Wednesday 17 January 2007

Surat: Rome Sweet Tomb

Sahabatku,

MENARIK merenungi kehidupan Gereja dengan tajuk "Rome Sweet Home". Ada suatu yang berbeda dengan kesan para sahabat tentang Gereja Katolik. Dulu, Gereja Katolik sungguh memesona diriku, aku berhutang banyak darinya karena lewat Gereja aku bisa diperkenalkan dengan Sahabatku, Yesus Kristus. Tapi, waktu berjalan dan umurku bertambah. Sebaliknya, aku merasakan keterpesonaan itu semakin lama semakin pudar. Justru, ketika aku sedang giat-giatnya melibati apa yang namanya Gereja. Bermalam-malam aku dibuatnya gelisah. Dan jemariku tidak tahan untuk mencoretkannya dalam baris demi baris refleksiku atas Gereja Katolik. Bahkan, aku dibuatnya insomnia dan tidak bisa tidur. Pernah pada dini hari, aku sempat terjaga dan membangunkan istriku dan membisikkan ke telinganya: "Gereja itu seperti mesin pembunuh ala Fasisme Hitler." Sesekali, kubagikan beberapa keping kegelisahan ini ke beberapa sahabat lewat ponselku. Sementara aku menulis dan terus menulis. Sudah banyak lembar.

Sudah 20 tahun (sejak SD kelas IV) aku resmi hidup dalam Gereja Katolik sebagai orang Katolik. Banyak suka duka yang aku alami. Aku semakin menyadari bahwa Yesus bukanlah Gereja dan Gereja bukanlah Yesus. Sehingga aku tidak perlu mengikuti Gereja untuk mengikuti Yesus karena pada taraf kesadaran tertentu kiprah Gereja sendiri sangat berbeda dengan kiprah Yesus yang selama ini aku kenal. Nah, ketika para sahabat di milis ini mendiskusikan Rome Sweet Home, jujur hatiku kok tidak sependapat.

Ada beberapa poin yang aku bagikan lewat nukilan dari catatanku:

1. Bagiku, Gereja masih setengah hati menjalankan ajaran dan seruan-seruan moralnya sendiri. Gereja sendiri tidak loyal dengan dirinya sendiri. Seperti yang aku kisahkan dalam diskusi Kafe Socrates. Aku bilang perbincangan ketidakadilan gender dalam Gereja tidak akan habis kalau tidak menyinggung masalah struktural. Keadilan jender harus juga diwujudkan dalam keadilan struktural. Dengan demikian harus ada perombakan struktur. Tidak hanya soal jender, tapi apa pun. Coba lihat apakah struktur atau sistem yang kita hidupi selama ini mendukung. Termasuk itu komunitas basis, demokrasi, akuntabilitas, dan sebagainya. Demokrasi, keadilan jender, komunitas basis dan sebagainya itu aku anggap sebagai anggur-anggur baru (buah-buah kesadaran baru), tetapi apakah itu ditempatkan dalam wadah yang baru (apakah struktur kita mendukung?). Kalau tidak mendukung kenapa kita tidak berani mengubah? Kalau tidak, kita berjalan setengah hati. Jangan-jangan susahnya menggalakkan komunitas basis bukan lantaran orang-orangnya apatis atau ndableg, melainkan sistem/struktur gereja sendiri tidak mendukung ke arah sana? Bagiku, Gereja itu pandai di wacana dan refleksi dan suka melempar itu semua ke dunia, tetapi Gereja yang membarui diri cuman setengah hati. Siapa tahu struktur selama ini justru membatasi gerak langkah kita. Coba bayangkan kita berdiri di tanah lapang. Kita akan bergerak bebas ke sana kemari dan pandangan kita bisa luas, seluas arah mata angin. Tapi, coba ketika lapangan itu ditumbuhi dengan tiang-tiang pancang, ditumbuhi tembok pembatas, gerakan kita akan terbatas dan jangkauan pandang kita juga terbatas. Mari kita menilik sejenak struktur dan sistem kita. Ingat, struktur dibuat untuk manusia dan manusia untuk struktur.

2. Liturgi Gereja Katolik (yang aku jumpai) menjadikan umat sekadar penonton. Lebih-lebih dengan TPE yang baru di mana keterlibatan umat semakin dipotong habis. Umat hanya sekadar penonton, pendengar yang baik. Padahal inti/puncak perayaan liturgi adalah Ekaristi. Menurut pemahamanku Ekaristi adalah panggilan melibati dengan cara mengenangkan Yesus yang mengorbankan dirinya. Tapi, liturgi ini justru memberi keterjarakan dengan pesan dari Ekaristi sendiri yakni keterlibatan. Hampir satu setengah jam kita seperti dilemparkan dalam tontonan. Masih ditambah dengan kotbah-kotbah yang kadang hanya mengulang-ulang cerita Kitab Suci dan basi. Liturgi kita masih terkesan kaku dan beku. Itu saja belum dengan fenomena otomatisasi yang terjadi selama di dalam gedung gereja. Kita seperti kerumunan massa tanpa wajah. Duduk bergerombol tetapi tidak saling kenal. Mengenal nama pun tidak. Habis itu kita seperti mesin (tanpa kita sadari): duduk, berlutut, duduk berlutut, berdiri, duduk lagi yang kadang tidak kita ketahui untuk apa???? Sementara rutinitas ini membuat rasa canggung dan bersalah jika kita sendiri tetap berdiri saat semua berlutut dan sebaliknya. Ada proses kepatuhan di sana. Dan itu dilakukan terus-menerus sampai masuk ke ubun-ubun, sampai tubuh pun patuh dengan sendirinya. Sampai, seperti di saat habis misa malam Natal lalu di MBK, kakak perempuan saya berusaha melawan arus orang-orang yang mau keluar gereja lantaran ia lupa tidak mengambil air suci di depan pintu dan membuat tanda salib. Memprihatinkan! Semua diawali dengan tanda salib pembuka dan mesin berhenti dengan tanda salib penutup.

Otomatisasi demikian membuat orang patuh. Kalau tidak diwaspadai, sistem atau liturgi kayak ini menjadi mesin-mesin impersonal yang secara tidak kasat mata mengatur dinamika kesadaran dan tubuh orang-orang di dalamnya. Sangat memprihatinkan, bagi saya. Pada taraf ini, saya menganalogikan Gereja seperti mesin kepatuhan ala Nazi Hitler. Semua digerakkan dalam satu komando dan dibuat otomatis. Bahkan, dalam ruang-ruang tertentu, kita tidak boleh bersuara lain. Kalau pun bersuara lain, hendaknya di luar sistem atau kalau apes ya diekskomunikasi (tidak sejalan dengan Gereja yang berkomunikasi) . Belum dengan model-model penyeragaman (liturgi dsb). Semua ada sistem kontrolnya (tanpa kita sadari) dan uniknya Gereja memakai bahasa-bahasa religius yang membuai dan meninabobokkan kesadaran kritis orang. Bagi saya, liturgi Gereja telah mengkhianati dirinya sendiri.

Liturgi yang diulang-ulang ini bagi saya menjadi mesin kepatuhan otomatis. Orang menjadi mudah patuh dan diatur, entah diatur oleh mesin buatannya sendiri atau orang-orang yang memunyai otoritas atas mesin itu [hierarki]. Sampai tubuh pun dibuat patuh (jengkeng, berlutut, berdiri, dsb). Kenapa tidak kita ubah? Apa inti dari liturgi itu sendiri? Ekaristi sebagai perayaan inti harus dipegang. Yang lain diubah yang lebih manusiawi dan partisipatif. Liturgi yang mendukung orang-orang untuk saling kenal, saling berbagi pengalaman, saling menjumpai, dan akhirnya dipuncakkan dalam perayaan perjamuan makan Ekaristi. Ekaristi dijadikan sebagai ruang di mana orang-orang benar-benar bisa bersyukur atas hidupnya, perjumpaan dengan saudara-saudaranya, dan sebagainya. Bukan sebaliknya, misa menjadi ruang orang-orang tidak dikenal, hanya menonton, mendengar, makan, dan pulang tanpa makna. Emang, kelihatan susah banget mengadakan perubahan dan kreativitas dalam liturgi Gereja. Harus izin ke otoritas di atasnya (romo paroki-uskup- Vatikan). Uihhh, ini jelas-jelas menyiratkan gaya-gaya komando ala fasis dalam Gereja Katolik. Lebih parah lagi, orang senang menikmati mesin religius ini. Bahkan, berlomba-lomba menghias mesin-mesin ini dengan bunga-bunga indah, dan lupa akan yang inti. Yesus yang disampaikan dalam liturgi adalah Yesusnya orang-orang Romawi, bukan Yesus yang hadir di Indonesia (minimal Asia). Waduh, tanpa sadar, aku ikuti gaya dan sistem bangsa lain neh....Dan inkulturasi pun berjalan dengan setengah hati.

Siapa yang bikin aturan? Siapa Vatikan? Siapa Hierarki? Siapa Uskup? Siapa Paus? Semua aturan adalah buatan manusia dan penghuni Vatikan adalah manusia. Sama seperti kita dan saudara-saudara semua. Mengapa kita begitu patuh, tunduk-tunduk, manggut-manggut dengan sistem buatan kita sendiri. Mengapa ada orang-orang yang sama dengan kita yang mengklaim dirinya memunyai otoritas (wewenang khusus) berhak mengatur sikap doa kita. Mengapa kita berhak mengatur diri kita sendiri. Aku sendiri yakin ada kepentingan politis dari Gereja Katolik dengan sistem, liturgi, macam ini. Siapa yang sebenarnya kita ikuti: Gereja atau Yesus sendiri???? Aku memilih mengikuti yang kedua.

He he he he...itu dulu deh...itu baru sebagian dari catatanku tentang Gereja Katolik...belum dengan pengalaman-pengalam an masa remaja di mana aku merasa dibodohi oleh Gereja Katolik sendiri.....serial lengkap ada di dalam laptopku.... Yeahhh, Rome sweet TOMB....

salam,
Musafir Muda
....yang senantiasa mengingatkan diri sendiri: "Ingat Mus, hidupmu tidak hanya ngebahas soal gereja saja. Hidupmu harus kamu isi juga dengan sastra, puisi, cultural studies, filsafat, sosiologi, musik, dan sebagainya dan sebagainya. Hidupmu jauh lebih luas daripada pelataran Gereja...."

3 comments:

Anonymous said...

TUHANmu, TUHANku, dan TUHAN kita semua;

1. Coba lihat kembali sejarah manusia dlm mencari TUHANnya, mulai dari men-TUHAN-kan Patung, Binatang, Matahari sampai Dewa-2, Bagaimana dan apa sj yg dilakukan dengan TUHANnya ?, Mengapa semua itu terjadi ?

2. Kemudian bagaimana, kapan, dan dimana Agama-agama itu lahir ?

3. Kalau masing-2 agama mempunyai TUHAN sendiri-2, alangkah banyaknya TUHAN ini ! dan kalau betul demikian, bagaimana TUHAN-2 itu bersahabat dan berdebat ! dan mungkin berkelahi kali ! kalau betul TUHAN lebih dari satu ! (logika Manusia, APA IYA ?).

4. Pastikan TUHAN ini Cuma satu dan tdk mungkin banyak (logika kita/ akal rasio, coba renungkan dalam-2).

5. Jadi TUHANnya Orang Budha, Hindu, Kristen, Shinto, Kong Huchu, ISLAM, aliran kepercayaan mungkin SAMA ? dan hanya SATU (maha Esa !) TUHAN.

6. Kalau TUHAN hanya satu, yang mana diantara TUHAN-TUHAN itu yg mrpk TUHAN sesungguhnya dan siapa beliau ini ? (Mr. X itu ?) dan spt apa wujudnya TUHAN itu ? (setiap orang akan berpikir sesuai dg persepsi masing-2 kan ).

7. Bagaimana manusia (ciptaannya) mengetahui bhw Dia adl TUHANnya dan bagaimana TUHAN menyatakan dirinya serta memberitahukan bhw Dirinya adl TUHAN yg sesungguhnya bagi alam semesta beserta isinya (manusia, fauna, & flaura) ?.

8. Silahkan pelajari semua agama (PROTESTAN, KATHOLIK, ADVENT, ISLAM, HINDU, BUDHA, SINTO, KONG HUCHU, Aliran Kepercayaan) berikut kitab-2 sucinya (TAURAT, JABUR, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, INJIL, AL QUR`AN, WEDA, Dll) apa saja isi kitab-kitab suci dan bagaimana proses diturunkan (dibuatnya) ?

9. Jangan pernah berhenti mencari TUHAN yg sesungguhnya, niscaya dan insyaa ALLAH, TUHAN yg sesungguhnya akan menemui kita.


10. SELAMAT MENCARI, semoga TUHAN yg sesungguh akan segera menemui kita, amien.



BISARA SIANTURI bercerita;

Lelaki bernama Bisara Sianturi ini bukannya sembarangan lelaki. Dia ialah anak muda yang fanatik dengan agama Prostestan.
Apa yang menarik mengenai Bisara ini, ialah percubaannya untuk mempengaruhi sebuah keluarga muslim di Medan agar menerima ajaran Kristian Prostestan berkesudahan dengan kegagalan. Namun dari ketewasannya berdialog dengan seorang haji, menjadi penyebab dia mendapat hidayah dari Allah SWT.

Bisara Sianturi dilahirkan di Tapanuli Utara pada 26hb Jun 1949. Dia dibesarkan dalam didikan keluarga yang taat penganut Prostestan.
Pada tahun 1968 Bisara telah merantau ke Kota Medan. Nasibnya agak baik kerana berkesempatan berkenalan dengan keluarga Walikota(Datuk Bandar) Medan ketika itu, Ahmad Syah. Dari kemesraan hubungan itu dia mendapat kesempatan tinggal bersama-sama di rumah keluarga walikota berkenaan.

Bisara mengaku, selama tinggal di rumah keluarga walikota tersebut, dia cuba mendakwah anak-anak walikota itu lagu-lagu gereja. Kebetulan anak-anak walikota dekat dengannya dan suka dengan lagu-lagu yang diajarkannya. Sementara walikota sendiri tidak pernah marah kepadanya. Bahkan dia pernah bertanya kepada walikota tentang agama apa yang baik. Walikota itu menjawab, bahawa semua agama itu baik.

Pemikiran terbuka walikota seperti itulah uyang membuatnya senang dan berani mengajarkan lagu-lagu gereja kepada anak-anaknya. Menurutnya, kalau orang sudah memeliki pemikiran seperti ini, biasanya akan mudah diajak masuk Kristian."Saya berniat mengkristiankan keluarga ini. Pertama-tama melalui anak-anaknya dulu. Makanya saya ajari mereka lagu-lagu gereja. Anehnya, mereka suka sekali dengan lagui-lagu yang saya ajarkan," kenang Bisara Sianturi.

Usaha Bisara untuk mengkristiankan keluarga walikota melalui anak-anaknya ternyata tidak boleh berjalan dengan lancar. Di rumah walikota itu tinggal juga bapa mertuanya, Haji Nurdin. Meskipun walikota tidak merasa keberatan anak-anaknya diajarkan lagu-lagu gereja, tetapi Haji Nurdin tidak suka kalau cucu-cucunya diajarkan lagu-lagu gereja oleh Bisara.

Pada suatu petang, di ruang depan rumah walikota, Haji Nurdin mengajak Bisara untuk bercakap masalah serius. Haji Nurdin yang luas pengetahuan agamanya ini mengajaknya berdialog mengenai agama. Bahkan beliau menawarkan diri untuk masuk Kristian jika Bisara mampu menyakinkan Haji Nurdin melalui hujah-hujahnya.

"Kalau kamu boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan benar, saya berserta keluarga saya seluruhnya dengan ikhlas dan sukarela akan mengikuti kepercayaan kamu," kata Haji Nurdin waktu itu. Tawaran itu tentu saja menggugat hati Bisara. Dia dengan bersemangat menyanggupinya. Dia mengira akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Haji Nurdin dengan mudah. Ternyata kemudiannya semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Haji Nurdin membuat keyakinnannya terhadap Kristian pula goyah.

"Mana lebih dahulu Tuhan dengan air?" tanya Haji Nurdin.
"Pak Haji ini bercanda. Anak kecil juga bisa menjawab," ucap Bisara.
"Saya tidak bercanda. Kalau kamu boleh menjawapnya, saya dan keluarga akan masuk agamamu!" tegas Haji Nurdin.
"Tentu lebih dahulu Tuhan, kerana Tuhanlah yang menciptakan air," jawab Bisara.

"Kalau begitu, bila Tuhan kamu lahir? Bukankan Tuhanmu, Jesus, lahir pada tahun 1 Masehi? Bukankah tarikh Masehi yang kita pakai sekarang ini mengikuti tarikh kelahiran Jesus? Bukankah sebelum Jesus lahir setelah ada air? Kalau begitu air lebih dulu ada sebelum adanya Tuhanmu?" balas Haji Nurdin. Bisara kebingungan sendiri. Tetapi dia dengan mudah menjawabnya kembali.
"Jesus itu' kan anaknya Tuhan."
"Bukankah dalam ajaran agamamu dikenal ajaran "Trinitas" yang menganggap tiga tuhan, iaitu Tuhan Bapak, Jesus dan Roh Kudus sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan? Satu bererti tiga dan tiga bererti satu. Kalau demikian, tidak mungkin kita memisahkan Tuhan Bapak, Jesus dan Roh Kudus.

"Kalau Tuhan Jesus jatuh atau diragukan dengan pertanyaan seperti tadi, bererti yang lain juga ikut jatuh," kata Haji Nurdin.
Bisara tambah bingung. Ianya tidak boleh membantah lagi.
"Yang kedua. Dalam Injil Matius pasal 27 ayat 46, disebutkan bahawa Jesus meminta tolong ketika sedang disalib. Cuba kamu fikir, bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Sempurna minta tolong, Kalau Tuhan minta tolong, bererti dia tidak pantas dianggap Tuhan," kata Haji Nurdin.

Kali ini Bisara tambah terkejut. Dia tidak menyangka Haji Nurdin mengerti banyak tentang Injil. Oleh itu, dia tidak mampu menjawab lagi.
Bisara kesal, meskipun semua meresap ke dalam hatinya, tetapi ia tidak menerima begitu saja. Dia balik bertanya kepada Haji Nurdin tentang kebiasaan orang islam menyunat anak-laki-lakinya.

Anonymous said...

Halo, Musafir...:)
Senang berkenalan dengan Anda dan tulisan Anda.
Menarik sekali apa yg Anda tulis dan saya sungguh menghargai apa yang ada di situ.

Kebetulan saya Katolik dan saya masih bangga dengan IMAN saya. Tapi saya jarang bangga dengan tingkah polah ORANG Katolik -- baik dari kalangan klerus maupun dari awam.

ORANG Katolik sama saja dengan kebanyakan orang lain: munafik, tidak setia, dan rapuh. Anda tampaknya "tidak puas" dengan hal ini. Saya memahaminya. Mengapa? Saya juga sering tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh ORANG Katolik, baik dari kalangan hierarki maupun dari kalangan awam.

Namun, apaboleh buat. Kita tidak tinggal di dunia yang sempurna, walaupun ORANG Katolik sering merasa sempurna...

Kalau mau ngobrol lebih banyak kontak saya di: ekohumaniora@yahoo.com

Salam,
Eko

NB: salam untuk Jagad :)

Mata Dunia said...

(Komentar Revisi)

Halo, Musafir...:)
Senang berkenalan dengan Anda dan tulisan Anda.
Menarik sekali apa yg Anda tulis dan saya sungguh menghargai apa yang ada di situ.

Kebetulan saya Katolik dan saya masih bangga dengan IMAN saya. Tapi saya jarang bangga dengan tingkah polah ORANG Katolik -- baik dari kalangan klerus maupun dari awam.

ORANG Katolik sama saja dengan kebanyakan orang lain: munafik, tidak setia, dan rapuh. Anda tampaknya "tidak puas" dengan hal ini. Saya memahaminya. Mengapa? Saya juga sering tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh ORANG Katolik, baik dari kalangan hierarki maupun dari kalangan awam.

Namun, apaboleh buat. Kita tidak tinggal di dunia yang sempurna, walaupun ORANG Katolik sering merasa sempurna...

Salam,
Mata Dunia (Eko)