Wednesday, 17 January 2007

Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur

“Is not that every woman should read or watch pornography. It is that every woman should decide for herself” [McElroy]

JUDUL di atas sengaja Penulis cuplik dari judul novel karya sastrawan muda yang gelisah bernama Muhidin M Dahlan. Novel ini menarik karena memuat protes pada realitas sosial yang sarat pada kemunafikan. Di sini, diceritakan pergulatan seorang perempuan pelacur yang dimarginalkan atas nama agama dan moralitas. Nah, ini yang menjadi pintu masuk Penulis untuk turut meramaikan serunya perdebatan tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

Apa pun hukumnya, segala sesuatu yang melecehkan dan merendahkan martabat manusia wajib ditolak. RUU APP pun mengundang perdebatan. RUU ini masih sarat bias tafsir dalam rumusannya dan cenderung merugikan dan melecehkan kaum perempuan. Perempuan yang sering menjadi korban dalam pelecehan seksual justru dijadikan korban lagi dalam rancangan hukum ini. Rumusannya cenderung patriakal dan sarat dengan agenda politik tertentu. Hal senada, Peraturan Daerah (Perda) yang diberlakukan di Tangerang pun menuai banyak kritik. Perda ini mengatur soal prostitusi yang dilihat marak di Tangerang. Perda ini pun dinilai merugikan kaum perempuan. Atas nama Perda ini, polisi pamong praja bisa menangkapi perempuan yang dicurigai sebagai Penjaja Seks Komersial (PSK). Kasus salah tangkap pun menuai protes dan beritanya membuat hati jadi berang. Hukum yang ditujukan untuk memberi situasi aman dan melindungi hak-hak publik, justru menciptakan keresahan dan peminggiran hak-hak publik, khususnya kaum perempuan.

RUU ini memang bias gender. Masih ada paradigma yang tidak adil dalam memandang relasi lelaki-perempuan. Paradigma ini pun masih cukup terlihat dalam kehidupan masyarakat kita. Lelaki masih dipandang lebih hebat daripada perempuan. Lelaki yang suka berpetualang seks dianggap sebagai yang biasa layaknya seorang James Bond, Sang Avonturir Seksual. Bahkan, dianggap jantan dan macho. Tetapi, perempuan masih dikenakan standar ganda, yakni perempuan baik dan perempuan tidak baik (jalang).

Perempuan juga sering dianggap sebagai sumber dosa. Ia senantiasa diposisikan sebagai penggoda dan pemicu. Misalnya, dalam kasus perkosaan, sering perempuan yang disalahkan dengan beragam alasan, entah karena berpakaian seksi, sensual, suka keluar malam, dan sebagainya. Sementara itu, si lelaki pemerkosa dan yang melakukan pelecehan masih dimaafkan. Dengan demikian, perempuan ini menjadi korban dua kali, korban perkosaan dan disalahkan sebagai pemicu pemerkosaan. Padahal, ini disebabkan karena napsu dan lemahnya manajemen syahwat laki-laki. Dan pemerkosa ini bebas berkeliaran di mana-mana (bdk. Siti Musdah Mulia, Jurnal Perempuan 38).

Termasuk juga dalam kasus skandal pastor dengan perempuan. Sering yang disalahkan adalah perempuannya sebagai penggoda. Padahal, pastornya saja yang tidak mampu mengelola syahwatnya. Lantaran pastor, dia dibenarkan. Pastor itu pun layak dihukum dan dituntut tanggung jawab, bukannya lepas tanggung jawab.

Setiap hal yang mengobjekan tubuh sebagai bentuk pronografi memang layak ditentang. Berbagai bentuk eksploitasi pada martabat manusia apa pun wajib ditolak. Sementara itu, hukum yang dirancang dengan serampangan dan tidak jelas dan pelaksanaannya yang kaku, justru berpotensi melahirkan berbagai ragam kemunafikan. Ada kelompok tertentu yang berhak menjudge orang lain sebagai yang salah dan harus dihukum, padahal dirinya berbuat kejahatan dan bersembunyi di balik hukum itu. Memang, sikap kritis sangat punya peran di sini. Apa yang kelihatan baik, belum tentu baik. Hidup akan terasa kaku dengan aturan di sana-sini. Semula yang harus menjadi tanggung jawab privasi orang, telah dihukumkan. Kekakuan ini menjadi pintu masuknya kemunafikan. Tapi, yang jelas segala bentuk pelecehan terhadap martabat manusia, baik itu dalam pornografi maupun undang-undang anti pornografi layak ditentang. Hukum diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. [diterbitkan di Warta Minggu, 19 Maret 2006]

2 comments:

Anonymous said...

yoi, no problemo jadi pelacur asal jangan protestan (hahahahaha)

ini joke doang yang pernah gue baca konflik antara kristen dan protestan...
yah itulah fanatisme memang lebih baik dijadikan bahan lucu-lucuan aja selama dia tidak berwujud menjadi kekerasan dan penindasan...
bahaya kemunafikan kalo udah akut ya kayak ruu pornografi ini...maen kasar!

Anonymous said...

kuijinkan kamu jadi pelacur .. :)