Wednesday 17 January 2007

Pangan: Bukan Keprihatinan Seremonial

MINGGU lalu, dalam artikel berjudul Dijajah Lewat Pangan, Penulis membeberkan bahwa masalah pangan adalah masalah struktural. Pangan bukan sekadar masalah perut kosong, melainkan lebih pada sistem produksi dan distribusi yang tidak layak dan tidak adil. Nah, karena masalah ini adalah masalah struktural, maka dibutuhkan gerakan-gerakan yang benar-benar menjawab akar persoalan itu.

Banyak sekali kegiatan dan gerakan kita selama ini hanya sebatas keprihatinan seremonial saja. Apa yang dimaksud dengan keprihatinan seremonial? Maksudnya, kita hanya menunjukkan keprihatinan kita sebatas seremoni atau upacara saja. Sifatnya hanya insidental saja. Kita tidak pernah menggali akar dari keprihatinan itu. Kita lebih sering menseremonikan hari-hari dengan tema peringatan itu. Misalnya, hari buruh internasional. Di mana-mana kita membicarakan tentang buruh, berkhotbah tentang buruh di atas mimbar, tulisan-tulisan tentang buruh terbit di mana-mana, seminar tentang perburuhan diadakan di berbagai tempat. Kita tidak pernah membuat program yang lebih berjangka panjang dan menjawab persoalan buruh.

Pada Hari Perempuan, kita mengungkapkan keprihatinan dengan misa untuk kaum perempuan, berpakaian dengan kebaya, paduan suara ibu-ibu, petugas tata tertib misa semua perempuan, lomba masak-memasak, bazar, dan sebagainya. Tapi, kita tidak pernah melihat akar keprihatinan pada dunia perempuan. Kemudian menjawabnya dengan program-program yang tepat, program yang menyadarkan, memberdayakan, dan mengoptimalkan peran-peran perempuan di berbagai ranah.

Pada Hari Pangan Sedunia (HPS) 2006, kita bisa jadi masih terjerembap dalam keprihatinan seremonial ini. Kita mengadakan misa khusus terkait dengan HPS ini. Tak jarang, di HPS ini, Gereja mengadakan beragam program-program yang seremonial saja. Misalnya saja bagi-bagi sembako, bagi-bagi nasi bungkus pada anak-anak jalanan, mengadakan bazar makanan rakyat, dan sebagainya. Program-program itu hanya bersifat insidental dan sementara saja. Setelah acara itu, masalah pangan tetap saja terjadi. Kelaparan ada di mana-mana. Para petani dan produsen makanan rakyat tetap terpinggirkan dan tergencet oleh korporasi-korporasi rakus dan makanan-makanan industri.

Bagi-bagai nasi bungkus pada anak jalanan sangat jelas kesementaraannya. Hari ini dibagi, besok sudah lapar lagi. Model-model karitatif ini jelas tidak menjawab persoalan. Ini hanya tambal sulam saja. Gaya-gaya kesalehan ala Sinterklas selayaknya mulai ditinggalkan. Gaya Sinterklas jelas bukan gaya tepat untuk menunjukkan keprihatinan yang sejati, yang menjawab persoalan. Lebih parah lagi, kita sudah merasa puas dengan apa yang kita lakukan itu. Seolah-olah, kita sudah benar-benar turut prihatin pada saudara-saudara kita yang tertindas dan terpinggirkan dalam hal pangan ini. Padahal, apa yang kita lakukan ini belum menjawab apa-apa terhadap akar persoalan.

Sebenarnya tidak tepat menggunakan istilah perayaan Hari Pangan. Alasannya, apa yang mau kita angkat dari HPS ini adalah keprihatinan atas penderitaan saudara-saudara kita dalam hal pangan. Jelas, tidak etis kita merayakan penderitaan orang lain dan menjadikannya ajang pemuasan hasrat batin untuk membantu orang lain. Sementara, kita tidak (mau) menggali akar keprihatinan. Akibatnya, kita membuat program yang tatarannya permukaan (superfisial) saja dan hanya sampai pada taraf itu saja.

Tak jarang, kita memahami hidup menggereja sekadar liturgis karitatif saja dan bukan gerakan sosial. Sekali-kali, baik kalau kita membuat program yang memunyai napas panjang (long term), tujuan jelas, monitoring, dan menjawab akar persoalan. Lebih-lebih, tema HPS 2006 adalah PEMBERDAYAAN PANGAN MASYARAKAT. Nah, saatnya kita menciptakan program-program yang sifatnya memberdayakan dan bukan sebaliknya memperdayai. Program-program bergaya sinterklas di atas memang dimaksudkan baik, tetapi ini bisa menjadi kounterproduktif yang menciptakan ketergantungan dan ketidakberdayaan baru.

Pemberdayaan bisa kita lalukan pertama-tama kalau kita mampu menangkap akar masalahnya. Program-program alternatif yang bersifat jangka panjang dan memberdayakan, antara lain membuat paguyuban para produsen makanan tradisional, membentuk koperasi, membentuk jejaring yang bertujuan untuk memberdayakan petani dan pedagang, membentuk paguyuban petani dan nelayan, membuka ruang advokasi hukum untuk para petani, nelayan, dan pedagang, membuka kursus memasakan masakan sehat dan bergizi, membentuk kelas-kelas kewirausahaan (entrepreneurship), pendidikan kesadaran pangan dan lingkungan, membuka ruang untuk membantu marketing hasil-hasil olahan pangan masyarakat, menyelenggarakan berbagai pelatihan (berorganisasi, bernegosiasi, analisis sosial, menyusun gerakan, dan sebagainya), membuka paguyuban pemenuhan (klinik) gizi bagi perempuan dan anak-anak, membuka kantin yang mengundang masyarakat kecil untuk berpartisipasi, dan sebagainya. Intinya, program-program ini semakin menguatkan posisi para saudara-saudara kita yang menjadi korban ketidakadilan pangan untuk kembali memperoleh hak-haknya.

Penyadaran melalui pendidikan akan persoalan pangan menjadi sangat penting, bahkan untuk kalangan anak-anak dan remaja. Karena persoalan pangan terkait dengan pengembangan sumberdaya alam, anak-anak remaja dan sekolahan bisa diperkenalkan dunia pertanian dan lingkungan hidup lewat beragam cara. Misalnya, sekolah mengadakan kebun sekolah dan mengajak para siswa untuk menanam tatanam pangan atau mengajak anak menanam bibit-bibit pohon di lingkungan sekolah. Selain itu, mengajak anak-anak menyadari bahaya makanan-makanan industri yang kadang mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan.

Melalui program-program pemberdayaan ini, bisa kita lihat kesejatian dari hidup menggereja itu. Menggereja dalam konteks keprihatinan sosial tidak berhenti sebatas apa yang kita berikan, tetapi apakah yang kita berikan itu memberdayakan masyarakat atau tidak. Gereja benar-benar menjadi komunitas kesaksian dan keselamatan bila ia mampu mengangkat harkat orang-orang di dalamnya dan di sekitarnya. Paroki kita dari kacamata luar sering dipandang sebagai paroki kaya. Tapi, jangan kita menutup mata, bahwa di berbagai sudut paroki, masih ada banyak penganggur, orang yang lapar, orang miskin, orang sakit, anak putus sekolah, dan sebagainya.

Nah, bagaimana Gereja kita ini bisa hadir sebagai rahmat keselamatan bagi orang-orang itu?
Saatnya, kita menjawab dengan program-program yang menjawab akar persoalan bukan model-model sinterklas lagi, lalu berpuas diri. Bukan dengan program-program tambal sulam yang hanya memuaskan diri kita sendiri. Seolah-olah kita berbakti kepada Allah dengan membantu orang miskin tertindas, padahal tidak! [diterbitkan di Warta Minggu, 15 Oktober 2006]

No comments: