Wednesday 17 January 2007

Einstein Menggapai Tuhan

BAYANGKAN saja, bila Albert Einstein duduk termenung di depan altar. Apa yang ia pikirkan tentang Tuhan? Tuhan seperti apakah yang digambarkan Einstein? Seperti bola-bola atomkah? Atau Tuhan yang Maha Absolut itu justru relatif di dalam kaca mata Teori Relativitasnya? Menyandingkan Einstein dengan Tuhan mengingatkan kita pada perseteruan abadi antara Ilmu dan Iman. Sebut saja Fides dan Ratio.

Jauh sebelum Einstein, panggung religius diguncang Charles Darwin (1809-1882) dengan teori evolusinya. Bukunya berjudul The Origin of Species menjadi ikon penolakannya pada teori penciptaan. Ia menolak Tuhan yang menciptakan bumi ini. Darwin pun beroposisi dengan para kaum kreasionis yang memercayai penciptaan seperti dikatakan Kitab Kejadian secara harafiah. Bagi Darwin, entitas di bumi ada karena proses evolusi. Konsep Tuhan telah ia simpan di laci kerjanya. Iman Kristen Darwin semakin jelek dan ia menjadi seorang agnostik.

Seabad kemudian munculah seorang yang mencari relasi antara evolusi dengan Kristianitas. Dialah Teilhard de Chardin (1881-1955). Teilhard adalah ilmuwan sekaligus pastor Jesuit yang mempelajari spesies yang punah. Ia percaya bahwa penciptaan adalah proses evolusi. Baginya, sejarah manusia berkembang menuju puncak yang akan dicapai di dalam Kristus. Kristus disebut sebagai titik Omega. Allah bukannya tidak berubah dan transenden (mengatasi dunia), melainkan aktif sampai sekarang. Allah tidak bisa dilepaskan dari proses evolusi. Tidak semua setuju dengan Teilhard. Buku-bukunya diterbitkan setelah kematiannya.

Bagaimana dengan Einstein? Si jenius berambut gondrong dan acak-acakan ini mencoba memandang Tuhan. Lelaki kelahiran Ulm adalah seorang anak penuh impian yang tidak menunjukkan kejeniusan yang sungguh-sungguh. Penentang Teori Kuantum Max Plank ini menolak pengertian Allah yang bersifat pribadi sejak masa kecilnya. Ia menolak cara membaca Kitab Suci yang fundamentalis.

Meski terkesan sekular, Einstein tak kalah dalam mengkontemplasikan alam. Ia mencoba memosisikan manusia di tengah alam semesta yang penuh misteri ini. Lebih-lebih setelah teorinya disalahgunakan untuk pembuatan bom atom yang memorak-porandakan Hiroshima dan Nagasaki. Kehancuran dua kota di Negara Matahari Terbit itu adalah kehancuran kemanusiaan. Di tengah kegalauan, Einstein menulis “Apa arti sepenuhnya hidup manusia atau hidup organik? Untuk menjawab pertanyaan ini mengandaikan agama…Manusia memandang hidupnya sendiri dan hidup sesama mahkluk sebagai tanpa makna bukan hanya malang, tetapi hampir tidak memenuhi syarat untuk hidup.”

Einstein mengaku dirinya adalah manusia yang sangat religius. Baginya, perasaan religius merupakan pegetahuan akan keberadaan sesuatu yang tak dapat kita terobos. Sebuah eksistensi dari manifestasi dari akal yang paling mendalam dan keindahan paling cemerlang yang hanya digapai oleh budi dalam bentuk paling elementer.

Fisika Einstein berimplikasi pada pemahaman akan Allah. Dalam mendekati alam semesta, pemahaman kita akan Allah harus bersifat kosmik sekaligus personal. Itulah Einstein. Lalu, bagaimana gambaran kita masing-masing tentang Tuhan? Hanya sekadar jeda. Pengisi waktu senggang… [diterbitkan di Warta Minggu, 23 Juli 2006]

1 comment:

Unknown said...

halo bung sigit =)
sumber bacaannya drmana ya?
pengen baca ;p