FILM Da Vinci Code (DVC) sudah dirilis pertengahan Mei lalu. Film yang disutradarai Ron Howard ini mensinemakan karya novelis Dan Brown. Sama sejak kelahiran novel DVC, film yang diaktori Tom Hanks ini pun menuai kontroversi. Badai protes bertiup, khususnya dari beberapa pihak yang merasa kehadiran novel dan film itu sebagai pengguncang iman Kristen.Tapi, tak sedikit yang mengagumi DVC. DVC sebuah karya sastra yang layak diapresiasi.
Suatu protes dan kegelisahan datang dari mulut seorang monsinyur. Di atas mimbar, dengan suara parau, di saat Misa minggu akan diakhiri, sang monsinyur berpesan pada umatnya. “Jangan terpengaruh oleh film Da Vinci Code. Kuatkanlah iman...” suara sang monsinyur masuk ke mikrofon dan menyebar di seluruh ruangan gereja. Seolah-olah, di mata monsinyur, DVC adalah bahaya yang siap mengguncang iman.
Nada protes juga mengalun di milis-milis. Seorang pastor yang dikenal punya kharisma penyembuhan, mengkritik habis DVC sebagai sebuah kebohongan belaka. Hasutan. Sebuah usaha penyerangan akan iman Kristen. Bahkan, diakhir surat elektroniknya, sang pastor itu mengatakan bahwa zaman sekarang iblis sedang berkarya untuk menyerang iman Kristen. Hal senada datang dari seorang ketua wilayah. Di sebuah milis, ia menulis agar paroki segera mengadakan diskusi soal DVC untuk menjaga iman umat. Surat ini pun ditanggapi positif oleh seorang pastor muda yang sedang studi di Inggris.
Lagi-lagi, DVC dianggap sebagai ancaman serius terhadap iman. Bahkan, banyak kalangan yang menyarankan agar menjauhi cerita bohong dan menyesatkan itu. Lebih menggelikan lagi, ada sebuah buletin Kristen yang menyarankan, alangkah bijaksana apabila buku dan film DVC yang dimiliki dimusnahkan secara sadar daripada menanggung dosa dengan sikap masa bodohnya. Sebagian mengatakan DVC sebagai bagian dari gerakan anti-Kristus.
Iman yang Dewasa
Fenomena kontroversi ini menarik. Kenapa DVC begitu menggusarkan? Iman yang seperti apa yang diguncangkan oleh sebuah novel dan film? Novel tetaplah sebuah novel, sebuah karya fiksi yang layak diapresiasi. Demikian juga film. Andaipun dalam materi novel atau film ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan iman, perlakukan DVC sebagai layaknya novel.
Toh, novel DVC bukan sebuah buku sejarah, sesuatu yang real terjadi dalam skup ruang dan waktu. Memang ada beberapa entri poin yang match dengan data historis. Tapi, novel tetaplah novel. Jangan lupa, Kitab Suci Kristen pun bukan buku sejarah dan tidak boleh diperlakukan sebagai buku sumber kebenaran sejarah. Kitab Suci adalah buku refleksi iman akan sejarah keselamatan Allah di dunia ini. Banyak poin-poin dalam Kitab Suci juga bukan data historis, tetapi ditulis penulis Kitab Suci untuk membantu pewartaan iman pada konteks zamannya. Kebenaran Kitab Suci lebih pada kebenaran iman, dan bukan kebenaran historis. Lantaran Kitab Suci adalah buku refleksi iman.
Nah, kalau DVC sebuah karya fiksi, perlakukanlah sebagai karya fiksi yang layak diapresiasi. Mengecam, mengutuk, mencapnya sesat adalah cermin ketakutan dan ketakutan macam ini cermin tidak dewasanya iman alias kekanak-kanakan. Apalagi saran-saran bergaya ditaktor Fasis untuk memberangus dan memusnahkan karya sastra itu. Apakah mutu iman Kristen ditentukan oleh percaya dan tidakkanya akan kebenaran novel itu? Apakah kecaman itu dengan sendirinya meningkatkan mutu iman umat? Iman yang seperti apa yang harus kita bela?
Kasus DVC bukan barang baru. Sebelumnya, saat fiksi Harry Potter membius pembaca seantero dunia, Gereja juga ikutan gusar. Fiksi karya JK Rowling ini dinilai tidak mendidik anak-anak. Sosok dan gaya sihir Harry Potter dinilai tidak sesuai dengan iman Kristen. Nah, kasihan juga Potter, bocah laki berkacamata bulat dengan tongkat sihirnya. Tak hanya itu, banyak film yang dinilai membahayakan iman Kristen dan tidak layak tonton. Sebut saja The Last Temptation, Thorn Bird, The Name of The Rose, Priest, dan sebagainya. Tapi, apakah iman kita goyah dengan karya-karya fiksi macam itu?
Iman tidak sekadar percaya. Iman terkait dengan pengalaman akan Tuhan. Banyak orang yang fasih dan berbuih-buih mengomongkan Tuhan, tetapi belum tentu mengalami Tuhan. Banyak yang ingin membela Tuhan, tapi tidak pernah mencecap Tuhan. Tahu tidak berarti mengalami. Iman yang berakar pada pengalaman personal akan Tuhan tidak akan mudah digoyahkan oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai ancaman. Apalagi mengaitkannya dengan dosa dan iblis, suatu yang abstrak dan tidak ada relevansinya.
Belajar Sejarahnya Sendiri
Satu peluang menarik dengan hadirnya novel dan film DVC adalah belajar sejarah Gereja sendiri. Tidak banyak warga Gereja yang mau membaca dan mempelajari sejarah Gerejanya sendiri. Sejarah suka duka Gereja bergelut dan berziarah di dunia ini dengan segala kelebihan, kekurangan, kesucian, maupun borok-boroknya. Membaca memang bukan pekerjaan mudah karena lingkungan kita mengkondisikan kita untuk malas membaca dan belajar. Ini saatnya kita belajar sejarah Gereja sendiri. Tak lain, sejarah diri kita sendiri.
Oleh karena itu, nikmatilah kisah asyik dari novel dan film thriller dektektif itu tanpa harus merasa terancam iman akan goyah. Berlebihan jika menganggap karya sastra itu sesat. Sebaliknya, yang menyesatkan justru mereka yang mendidik orang lain untuk beriman dengan tidak dewasa atau kekanak-kanakkan. Iman kita juga menuntut sikap cerdas dan kritis. Toh, kita bukan segerombolan bebek yang digiring ke tempat penjagalan!
Wednesday, 17 January 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment