“Televisi membawa pembunuh ke rumah di mana televisi berada.”
[Alfred Hitchcock]
[Alfred Hitchcock]
SALAH satu anggota keluarga yang tidak pernah dianggap sebagai anggota keluarga tetapi memunyai daya pengaruh dahsyat adalah televisi. Hampir di setiap rumah tangga teronggok benda yang bernama televisi. Entah itu di ruang tamu, ruang kerja, maupun ruang tidur. Benda inilah yang lebih sering dipelototi, lebih didengarkan, digubris, ketimbang anggota keluarga lainnya. Rumah tangga belum lengkap bila belum ada pesawat televisi. Tidak hanya di perumahan mewah dengan model pesawat yang canggih, tetapi juga di tengah belantara masyarakat kecil, televisi teronggok di rumah-rumah mereka. Televisi memang sudah menjadi kebutuhan. Sejak kelahirannya di abad ke-19, televisi menjadi sebuah pembuka babak baru kehidupan masyarakat dunia. Di Indonesia, televisi mulai beroperasi sejak tahun 1962 dengan TVRI sebagai stasiun tunggal. Perkembangan teknologi telah menyulap sosok televisi ini menjadi benda yang paling diminati, paling berpengaruh, sekaligus paling berbahaya.
Televisi hadir dan berkontribusi dalam Revolusi Komunikasi dunia. Ia sempat dipuja-puja sebagai media penyaji hiburan yang murah. Kehadiran televisi seolah melipat dunia. Ruang dan waktu telah dimampatkan. Berita meninggalnya Augusto Pinochet di Chile sana sudah bisa dinikmati di rumah sebuah keluarga di pojok Kebon Jeruk hanya selang beberapa menit. Bahkan, pada pentahbisan Ratzinger menjadi penguasa tertinggi Tahkta Suci Vatikan, sebuah keluarga di kompleks Tosiga bisa menyaksikan siaran langsung berkat televisi. Lebih jelas lagi saat berlangsung final Piala Dunia 2006, Italia melawan Prancis. Dengan televisi yang dihubungkan proyektor, ratusan orang kumpul di aula MBK yang dengan riuh menonton tim jagoannya bertanding. Stadion Olympia Berlin seolah dilipat dan dicabut dan dihadirkan lagi di aula.
Hampir tidak ada hari tanpa bersentuhan dengan tabung ajaib ini. Bangun pagi, sambil sarapan tangan sudah memencet remote control dan nyalah televisi dengan rubrik berita atau dakwah pagi. Setelah itu, hampir tidak ada matinya untuk televisi entah siapa saja yang gantian memelototinya. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kita. Televisi seakan menjadi katedral layar kaca milik orang-orang modern. Di sana orang berkumpul, duduk, melihat, dan mendengar ‘kotbah-kotbah’ yang dilontarkan televisi. Saking istimewanya, diam-diam tabung ajaib itu sering lebih kita perhatikan dan dengarkan ketimbang anggota keluarga lainnya.
Kalau kita sadar, televisi memberikan imbas luar biasa bagi kehidupan kita. Kehadirannya yang masih dan gayanya yang kapitalistik telah membius alam kesadaran kita. Kita baru terjaga saat ada suatu kejutan yang disebabkan televisi menghentak kehidupan kita. Ambil contoh, kasus program smack down. Masyarakat protes saat terjadi kekerasan hingga kematian di lingkungan anak-anak yang mempraktikkan adegan ini. Pemerintah pun sigap melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera melarang program smack down. Para orangtua menjadi lebih hati-hati dalam memerhatikan kehidupan anak-anak mereka. Dengan melihat akibat negatif ini, rasanya kita perlu lebih memperhatikan anggota keluarga yang satu ini.
Televisi juga bisa digambarkan sebagai hipermarket, di mana orang bisa gonta-ganti channel seturut kebutuhan dengan sangat mudah. Dan televisi menyediakan beragam menu untuk dinikmati. Dari berita sampai info selebriti. Dari olahraga sampai kuis. Dari film sampai reality show, dan sebagainya. Belum ditambah dengan rentetan iklan yang muncul di sela-sela program acara.
Benda favorit ini layak kita waspadai! Mengapa? Selain kemajuan, ada banyak pengaruh buruk yang ditularkan televisi ke dalam alam kesadaran kita, khususnya dalam keluarga. Tanpa kemampuan mengambil jarak dengan sikap kritis, televisi memunyai kemampuan membius, membohongi, dan melarikan pemirsanya dari kenyataan hidup. Televisi memunyai daya manipulatif yang besar.
Berbagai macam jenis program hiburan seperti infotainmen, sinetron, kuis, reality show, dan sebagainya memunyai potensi memanipulasi. Ditambah dengan serangan tiada henti iklan yang terus-menerus diputar dan secara tidak sadar memberi konstruksi baru di dalam otak kita dalam memandang realitas. Di samping itu, televisi lebih sering menyuguhkan program-program yang mengeksploitasi masyarakat. Jangan lupa bahwa program-program televisi masuk dalam industri media di mana industri itu tidak bisa dilepaskan dari pencarian keuntungan bagi para pemilik saham. Sayangnya, televisi yang diharapkan menjadi media edukasi, hiburan sehat, dan kritik sosial malah menjadi alat pembodohan dari para pebisnis media.
Tak jarang, acara televisi berjarak dengan realitas sosial masyarakat yang ada. Gaya hidup yang hedonis dan konsumtif tak terasa membentuk pola dan mental para pemirsanya. Sinetron-sinetron yang mengusung gaya metropolis ini ikut andil dalam menyebarkan virus-virus hidup konsumtif. Sementara, iklan-iklan terus menerus membius pikiran kita untuk tergoda menuruti apa kemauannya. Kita dipaksa untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Tetapi, karena iklan itu terus-menerus ‘meneror’ kita, akhirnya kita tak berdaya dan terbujuk untuk mengamini apa kemauannya. Sementara itu, iklan juga sering menawarkan logika yang jungkir balik dan cenderung diskriminatif. Salah duanya adalah kecantikan dan kebahagiaan. Kecantikan versi iklan adalah yang berkulit putih dan rambut lurus. Kebahagiaan keluarga akan terpenuhi jika sudah ada mobil mewah ngendon di garasi atau memunyai rumah bagus dan sebagainya. Ingat, pengaruh televisi ini seperti obat bius, pelan tapi menghanyutkan.
Pemikir Prancis Jean Baudrillard menyebut masyarakat sekarang sebagai masyarakat konsumsi (consumer society). Tindakan konsumsi menjadi yang diagung-agungkan. Hal ini masih didukung dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah. Sekarang orang lebih suka membeli barang-barang demi sebuah prestige (gengsi), mode, ketimbang memenuhi kebutuhan real dan fungsinya. Iklan-iklan telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang semu.
Tak disangkal juga, televisi sering menyuguhkan program-program yang mengangkangi akal sehat. Sebut saja, program-program yang mengkomersialisasikan tema-tema religius, mistis, maupun hantu. Tema-tema ini cenderung membodohi ketimbang mengajak pemirsa cerdas. Agama diposisikan sebagai otoritas tertinggi yang bisa menghakimi tindak-tanduk manusia. Perilaku yang culas dan jahat pasti akan diakhiri dengan kisah tragis dan mengerikan. Demikian juga tema-tema hantu yang sungguh melecehkan akal sehat manusia.
Belum lagi dengan tontonan infotainmen yang hanya mengumbar kisah gebyar selebriti yang dipenuhi dengan kisah kawin dan cerai. Belum lagi kisah-kisah yang melecehkan ruang privat dengan balutan isu-isu yang belum tentu kebenarannya. Sementara itu, pogram sinetron yang sudah punya jam siar dari pagi sampai malam, bisa membawa pemirsa pada kehidupan yang tidak real. Cerita-cerita yang mengharubirukan emosi pemirsa membuat tokoh-tokoh rekaan dalam sinetron seolah-olah hadir dalam kenyataan. Akibat buruknya, orang lebih mengenal dan berempati dengan tokoh-tokoh rekaan sinetron ketimbang kenal dan berempati dengan tetangga samping rumah. Belum dengan kehidupan mewah dan berkelimpahan yang sangat berjarak dengan realitas hidup pemirsa yang serba bermasalah. Banyak hiburan televisi yang tidak solider dengan kondisi masyarakat. Sayangnya, masyarakat senang menikmatinya. Tak sadar kalau hiburan itu juga seperti candu yang hanya menghibur sesaat dan semakin mengasingkan pemirsa dari hidup nyata, termasuk dengan dirinya sendiri.
Sudah layak dan sepantasnya kita memerhatikan peranan televisi di rumah kita. Mendiang Yohanes Paulus II sendiri pernah menengaskan bahwa media dapat memberi dampak amat buruk pada keluarga ketika ia menawarkan visi yang tidak layak dan bahkan terdistorsi atas hidup, keluarga, agama, dan moralitas.
Oleh karenanya, saatnya keluarga berperan dalam pendidikan media kepada para anggotanya. Kembalikan kebebasan keluarga dalam mengontrol televisi dan bukannya televisi mengontrol dan menyetir kehidupan keluarga. Jangan biarkan televisi menjadi soft terorism yang mengancam keutuhan dan kebahagiaan keluarga. Ini menjadi panggilan keluarga Katolik masa kini.
Ingat, katedral sejati hadir di dalam rumah tangga, dan bukan televisi!
Televisi hadir dan berkontribusi dalam Revolusi Komunikasi dunia. Ia sempat dipuja-puja sebagai media penyaji hiburan yang murah. Kehadiran televisi seolah melipat dunia. Ruang dan waktu telah dimampatkan. Berita meninggalnya Augusto Pinochet di Chile sana sudah bisa dinikmati di rumah sebuah keluarga di pojok Kebon Jeruk hanya selang beberapa menit. Bahkan, pada pentahbisan Ratzinger menjadi penguasa tertinggi Tahkta Suci Vatikan, sebuah keluarga di kompleks Tosiga bisa menyaksikan siaran langsung berkat televisi. Lebih jelas lagi saat berlangsung final Piala Dunia 2006, Italia melawan Prancis. Dengan televisi yang dihubungkan proyektor, ratusan orang kumpul di aula MBK yang dengan riuh menonton tim jagoannya bertanding. Stadion Olympia Berlin seolah dilipat dan dicabut dan dihadirkan lagi di aula.
Hampir tidak ada hari tanpa bersentuhan dengan tabung ajaib ini. Bangun pagi, sambil sarapan tangan sudah memencet remote control dan nyalah televisi dengan rubrik berita atau dakwah pagi. Setelah itu, hampir tidak ada matinya untuk televisi entah siapa saja yang gantian memelototinya. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kita. Televisi seakan menjadi katedral layar kaca milik orang-orang modern. Di sana orang berkumpul, duduk, melihat, dan mendengar ‘kotbah-kotbah’ yang dilontarkan televisi. Saking istimewanya, diam-diam tabung ajaib itu sering lebih kita perhatikan dan dengarkan ketimbang anggota keluarga lainnya.
Kalau kita sadar, televisi memberikan imbas luar biasa bagi kehidupan kita. Kehadirannya yang masih dan gayanya yang kapitalistik telah membius alam kesadaran kita. Kita baru terjaga saat ada suatu kejutan yang disebabkan televisi menghentak kehidupan kita. Ambil contoh, kasus program smack down. Masyarakat protes saat terjadi kekerasan hingga kematian di lingkungan anak-anak yang mempraktikkan adegan ini. Pemerintah pun sigap melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera melarang program smack down. Para orangtua menjadi lebih hati-hati dalam memerhatikan kehidupan anak-anak mereka. Dengan melihat akibat negatif ini, rasanya kita perlu lebih memperhatikan anggota keluarga yang satu ini.
Televisi juga bisa digambarkan sebagai hipermarket, di mana orang bisa gonta-ganti channel seturut kebutuhan dengan sangat mudah. Dan televisi menyediakan beragam menu untuk dinikmati. Dari berita sampai info selebriti. Dari olahraga sampai kuis. Dari film sampai reality show, dan sebagainya. Belum ditambah dengan rentetan iklan yang muncul di sela-sela program acara.
Benda favorit ini layak kita waspadai! Mengapa? Selain kemajuan, ada banyak pengaruh buruk yang ditularkan televisi ke dalam alam kesadaran kita, khususnya dalam keluarga. Tanpa kemampuan mengambil jarak dengan sikap kritis, televisi memunyai kemampuan membius, membohongi, dan melarikan pemirsanya dari kenyataan hidup. Televisi memunyai daya manipulatif yang besar.
Berbagai macam jenis program hiburan seperti infotainmen, sinetron, kuis, reality show, dan sebagainya memunyai potensi memanipulasi. Ditambah dengan serangan tiada henti iklan yang terus-menerus diputar dan secara tidak sadar memberi konstruksi baru di dalam otak kita dalam memandang realitas. Di samping itu, televisi lebih sering menyuguhkan program-program yang mengeksploitasi masyarakat. Jangan lupa bahwa program-program televisi masuk dalam industri media di mana industri itu tidak bisa dilepaskan dari pencarian keuntungan bagi para pemilik saham. Sayangnya, televisi yang diharapkan menjadi media edukasi, hiburan sehat, dan kritik sosial malah menjadi alat pembodohan dari para pebisnis media.
Tak jarang, acara televisi berjarak dengan realitas sosial masyarakat yang ada. Gaya hidup yang hedonis dan konsumtif tak terasa membentuk pola dan mental para pemirsanya. Sinetron-sinetron yang mengusung gaya metropolis ini ikut andil dalam menyebarkan virus-virus hidup konsumtif. Sementara, iklan-iklan terus menerus membius pikiran kita untuk tergoda menuruti apa kemauannya. Kita dipaksa untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Tetapi, karena iklan itu terus-menerus ‘meneror’ kita, akhirnya kita tak berdaya dan terbujuk untuk mengamini apa kemauannya. Sementara itu, iklan juga sering menawarkan logika yang jungkir balik dan cenderung diskriminatif. Salah duanya adalah kecantikan dan kebahagiaan. Kecantikan versi iklan adalah yang berkulit putih dan rambut lurus. Kebahagiaan keluarga akan terpenuhi jika sudah ada mobil mewah ngendon di garasi atau memunyai rumah bagus dan sebagainya. Ingat, pengaruh televisi ini seperti obat bius, pelan tapi menghanyutkan.
Pemikir Prancis Jean Baudrillard menyebut masyarakat sekarang sebagai masyarakat konsumsi (consumer society). Tindakan konsumsi menjadi yang diagung-agungkan. Hal ini masih didukung dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah. Sekarang orang lebih suka membeli barang-barang demi sebuah prestige (gengsi), mode, ketimbang memenuhi kebutuhan real dan fungsinya. Iklan-iklan telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang semu.
Tak disangkal juga, televisi sering menyuguhkan program-program yang mengangkangi akal sehat. Sebut saja, program-program yang mengkomersialisasikan tema-tema religius, mistis, maupun hantu. Tema-tema ini cenderung membodohi ketimbang mengajak pemirsa cerdas. Agama diposisikan sebagai otoritas tertinggi yang bisa menghakimi tindak-tanduk manusia. Perilaku yang culas dan jahat pasti akan diakhiri dengan kisah tragis dan mengerikan. Demikian juga tema-tema hantu yang sungguh melecehkan akal sehat manusia.
Belum lagi dengan tontonan infotainmen yang hanya mengumbar kisah gebyar selebriti yang dipenuhi dengan kisah kawin dan cerai. Belum lagi kisah-kisah yang melecehkan ruang privat dengan balutan isu-isu yang belum tentu kebenarannya. Sementara itu, pogram sinetron yang sudah punya jam siar dari pagi sampai malam, bisa membawa pemirsa pada kehidupan yang tidak real. Cerita-cerita yang mengharubirukan emosi pemirsa membuat tokoh-tokoh rekaan dalam sinetron seolah-olah hadir dalam kenyataan. Akibat buruknya, orang lebih mengenal dan berempati dengan tokoh-tokoh rekaan sinetron ketimbang kenal dan berempati dengan tetangga samping rumah. Belum dengan kehidupan mewah dan berkelimpahan yang sangat berjarak dengan realitas hidup pemirsa yang serba bermasalah. Banyak hiburan televisi yang tidak solider dengan kondisi masyarakat. Sayangnya, masyarakat senang menikmatinya. Tak sadar kalau hiburan itu juga seperti candu yang hanya menghibur sesaat dan semakin mengasingkan pemirsa dari hidup nyata, termasuk dengan dirinya sendiri.
Sudah layak dan sepantasnya kita memerhatikan peranan televisi di rumah kita. Mendiang Yohanes Paulus II sendiri pernah menengaskan bahwa media dapat memberi dampak amat buruk pada keluarga ketika ia menawarkan visi yang tidak layak dan bahkan terdistorsi atas hidup, keluarga, agama, dan moralitas.
Oleh karenanya, saatnya keluarga berperan dalam pendidikan media kepada para anggotanya. Kembalikan kebebasan keluarga dalam mengontrol televisi dan bukannya televisi mengontrol dan menyetir kehidupan keluarga. Jangan biarkan televisi menjadi soft terorism yang mengancam keutuhan dan kebahagiaan keluarga. Ini menjadi panggilan keluarga Katolik masa kini.
Ingat, katedral sejati hadir di dalam rumah tangga, dan bukan televisi!
No comments:
Post a Comment