SAAT tidur siang, aku bermimpi jalan-jalan di sebuah kota. Di tengah kota, ada sebuah bangunan gereja, menjulang tenang dengan keuzurannya. Aku singgah di sekitar gereja untuk sekian waktu. Dan kutemukan keganjilan di sana.
Pada hari Minggu, orang-orang pada kumpul di bangunan yang sudah tua itu. Berbondong-bondong mereka datang, lengkap dengan suami, istri, anak-anak, sampai sopir dan pembantu-pembantunya. Kitab Suci dan buku kidung pujian di tenteng erat dalam dekapan jari-jari mereka. Sungguh pemandangan yang mengagumkan. Di tengah hiruk pikuk metropolis dengan segala napsu birahi dan angkara murkanya, masih ada kumpulan orang yang mau menyembah Tuhan. Padahal, Tuhan sudah lama dibuang di keranjang sampah oleh orang kota.
Tapi, ada yang aneh. Rombongan orang-orang itu tidak saling bicara satu sama lain. Mereka diam. Rupanya mereka tidak bisa ngomong karena lidah-lidah mereka sudah dipotong. Dan kedua lubang telinga mereka ditusuk dengan mata tombak. Darah kering masih meninggalkan jejak. Mereka tidak bisa mendengar.
Di atas mimbar, seorang pastor tua berkotbah dengan suara gagap. Lidahnya sudah dipotong. Demikian juga lektor dan paduan suara, mereka semua gagap dan tidak saling mendengar. Tapi, ibadah itu berjalan lancar. Semua berjalan otomatis. Mereka tidak memedulikan apa yang mereka dengar dan omongkan. Yang penting, saat pastor mengangkat tanda salib pembuka, artinya ibadah dimulai. Lalu, tanda salib penutup artinya ibadah selesai. Mereka juga serentak berlutut, berdiri, maupun duduk lagi. Semua berjalan otomatis. Rutin. Dan mereka melakukannya setiap minggu. Seolah-olah inilah ibadah yang sejati.
Tidak jelas siapa yang memotong lidah-lidah mereka dan oknum mana yang menusukkan mata tombak ke telinga mereka. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Tiap hari, Gereja itu tidak pernah sepi kegiatan. Tapi, sepi dengan komunikasi. Sebab, alat komunikasi mereka sudah raib. Mereka akhirnya hidup dengan simbol-simbol. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Pastornya juga sibuk sendiri. Mereka seperti gerombolan zombie dalam film The Dawn of the Dead.
Gereja itu seperti kuburan, sepi dan terpencil. Mereka tidak bisa lagi mendengar kabar tentang empat desa yang terendam lumpur, Libanon yang porak poranda digempur tentara Israel, bencana gempa, kelaparan, banjir, tanah longsor, perang saudara, dan sebagainya. Mereka juga tidak bisa mendengar kekisruhan di panggung politik. Bahkan, jeritan tetangganya minta tolong saja karena anaknya sakit dan kempesnya kantong atau penggusuran, tidak mereka hiraukan. Mata mereka melihat orang kantor menilap uang perusahaan, tapi mereka tidak bisa menyuarakan kebenaran karena lidah mereka terpotong. Yang mereka tahu cuma ibadah dan puji-pujian tiap minggu. Itu saja. Dasar kumpulan orang autis!
“Prankkk!” seekor kucing berlarian dan memecahkan perabot ruang tamu. Aku terbangun dari mimpi. Dan, astaga! Bukankah itu gambaran habitus lama, orang punya telinga tapi tidak mendengar, dan orang punya mulut tapi tidak berani mewartakan kebenaran? Kadang telinga hati kita tertutup oleh ego, romantisme, dan kesibukan sendiri. Kita sering tidak mendengar jeritan orang di sekitar kita. Dan, kita suka memilih membungkam mulut kita karena kita tidak berani dan enggan menyatakan kebenaran dan kejujuran? Lebih-lebih, kita tidak melakukan apa-apa... [diterbitkan di Warta Minggu, 10 September 2006]
Wednesday, 17 January 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment