan hanya sampai pada taraf itu saja.

Tak jarang, kita memahami hidup menggereja sekadar liturgis karitatif saja dan bukan gerakan sosial. Sekali-kali, baik kalau kita membuat program yang memunyai napas panjang (long term), tujuan jelas, monitoring, dan menjawab akar persoalan. Lebih-lebih, tema HPS 2006 adalah PEMBERDAYAAN PANGAN MASYARAKAT. Nah, saatnya kita menciptakan program-program yang sifatnya memberdayakan dan bukan sebaliknya memperdayai. Program-program bergaya sinterklas di atas memang dimaksudkan baik, tetapi ini bisa menjadi kounterproduktif yang menciptakan ketergantungan dan ketidakberdayaan baru.

Pemberdayaan bisa kita lalukan pertama-tama kalau kita mampu menangkap akar masalahnya. Program-program alternatif yang bersifat jangka panjang dan memberdayakan, antara lain membuat paguyuban para produsen makanan tradisional, membentuk koperasi, membentuk jejaring yang bertujuan untuk memberdayakan petani dan pedagang, membentuk paguyuban petani dan nelayan, membuka ruang advokasi hukum untuk para petani, nelayan, dan pedagang, membuka kursus memasakan masakan sehat dan bergizi, membentuk kelas-kelas kewirausahaan (entrepreneurship), pendidikan kesadaran pangan dan lingkungan, membuka ruang untuk membantu marketing hasil-hasil olahan pangan masyarakat, menyelenggarakan berbagai pelatihan (berorganisasi, bernegosiasi, analisis sosial, menyusun gerakan, dan sebagainya), membuka paguyuban pemenuhan (klinik) gizi bagi perempuan dan anak-anak, membuka kantin yang mengundang masyarakat kecil untuk berpartisipasi, dan sebagainya. Intinya, program-program ini semakin menguatkan posisi para saudara-saudara kita yang menjadi korban ketidakadilan pangan untuk kembali memperoleh hak-haknya.

Penyadaran melalui pendidikan akan persoalan pangan menjadi sangat penting, bahkan untuk kalangan anak-anak dan remaja. Karena persoalan pangan terkait dengan pengembangan sumberdaya alam, anak-anak remaja dan sekolahan bisa diperkenalkan dunia pertanian dan lingkungan hidup lewat beragam cara. Misalnya, sekolah mengadakan kebun sekolah dan mengajak para siswa untuk menanam tatanam pangan atau mengajak anak menanam bibit-bibit pohon di lingkungan sekolah. Selain itu, mengajak anak-anak menyadari bahaya makanan-makanan industri yang kadang mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan.

Melalui program-program pemberdayaan ini, bisa kita lihat kesejatian dari hidup menggereja itu. Menggereja dalam konteks keprihatinan sosial tidak berhenti sebatas apa yang kita berikan, tetapi apakah yang kita berikan itu memberdayakan masyarakat atau tidak. Gereja benar-benar menjadi komunitas kesaksian dan keselamatan bila ia mampu mengangkat harkat orang-orang di dalamnya dan di sekitarnya. Paroki kita dari kacamata luar sering dipandang sebagai paroki kaya. Tapi, jangan kita menutup mata, bahwa di berbagai sudut paroki, masih ada banyak penganggur, orang yang lapar, orang miskin, orang sakit, anak putus sekolah, dan sebagainya.

Nah, bagaimana Gereja kita ini bisa hadir sebagai rahmat keselamatan bagi orang-orang itu?
Saatnya, kita menjawab dengan program-program yang menjawab akar persoalan bukan model-model sinterklas lagi, lalu berpuas diri. Bukan dengan program-program tambal sulam yang hanya memuaskan diri kita sendiri. Seolah-olah kita berbakti kepada Allah dengan membantu orang miskin tertindas, padahal tidak! [diterbitkan di Warta Minggu, 15 Oktober 2006]

Gereja Dengan Lidah Terpotong

SAAT tidur siang, aku bermimpi jalan-jalan di sebuah kota. Di tengah kota, ada sebuah bangunan gereja, menjulang tenang dengan keuzurannya. Aku singgah di sekitar gereja untuk sekian waktu. Dan kutemukan keganjilan di sana.

Pada hari Minggu, orang-orang pada kumpul di bangunan yang sudah tua itu. Berbondong-bondong mereka datang, lengkap dengan suami, istri, anak-anak, sampai sopir dan pembantu-pembantunya. Kitab Suci dan buku kidung pujian di tenteng erat dalam dekapan jari-jari mereka. Sungguh pemandangan yang mengagumkan. Di tengah hiruk pikuk metropolis dengan segala napsu birahi dan angkara murkanya, masih ada kumpulan orang yang mau menyembah Tuhan. Padahal, Tuhan sudah lama dibuang di keranjang sampah oleh orang kota.

Tapi, ada yang aneh. Rombongan orang-orang itu tidak saling bicara satu sama lain. Mereka diam. Rupanya mereka tidak bisa ngomong karena lidah-lidah mereka sudah dipotong. Dan kedua lubang telinga mereka ditusuk dengan mata tombak. Darah kering masih meninggalkan jejak. Mereka tidak bisa mendengar.

Di atas mimbar, seorang pastor tua berkotbah dengan suara gagap. Lidahnya sudah dipotong. Demikian juga lektor dan paduan suara, mereka semua gagap dan tidak saling mendengar. Tapi, ibadah itu berjalan lancar. Semua berjalan otomatis. Mereka tidak memedulikan apa yang mereka dengar dan omongkan. Yang penting, saat pastor mengangkat tanda salib pembuka, artinya ibadah dimulai. Lalu, tanda salib penutup artinya ibadah selesai. Mereka juga serentak berlutut, berdiri, maupun duduk lagi. Semua berjalan otomatis. Rutin. Dan mereka melakukannya setiap minggu. Seolah-olah inilah ibadah yang sejati.

Tidak jelas siapa yang memotong lidah-lidah mereka dan oknum mana yang menusukkan mata tombak ke telinga mereka. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Tiap hari, Gereja itu tidak pernah sepi kegiatan. Tapi, sepi dengan komunikasi. Sebab, alat komunikasi mereka sudah raib. Mereka akhirnya hidup dengan simbol-simbol. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Pastornya juga sibuk sendiri. Mereka seperti gerombolan zombie dalam film The Dawn of the Dead.

Gereja itu seperti kuburan, sepi dan terpencil. Mereka tidak bisa lagi mendengar kabar tentang empat desa yang terendam lumpur, Libanon yang porak poranda digempur tentara Israel, bencana gempa, kelaparan, banjir, tanah longsor, perang saudara, dan sebagainya. Mereka juga tidak bisa mendengar kekisruhan di panggung politik. Bahkan, jeritan tetangganya minta tolong saja karena anaknya sakit dan kempesnya kantong atau penggusuran, tidak mereka hiraukan. Mata mereka melihat orang kantor menilap uang perusahaan, tapi mereka tidak bisa menyuarakan kebenaran karena lidah mereka terpotong. Yang mereka tahu cuma ibadah dan puji-pujian tiap minggu. Itu saja. Dasar kumpulan orang autis!

“Prankkk!” seekor kucing berlarian dan memecahkan perabot ruang tamu. Aku terbangun dari mimpi. Dan, astaga! Bukankah itu gambaran habitus lama, orang punya telinga tapi tidak mendengar, dan orang punya mulut tapi tidak berani mewartakan kebenaran? Kadang telinga hati kita tertutup oleh ego, romantisme, dan kesibukan sendiri. Kita sering tidak mendengar jeritan orang di sekitar kita. Dan, kita suka memilih membungkam mulut kita karena kita tidak berani dan enggan menyatakan kebenaran dan kejujuran? Lebih-lebih, kita tidak melakukan apa-apa... [diterbitkan di Warta Minggu, 10 September 2006]

Einstein Menggapai Tuhan

BAYANGKAN saja, bila Albert Einstein duduk termenung di depan altar. Apa yang ia pikirkan tentang Tuhan? Tuhan seperti apakah yang digambarkan Einstein? Seperti bola-bola atomkah? Atau Tuhan yang Maha Absolut itu justru relatif di dalam kaca mata Teori Relativitasnya? Menyandingkan Einstein dengan Tuhan mengingatkan kita pada perseteruan abadi antara Ilmu dan Iman. Sebut saja Fides dan Ratio.

Jauh sebelum Einstein, panggung religius diguncang Charles Darwin (1809-1882) dengan teori evolusinya. Bukunya berjudul The Origin of Species menjadi ikon penolakannya pada teori penciptaan. Ia menolak Tuhan yang menciptakan bumi ini. Darwin pun beroposisi dengan para kaum kreasionis yang memercayai penciptaan seperti dikatakan Kitab Kejadian secara harafiah. Bagi Darwin, entitas di bumi ada karena proses evolusi. Konsep Tuhan telah ia simpan di laci kerjanya. Iman Kristen Darwin semakin jelek dan ia menjadi seorang agnostik.

Seabad kemudian munculah seorang yang mencari relasi antara evolusi dengan Kristianitas. Dialah Teilhard de Chardin (1881-1955). Teilhard adalah ilmuwan sekaligus pastor Jesuit yang mempelajari spesies yang punah. Ia percaya bahwa penciptaan adalah proses evolusi. Baginya, sejarah manusia berkembang menuju puncak yang akan dicapai di dalam Kristus. Kristus disebut sebagai titik Omega. Allah bukannya tidak berubah dan transenden (mengatasi dunia), melainkan aktif sampai sekarang. Allah tidak bisa dilepaskan dari proses evolusi. Tidak semua setuju dengan Teilhard. Buku-bukunya diterbitkan setelah kematiannya.

Bagaimana dengan Einstein? Si jenius berambut gondrong dan acak-acakan ini mencoba memandang Tuhan. Lelaki kelahiran Ulm adalah seorang anak penuh impian yang tidak menunjukkan kejeniusan yang sungguh-sungguh. Penentang Teori Kuantum Max Plank ini menolak pengertian Allah yang bersifat pribadi sejak masa kecilnya. Ia menolak cara membaca Kitab Suci yang fundamentalis.

Meski terkesan sekular, Einstein tak kalah dalam mengkontemplasikan alam. Ia mencoba memosisikan manusia di tengah alam semesta yang penuh misteri ini. Lebih-lebih setelah teorinya disalahgunakan untuk pembuatan bom atom yang memorak-porandakan Hiroshima dan Nagasaki. Kehancuran dua kota di Negara Matahari Terbit itu adalah kehancuran kemanusiaan. Di tengah kegalauan, Einstein menulis “Apa arti sepenuhnya hidup manusia atau hidup organik? Untuk menjawab pertanyaan ini mengandaikan agama…Manusia memandang hidupnya sendiri dan hidup sesama mahkluk sebagai tanpa makna bukan hanya malang, tetapi hampir tidak memenuhi syarat untuk hidup.”

Einstein mengaku dirinya adalah manusia yang sangat religius. Baginya, perasaan religius merupakan pegetahuan akan keberadaan sesuatu yang tak dapat kita terobos. Sebuah eksistensi dari manifestasi dari akal yang paling mendalam dan keindahan paling cemerlang yang hanya digapai oleh budi dalam bentuk paling elementer.

Fisika Einstein berimplikasi pada pemahaman akan Allah. Dalam mendekati alam semesta, pemahaman kita akan Allah harus bersifat kosmik sekaligus personal. Itulah Einstein. Lalu, bagaimana gambaran kita masing-masing tentang Tuhan? Hanya sekadar jeda. Pengisi waktu senggang… [diterbitkan di Warta Minggu, 23 Juli 2006]

Judas Returns


Hampir dipastikan
Injil Yudas tidak ditulis oleh Yudas sendiri



SOSOK kontroversial sejak 20 abad silam kini muncul lagi. Setelah The National Geographic melansir The Gospel of Judas, wacana tentang si pengkhianat Kristus itu pun menyeruak. Bahkan, edisi Indonesia dari Injil Yudas itu sudah diterbitkan pada Juni ini. Di tengah hiruk pergunjingan itu, kejelasan dan pengetahuan yang benar tentang Injil Yudas diperlukan. Sebagai ruang belajar bersama, Kafe Socrates, forum diskusi garapan Sie Komunikasi Sosial Paroki MBK menggelar diskusi bertajuk Buku Putih Sang Pengkhianat, Membaca Injil Yudas pada Minggu pagi (25/6) di ruang Petrus.


Diskusi yang dihadiri sekitar 50 orang ini mengundang J.N. Hariyanto SJ sebagai narasumber. Sebagai pembuka, pastor yang akrab dipanggil Romo Hari ini memberi paparan umum sepanjang sejarah. Menurutnya, Injil Yudas tergolong dalam Injil Gnostik. Khazanah Gnostik merupakan kumpulan tulisan dalam bahasa Koptik yang ditemukan di Nag Hamadi, Mesir. Gnostik lebih cenderung monisme-pantheisme. Dari dokumen bercorak gnostik itu, dikenal beberapa Injil lain, seperti Injil Thomas, Injil Maria, Injil Filipus, dan sebagainya. Yang terkenal adalah Injil Thomas.


Tidak mudah memahami aliran Gnostik ini. Ini merupakan aliran mistik esoterik yang dipercaya secara sinkretis dengan kekristenan oleh pengikutnya. Gnostik berasal dari Gnosis (Yunani), artinya pengetahuan yang diwahyukan pada manusia. Ada tawaran pengetahuan mengenai realitas Ilahi. Mengapa Gereja tidak mengakui injil Gnostik ini? Romo Hari membeberkan perbedaan paham antara ajaran Gnostik dan ajaran Kristen. Misalnya, ajaran Kristen mengatakan dunia merupakan karya cipta Allah secara aktif. Allah berkehendak dunia terjadi. Gnostik bicara, dunia merupakan luberan Allah tanpa dikehendaki. Iman Kristen mengajarkan, Yesus sungguh Allah dan sungguh manusia. Gnostik mengajarkan Yesus sebagai manusia super. Ajaran Kristen mengatakan, iman adalah anugerah Allah yang terbuka pada siapa saja. Gnostik bilang, itu sebagai anugerah eksklusif orang-orang terpilih.

Ajaran Kristen mengatakan, karena kehendak Allah untuk memulihkan hubungan dengan manusia yang berdosa, perlulah Allah bertindak untuk keselamatan manusia. Sementara, Gnostik mengajarkan Allah tidak mempunyai kehendak dan tidak berkepentingan dengan keselamatan manusia. Di Kristen, salib adalah solidaritas Allah terhadap manusia, supaya manusia mengalami keilahian. Di Gnostik, badan adalah halangan manusia menuju ke Allah sehingga perlu ditinggalkan. Di Kristen, manusia adalah Citra/Gambar Allah dan ikut serta bertanggung jawab terhadap ciptaan yang lainnya. Sedang Gnostik, manusia hanya salah satu cipratan hasil emanasi Allah, tidak mempunyai tanggung jawab terhadap cipratan lainnya.

Nah, Injil Yudas masuk dalam kategori Gnostik. Bagaimana Injil ini ditemukan? Sumber mengatakan Injil Yudas ditemukan dalam wujud papirus pada 1950-an. Berdasar hitungan radiokarbon, papirus ini berasal dari tahun 220-340. Ada ahli menyimpulkan, ini sebagai terjemahan naskah asli berbahasa Yunani pada 130-180. “Dengan ini, hampir dipastikan, Injil Yudas tidak ditulis oleh Yudas sendiri,” kata Romo Hari. Akhirnya, pada tahun 1970-an, petani udik asal Mesir menemukan salinan Injil itu di Al Minya. Lebih dari 25 tahun naskah kuno itu beredar di pasar gelap barang antik, sebagai barang dagangan, dalam kondisi yang terus memburuk, sampai lembar-lembar papirusnya robek-robek dan rontok, sebagian menjadi fragmen kecil dalam ukuran milimeter. Baru pada tahun 2001, naskah yang sudah lusuh itu pun jatuh ke tangan ahli. Mereka berhasil merestorasi dan mengartikan pesan di dalamnya. National Geographic melangsir Injil Yudas versi Inggris pada 29 Juni 2006 bersama buku berjudul The Lost Gospel.

Sejarah Gereja mencatat Injil Yudas disebut oleh St. Irenius dari Lion sebagai bidaah dalam Adversus Haereses pada 180 Kandungan Gnostik Injil Yudas diperkuat oleh Origenes dan Epiphanes. “Sejak saat itu, Gereja menolak Injil ini. Irenius sudah lama beraksi. Jadi, tidak ada usaha menutup-nutupi. Seolah-olah ada, tapi disembunyikan selama ribuan tahun. Kalau orang membaca tulisan Irenius, akan tahu betul. Masalahnya, orang tidak suka membaca yang kayak ini,” kata Romo Hari.

Sebagai bagian Gnostisisme, Injil Yudas memandang kematian Kristus tidak ada artinya. Yesus sebagai korban salib menjadi kabur. Sosok Yudas dijadikan pahlawan. Ada interpretasi yang berbalikan dengan Injil yang diakui Gereja selama ini. Injil Yudas mengatakan, Yudaslah yang menjadi murid yang paling disukai Yesus. Dialah yang paling tahu tentang jati diri Sang Guru. Yesus mengatakan, para murid selama ini salah jalan. Yudas digambarkan sebagai murid yang baik dan taat pada perintah Yesus. Oleh karenanya, Yesus sendirilah yang menyuruh Yudas untuk menyerahkan diriNya untuk disalibkan. Ini bertujuan agar Yesus terbebas dari yang fana ini untuk menggenapi karyaNya.

Dengan pengkhianatan itu, Yudas justru melakukan pengabdian tertinggi. Melebihi murid-murid yang lain. Dalam Injil ini, dimuat berbagai dialog antara Yesus dengan Yudas. Yang unik dari Injil ini dan tidak ditemukan dalam keempat Injil yang diakui Gereja adalah Yesus yang tertawa.

Kafe Socrates tambah meriah saat dibuka ruang interaktif. Beragam pertanyaan dan tanggapan ditumpahkan di sana. Seorang peserta mengatakan, “Kehadiran Injil Yudas dan Da Vinci Code menjadi peluang bagi kita semua untuk mau belajar sejarah Gereja sendiri.” Romo Hari menanggapi, “Tapi, tidak semua orang mau membaca dan belajar. Inilah persoalannya.” Seorang lagi menimpali, “Ini juga harus didukung oleh bacaan-bacaan yang tersedia. Bagaimana kita mau membaca, kalau bacaannya tidak tersedia.”

Diskusi yang berjalan hampir 2,5 jam itu ditutup dengan pengumuman edisi Kafe Socrates bulan depan yang tidak kalah menarik. “Diskusi semacam ini sangat baik untuk belajar bersama,” kata Romo Hari. [diterbitkan di Warta Minggu, 2 Juli 2006]

Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur

“Is not that every woman should read or watch pornography. It is that every woman should decide for herself” [McElroy]

JUDUL di atas sengaja Penulis cuplik dari judul novel karya sastrawan muda yang gelisah bernama Muhidin M Dahlan. Novel ini menarik karena memuat protes pada realitas sosial yang sarat pada kemunafikan. Di sini, diceritakan pergulatan seorang perempuan pelacur yang dimarginalkan atas nama agama dan moralitas. Nah, ini yang menjadi pintu masuk Penulis untuk turut meramaikan serunya perdebatan tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

Apa pun hukumnya, segala sesuatu yang melecehkan dan merendahkan martabat manusia wajib ditolak. RUU APP pun mengundang perdebatan. RUU ini masih sarat bias tafsir dalam rumusannya dan cenderung merugikan dan melecehkan kaum perempuan. Perempuan yang sering menjadi korban dalam pelecehan seksual justru dijadikan korban lagi dalam rancangan hukum ini. Rumusannya cenderung patriakal dan sarat dengan agenda politik tertentu. Hal senada, Peraturan Daerah (Perda) yang diberlakukan di Tangerang pun menuai banyak kritik. Perda ini mengatur soal prostitusi yang dilihat marak di Tangerang. Perda ini pun dinilai merugikan kaum perempuan. Atas nama Perda ini, polisi pamong praja bisa menangkapi perempuan yang dicurigai sebagai Penjaja Seks Komersial (PSK). Kasus salah tangkap pun menuai protes dan beritanya membuat hati jadi berang. Hukum yang ditujukan untuk memberi situasi aman dan melindungi hak-hak publik, justru menciptakan keresahan dan peminggiran hak-hak publik, khususnya kaum perempuan.

RUU ini memang bias gender. Masih ada paradigma yang tidak adil dalam memandang relasi lelaki-perempuan. Paradigma ini pun masih cukup terlihat dalam kehidupan masyarakat kita. Lelaki masih dipandang lebih hebat daripada perempuan. Lelaki yang suka berpetualang seks dianggap sebagai yang biasa layaknya seorang James Bond, Sang Avonturir Seksual. Bahkan, dianggap jantan dan macho. Tetapi, perempuan masih dikenakan standar ganda, yakni perempuan baik dan perempuan tidak baik (jalang).

Perempuan juga sering dianggap sebagai sumber dosa. Ia senantiasa diposisikan sebagai penggoda dan pemicu. Misalnya, dalam kasus perkosaan, sering perempuan yang disalahkan dengan beragam alasan, entah karena berpakaian seksi, sensual, suka keluar malam, dan sebagainya. Sementara itu, si lelaki pemerkosa dan yang melakukan pelecehan masih dimaafkan. Dengan demikian, perempuan ini menjadi korban dua kali, korban perkosaan dan disalahkan sebagai pemicu pemerkosaan. Padahal, ini disebabkan karena napsu dan lemahnya manajemen syahwat laki-laki. Dan pemerkosa ini bebas berkeliaran di mana-mana (bdk. Siti Musdah Mulia, Jurnal Perempuan 38).

Termasuk juga dalam kasus skandal pastor dengan perempuan. Sering yang disalahkan adalah perempuannya sebagai penggoda. Padahal, pastornya saja yang tidak mampu mengelola syahwatnya. Lantaran pastor, dia dibenarkan. Pastor itu pun layak dihukum dan dituntut tanggung jawab, bukannya lepas tanggung jawab.

Setiap hal yang mengobjekan tubuh sebagai bentuk pronografi memang layak ditentang. Berbagai bentuk eksploitasi pada martabat manusia apa pun wajib ditolak. Sementara itu, hukum yang dirancang dengan serampangan dan tidak jelas dan pelaksanaannya yang kaku, justru berpotensi melahirkan berbagai ragam kemunafikan. Ada kelompok tertentu yang berhak menjudge orang lain sebagai yang salah dan harus dihukum, padahal dirinya berbuat kejahatan dan bersembunyi di balik hukum itu. Memang, sikap kritis sangat punya peran di sini. Apa yang kelihatan baik, belum tentu baik. Hidup akan terasa kaku dengan aturan di sana-sini. Semula yang harus menjadi tanggung jawab privasi orang, telah dihukumkan. Kekakuan ini menjadi pintu masuknya kemunafikan. Tapi, yang jelas segala bentuk pelecehan terhadap martabat manusia, baik itu dalam pornografi maupun undang-undang anti pornografi layak ditentang. Hukum diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. [diterbitkan di Warta Minggu, 19 Maret 2006]

Menjual Tuhan

UANG memang mempunyai kekuatan dahsyat. Uang yang dulunya sebagai bagian dari proses interaksi sosial, proses pemenuhan kebutuhan manusia, sekarang bisa merajai dimensi manusia apa pun. Segalanya bisa direngkuh dengan uang dan segalanya juga bisa diuangkan. Tidak hanya kebutuhan bahan pokok yang bisa diuangkan, tetapi juga pendidikan, relasi, bahkan perang. Jangan salah, Tuhan pun sekarang bisa dijual dan diuangkan. Apa maksudnya?

Dulu, pada zaman Martin Luther hidup, Gereja Katolik sedang bobrok-bobroknya. Salah satunya adalah jual beli surat pengampunan dosa. Luther, yang dianggap sang pembangkang, mengkritik pedas praktek ini. Surat pengampunan dosa dijual untuk membiayai berbagai pembangunan gedung gereja megah, salah satunya adalah Basilika Santo Petrus di Vatikan. Keselamatam dijual. Dengan demikian, logikanya adalah mereka yang berduit banyak akan lebih banyak diampuni dosanya. Surga pun sudah diperjualbelikan. Sebuah praktik pembodohan.

Kalau tidak hati-hati, Gereja bisa mengulang sejarah itu. Dulu, sekolah-sekolah, termasuk sekolah Katolik, benar-benar melakukan apa namanya public sevice (melayani masyarakat), tapi sekarang cenderung menjadi profit service (mengabdi keuntungan). Nah, Gereja bisa juga melenceng arah, dari dari public service ke profit service. Tempat yang sebenarnya dijadikan untuk ruang bersua dengan Tuhan dengan lebih intensif, dijadikan tempat untuk berbisnis. Tak heran, Yesus dengan marahnya mengusir para pedagang di Bait Allah seperti yang dikisahkan Injil pada minggu ini.

Banyak hal yang bisa diuangkan dengan menggunakan nama Tuhan. Lebih-lebih diuangkan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Rumah Tuhan bisa menjadi lahan yang empuk untuk melakukan bisnis. Tinggal bagaimana kita pandai-pandai mengemasnya saja. Ini diperparah bila yang menyangkut kepentingan umum (bonum communae) tidak disertai dengan pertanggungjawaban yang transparan dan akuntabel. Umat tidak perlu kritis, lebih-lebih bila sudah dicekoki dengan sabda-sabda Kitab Suci yang sungguh menggiurkan dan meninabobokan kesadaran. Sejarah membuktikan bahwa Gereja pernah kilaf dalam hal ini.

Dalam Surat Gembala Prapaskah 2006 ini dengan tajuk “Korupsikah Aku?”, Bapa Uskup menyinggung praktik semacam sebagai bahan perbandingan saja. Di sana, dikatakan menjadi soal kalau pelayanan, ibadah, dan sebagainya dibuat demi pengumpulan uang terutama untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Penulis menangkap maksud bahwa segala bentuk pelayanan Gerejawi tidak boleh dijadikan lahan bisnis. Gereja bukan gedung opera di mana siapa saja yang mau berdoa harus membayar tiket masuk. Masa Prapaskah ini menjadi masa yang baik bagi Gereja, kita semua, untuk mawas diri. Gereja tidak luput dari dosa dan kesalahan. Oleh karenanya, Gereja senantiasa menyerukan pertobatan. Jawablah dengan jujur pertanyaan ini, saat saya masuk ke dalam Gereja, saya berperan sebagai seorang murid Tuhan atau sebagai pedagang? [diterbitkan di Warta Minggu, 19 Maret 2006]

Orang Muda Membuka Harta Usang Gereja

SOCRATES pernah bilang, Gnoti Seauton, artinya kenalilah dirimu sendiri. Nah, ada banyak hal menarik yang bisa ditimba dari proses pengenalan diri sendiri ini. Sebagai bagian tak terpisahkan dari Gereja Universal, proses mengenal Gereja sendiri menjadi suatu yang menarik juga. Apalagi kalau mengenal dan memahami bagian yang selama ini jarang dilihat, disebut, dipelajari, dipergunjingkan oleh banyak orang, khususnya anggota Gereja itu sendiri. Sebut saja Ajaran Sosial Gereja yang disingkat ASG.

ASG seperti harta Gereja yang dibiarkan usang yang teronggok dalam tempat yang berdebu dan tak tersentuh. Padahal, ASG merupakan pandangan dan sikap moral Gereja terhadap persoalan sosial, persoalan di luar diri Gereja sendiri, persoalan di alam dan di tempat Gereja menziarahi kehidupan ini. Menjadi usang lantaran jarang dibuka dan disosialisasikan. Dibuka bisa diartikan dibaca. Berapa sih orang Katolik yang mau membaca dokumen-dokumen berharga seperti ini?

Sabtu siang (25/2) di ruang kecil di Perpustakaan Depdiknas, dekat Ratu Plaza, sepuluh orang muda berkumpul bersama untuk memulai studi serial ASG ini. Belajar bersama memang menarik dan menyenangkan. Apalagi belajar di tempat yang dikelilingi ragam buku tertata rapi dan mengeluarkan aura akademis yang memicu birahi intelektual. Dibuka dengan pengantar dan menyusuri pemikiran Paus Leo XIII (1878-1903) yang merilis ASG perdana bernama Rerum Novarum pada Mei 1891. Diskusi serial ini diadakan oleh anak-anak muda yang tergabung dalam forum penulisan Agenda-18. Diskusi perdana ini difasilitasi oleh Ignatius Haryanto.

Dalam pengantarnya, Ignatius Haryanto mengajak para orang muda untuk mengenal dan mempelajari ASG. ASG merupakan pandangan moral Gereja terhadap situasi di dunia. Ini bisa dijadikan bahan referensi untuk menyikapi berbagai keprihatinan sosial pada zaman ini. Jurnalis yang akrab di panggil Hari ini membagikan fotokopian Serial ASG. Dalam serial ini, ada 12 fotokopian seturut dokumen yang ada dengan tebal masing-masing empat sampai enam halaman. Formatnya ringkas, lengkap dengan pokok-pokoknya plus ilustrasi yang menarik. Orang tak perlu bersusah payah membaca dokumen aslinya yang setebal Kitab Suci. Serial dimulai dari Rerum Novarum (1891) sampai Sollicitudo Rei Socialis (1987). Ada satu dokumen terakhir yang belum termuat dalam serial itu, yakni Centesimus Annus (1991). Fotokopian lain yang dibagi adalah bukunya Romo Eddy Kristiyanto OFM, pakar sejarah Gereja, berjudul Diskursus Sosial Gereja, Sejak Leo XIII. Tidak semua halaman difotokopi, cuma dari pengantar sampai pembahasan dua ensiklik yakni Rerum Novarum dan Quadragesimo Anno. Mas Hari juga menunjukkan beberapa referensi buku lain yang bisa dijadikan bahan belajar bersama. Salah tiganya adalah Dokumen ASG resmi versi KWI setebal Kitab Suci, ASG karangan Adolf Heuken SJ dan buku Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja karya patungan dari trio Jesuit (MJ Schultheis SJ, P DeBerri SJ, Peter Henriot SJ).

ASG, kata Hari, bisa kita gunakan sebagai terang moral bagi kita untuk merespon kondisi sosial tempat kita hidup. Dalam proses pendalaman ini, kita juga diajak tetap memelihara sikap kritis, termasuk mempertanyakan korelasi antara teori (ajaran) dan praksis (praktek dalam tindakan konkret) dan juga kontekstualisasi ajaran-ajaran itu untuk situasi kontemporer. ASG sendiri menjadi bentuk sikap Gereja untuk mulai keluar dari dirinya sendiri. Gereja mulai berbicara tentang buruh, kondisi ekonomi, perdamaian dunia, dan sebagainya.

Ensiklik sosial itu tidak lepas dari konteks sejarahnya. Inilah kelebihan dan menariknya mempelajari teks-teks karena tidak lepas dari konteksnya. Misalnya, Ensiklik pertama Rerum Novarum (1891) sendiri lahir dalam konteks ketegangan dua kubu ideologi besar saat itu, yakni kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Pacem in Terris (Damai di Bumi, 1963) lahir karena krisis nuklir, paska Krisis Misil di Kuba (1962) dan pembangunan Tembok Berlin. Ensiklik Quadragessimo Anno lahir dalam konteks Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II, Rasisme Jerman, Komunisme Soviet, Fasisme Mussolini, dan krisis ekonomi dunia yang dikenal dengan The Great Depression.

Ensiklik Rerum Novarum membahas tentang kondisi kelas kerja pada waktu itu, yakni buruh. Paus Leo XIII prihatin pada kondisi buruk para buruh, khususnya di negara-negara industri. Dilihat sejarahnya in,i sebagai dampak dari Revolusi Industri yang melahirkan pembagian kelas sosial, yakni kelas kapitalis (majikan) dan kelas pekerja (buruh). Para pecandu Marx sering mengkaitkan ini dengan gagasannya tentang Das Kapital dan relasi kapital dan pekerja.

Studi putaran kedua diadakan pada Sabtu (25/3) di Gedung KWI Jl. Cikini, Jakarta Pusat dan membahas Ensiklik kedua Quadragessimo Anno. Ensiklik ini ditulis oleh Paus Pius XI pada peringatan 40 tahun lahirnya Rerum Novarum. Pius XI mengkritik tajam penyalahgunaan kapitalisme dan komunisme dan berusaha menyesuaikan Pengajaran Sosial Katolik dengan keadaan yang sudah berubah. Pius XI memperluas keprihatinan Gereja akan kaum buruh miskin, termasuk struktur-struktur yang menindas mereka. Paus inilah yang pertama kali menggulirkan istilah subsidiaritas dalam usaha membantu kaum buruh dan masyarakat tertindas.

Demikianlah isi seputar studi ASG yang berlangsung sebulan sekali. Patut dihargai karena ini merupakan upaya untuk semakin melibati Gereja yang mempunyai wajah sosial, dan bukan sekadar liturgis dan ibadat saja. ASG merupakan jawaban Gereja atas situasi dunia. Paus Benedictus XVI dikabarkan dalam situs berita Katolik sedang mempersiapkan ensiklik sosial pertamanya yang isunya berjudul Labor Domini. Tidak lupa juga pada tahun ini akan diperingati 115 tahun lahirnya Rerum Novarum. Nah, siapa lagi yang akan membaca harta usang Gereja ini? [diterbitkan di Warta Minggu, 2 April 2006]

Tuhan Di Dunia Modern

DUNIA kontemporer begitu dahsyat. Dunia sekarang dikepung oleh beragam problem dan paradoks. Persaingan menjadi sebuah permainan lumrah. Sementara, kekuatan jahat tengah menguasai dunia dalam wujud kekerasan, korupsi, terorisme, dan sebagainya. Orang-orang modern dibuat lumpuh oleh pilihan-pilihan yang ditawarkan budaya mal dan konsumerisme. Banyak orang yang tidak tahu harus berbuat bagaimana dan berbuat apa. Rutinitas telah menyeret orang pada kejenuhan dan perasaan tidak bermaknanya hidup. Hidup menjadi gersang dan penuh kegelisahan.

Nah, di tengah realitas macam itu, buku ini hadir. Buku yang berjudul Tahan Uji: 9 Latihan Ignasian menjadi latihan yang efektif untuk hidup yang tahan uji di tengah kesulitan hidup zaman sekarang. Buku ini merupakan bentuk lain dari Latihan Rohani (LR) Santo Ignasius Loyola yang biasanya dipraktikkan selama 40 hari. Buku ini hadir dalam rangka peringatan ke-450 tahun wafatnya St. Ignasius Loyola, tahun ke-500 kelahiran dua koleganya, yakni St. Fransiskus Xaverius dan Beato Petrus Faber. Mereka bertiga adalah orang kudus yang turut dalam pendirian Serikat Jesus (SJ). Hak terbit buku ini dipegang oleh Serikat Jesus Provinsi Indonesia (Provindo).

LR yang mula-mula diperuntukkan para sahabat Ignasius sebagai sekolah rohani dalam perjalanan waktu dibuka untuk semua kalangan. LR sangat cocok untuk awam, seban LR tidak hanya melatih orang untuk berdoa, tetapi makin mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menjalankan hidup. LR pun melatih umat beriman untuk hidup tahan uji.

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi langkah, doa, dan bacaan rohani untuk perayaan Ekaristi dengan mohon rahmat tahan uji. Di sini, ada sembilan langkah. Bagian kedua berisi sembilan latihan Ignasian untuk hidup yang tahan uji. Tulisan ini menarik karena disertai contoh-contoh kisah-kisah hidup dan situasi sosial kemasyarakatan untuk membantu latihan.
Latihan pertama, orang diajak untuk mendapatkan pemahaman dan pengalaman Allah sebagai asal dan tujuan hidup. Latihan kedua, merenungkan Allah yang maharahim dan menebus kita. Orang diajak berjumpa dengan Deus humanissimus, Allah yang amat manusiawi. Latihan ketiga, bersama Yesus diutus ke dunia sekarang. Orang diajak untuk mengikuti Yesus untuk solider dengan dunia saat ini. Realitas hidup konkret. Latihan keempat, cita-cita menjadi panggilan. Orang diajak menemukan panggilan yang mengembangkan.

Latihan kelima, pilihan yang membawa kebahagiaan. Hidup adalah perkara memilih. Orang dilatih untuk memilih yang benar dan tepat. Di sini, orang mengalami pembedaan roh dan hiburan-kesepian rohani. Latihan keenam, bertindak seperti Yesus. Orang diajak untuk terlibat dalam karya Yesus. Di sini orang juga diperkenalkan dengan kerendahan hati. Latihan ketujuh, menderita bersama Yesus. Orang diajak untuk berani terlibat dalam penderitaan Yesus. Latihan kedelapan, menangkap daya Ilahi yang tersembunyi. Di sini, orang diajak untuk merenungkan kisah Tuhan sebagai kisah hidup kita, menjawab cinta Tuhan, menjadi manusia kreatif, dan panggilan agen keadilan. Latihan kesembilan, dalam segala mencintai dan mengabdi. Orang akhirnya mengalami panggilan untuk mengabdi dan mencintai Tuhan dalam segala hal. Sama dengan semboyan Ignasius sebagai perwujudan imannya yakni Ad Maiorem Dei Gloriam (demi lebih besarnya kemuliaan Allah).

Buku ini cocok untuk semua kalangan: keluarga muda, orangtua, bahkan orang muda yang serius dalam menghadapi segala tantangan hidup. [diterbitkan di Warta Minggu, 28 Mei 2006]