Wednesday 17 January 2007

Orang Muda Membuka Harta Usang Gereja

SOCRATES pernah bilang, Gnoti Seauton, artinya kenalilah dirimu sendiri. Nah, ada banyak hal menarik yang bisa ditimba dari proses pengenalan diri sendiri ini. Sebagai bagian tak terpisahkan dari Gereja Universal, proses mengenal Gereja sendiri menjadi suatu yang menarik juga. Apalagi kalau mengenal dan memahami bagian yang selama ini jarang dilihat, disebut, dipelajari, dipergunjingkan oleh banyak orang, khususnya anggota Gereja itu sendiri. Sebut saja Ajaran Sosial Gereja yang disingkat ASG.

ASG seperti harta Gereja yang dibiarkan usang yang teronggok dalam tempat yang berdebu dan tak tersentuh. Padahal, ASG merupakan pandangan dan sikap moral Gereja terhadap persoalan sosial, persoalan di luar diri Gereja sendiri, persoalan di alam dan di tempat Gereja menziarahi kehidupan ini. Menjadi usang lantaran jarang dibuka dan disosialisasikan. Dibuka bisa diartikan dibaca. Berapa sih orang Katolik yang mau membaca dokumen-dokumen berharga seperti ini?

Sabtu siang (25/2) di ruang kecil di Perpustakaan Depdiknas, dekat Ratu Plaza, sepuluh orang muda berkumpul bersama untuk memulai studi serial ASG ini. Belajar bersama memang menarik dan menyenangkan. Apalagi belajar di tempat yang dikelilingi ragam buku tertata rapi dan mengeluarkan aura akademis yang memicu birahi intelektual. Dibuka dengan pengantar dan menyusuri pemikiran Paus Leo XIII (1878-1903) yang merilis ASG perdana bernama Rerum Novarum pada Mei 1891. Diskusi serial ini diadakan oleh anak-anak muda yang tergabung dalam forum penulisan Agenda-18. Diskusi perdana ini difasilitasi oleh Ignatius Haryanto.

Dalam pengantarnya, Ignatius Haryanto mengajak para orang muda untuk mengenal dan mempelajari ASG. ASG merupakan pandangan moral Gereja terhadap situasi di dunia. Ini bisa dijadikan bahan referensi untuk menyikapi berbagai keprihatinan sosial pada zaman ini. Jurnalis yang akrab di panggil Hari ini membagikan fotokopian Serial ASG. Dalam serial ini, ada 12 fotokopian seturut dokumen yang ada dengan tebal masing-masing empat sampai enam halaman. Formatnya ringkas, lengkap dengan pokok-pokoknya plus ilustrasi yang menarik. Orang tak perlu bersusah payah membaca dokumen aslinya yang setebal Kitab Suci. Serial dimulai dari Rerum Novarum (1891) sampai Sollicitudo Rei Socialis (1987). Ada satu dokumen terakhir yang belum termuat dalam serial itu, yakni Centesimus Annus (1991). Fotokopian lain yang dibagi adalah bukunya Romo Eddy Kristiyanto OFM, pakar sejarah Gereja, berjudul Diskursus Sosial Gereja, Sejak Leo XIII. Tidak semua halaman difotokopi, cuma dari pengantar sampai pembahasan dua ensiklik yakni Rerum Novarum dan Quadragesimo Anno. Mas Hari juga menunjukkan beberapa referensi buku lain yang bisa dijadikan bahan belajar bersama. Salah tiganya adalah Dokumen ASG resmi versi KWI setebal Kitab Suci, ASG karangan Adolf Heuken SJ dan buku Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja karya patungan dari trio Jesuit (MJ Schultheis SJ, P DeBerri SJ, Peter Henriot SJ).

ASG, kata Hari, bisa kita gunakan sebagai terang moral bagi kita untuk merespon kondisi sosial tempat kita hidup. Dalam proses pendalaman ini, kita juga diajak tetap memelihara sikap kritis, termasuk mempertanyakan korelasi antara teori (ajaran) dan praksis (praktek dalam tindakan konkret) dan juga kontekstualisasi ajaran-ajaran itu untuk situasi kontemporer. ASG sendiri menjadi bentuk sikap Gereja untuk mulai keluar dari dirinya sendiri. Gereja mulai berbicara tentang buruh, kondisi ekonomi, perdamaian dunia, dan sebagainya.

Ensiklik sosial itu tidak lepas dari konteks sejarahnya. Inilah kelebihan dan menariknya mempelajari teks-teks karena tidak lepas dari konteksnya. Misalnya, Ensiklik pertama Rerum Novarum (1891) sendiri lahir dalam konteks ketegangan dua kubu ideologi besar saat itu, yakni kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Pacem in Terris (Damai di Bumi, 1963) lahir karena krisis nuklir, paska Krisis Misil di Kuba (1962) dan pembangunan Tembok Berlin. Ensiklik Quadragessimo Anno lahir dalam konteks Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II, Rasisme Jerman, Komunisme Soviet, Fasisme Mussolini, dan krisis ekonomi dunia yang dikenal dengan The Great Depression.

Ensiklik Rerum Novarum membahas tentang kondisi kelas kerja pada waktu itu, yakni buruh. Paus Leo XIII prihatin pada kondisi buruk para buruh, khususnya di negara-negara industri. Dilihat sejarahnya in,i sebagai dampak dari Revolusi Industri yang melahirkan pembagian kelas sosial, yakni kelas kapitalis (majikan) dan kelas pekerja (buruh). Para pecandu Marx sering mengkaitkan ini dengan gagasannya tentang Das Kapital dan relasi kapital dan pekerja.

Studi putaran kedua diadakan pada Sabtu (25/3) di Gedung KWI Jl. Cikini, Jakarta Pusat dan membahas Ensiklik kedua Quadragessimo Anno. Ensiklik ini ditulis oleh Paus Pius XI pada peringatan 40 tahun lahirnya Rerum Novarum. Pius XI mengkritik tajam penyalahgunaan kapitalisme dan komunisme dan berusaha menyesuaikan Pengajaran Sosial Katolik dengan keadaan yang sudah berubah. Pius XI memperluas keprihatinan Gereja akan kaum buruh miskin, termasuk struktur-struktur yang menindas mereka. Paus inilah yang pertama kali menggulirkan istilah subsidiaritas dalam usaha membantu kaum buruh dan masyarakat tertindas.

Demikianlah isi seputar studi ASG yang berlangsung sebulan sekali. Patut dihargai karena ini merupakan upaya untuk semakin melibati Gereja yang mempunyai wajah sosial, dan bukan sekadar liturgis dan ibadat saja. ASG merupakan jawaban Gereja atas situasi dunia. Paus Benedictus XVI dikabarkan dalam situs berita Katolik sedang mempersiapkan ensiklik sosial pertamanya yang isunya berjudul Labor Domini. Tidak lupa juga pada tahun ini akan diperingati 115 tahun lahirnya Rerum Novarum. Nah, siapa lagi yang akan membaca harta usang Gereja ini? [diterbitkan di Warta Minggu, 2 April 2006]

No comments: